tirto.id - Setiap manusia punya hak untuk hidup, sekalipun ia bandit jalanan paling brengsek dan kejam. Hak hidup, elemen dasar yang melekat pada diri manusia itu, tak bisa dicabut saja begitu saja. Termasuk oleh negara lewat tiang gantungan, suntik mati, atau regu tembak.
Hal inilah yang kiranya menjadi dasar Paus Fransiskus ketika menyetujui revisi baru dari Pasal 2267 Katekismus Gereja Katolik yang menegaskan bahwa praktik hukuman mati "tidak bisa diterima". Dilansir dari Vatican News, keputusan itu diumumkan Kongregasi Ajaran Iman dalam “Surat Kepada Uskup” tertanggal 1 Agustus 2018 serta ditandatangani oleh Kardinal Luis Francisco Ladaria.
Dalam surat itu, Uskup Ladaria menjelaskan bahwa penolakan terhadap hukuman mati bertujuan “melindungi kebaikan bersama dalam konteks sosial di mana sanksi pidana dipahami secara berbeda dan berkembang di lingkungan yang lebih sulit mencegah pelaku kriminal mengulangi kejahatannya”.
Mengutip pernyataan Yohanes Paulus II, Ladaria menegaskan praktik hukuman mati sebagai praktik yang “kejam dan tidak perlu.” Tak ketinggalan, ia juga mendorong agar para kepala pemerintahan di seluruh dunia untuk segera menghapuskan hukuman mati.
Keputusan Vatikan untuk menolak hukuman mati, mengutip New York Times, kemungkinan besar akan menimbulkan perdebatan di negara yang mayoritas umat Katoliknya sepakat dengan hukuman mati. Minoritas Katolik di Amerika Serikat, misalnya, dikenal sangat pro-hukuman mati. Pew Research Center, dalam surveinya pada musim semi tahun ini, menyebut sekitar 53% Katolik AS pro-hukuman mati, sedangkan 43% menolak.
Sebanyak 31 negara bagian AS masih memberlakukan hukuman mati, sebuah praktik yang telah ditinggalkan 19 sisanya.
Diwawancarai New York Times, profesor teologi Georgetown University, Chester L. Gillis, mengungkapkan keputusan Fransiskus tentang hukuman mati merupakan “bagian dari ajaran gereja” dan bersifat “mengikat.” Meski begitu, Gills menggarisbawahi bahwa bagi mereka yang menolak menerapkan petuah Fransiskus tak berarti bakal dihukum atau “ditolak sakramennya.”
“Ada banyak ajaran di gereja Katolik yang tidak ditaati banyak orang,” kata Gillis. “Apa pakai alat kontrasepsi termasuk dosa berat? Kalau iya, ada banyak sekali pasangan yang sudah berdosa.”
Punya Sejarah Panjang
Pembahasan mengenai hukuman mati dalam ajaran Katolik punya riwayat panjang. Sama seperti keyakinan yang lain pada umumnya, selalu muncul suara pro dan kontra.
Vox mencatat bahwa pada 1566, Gereja Katolik mengeluarkan Katekismus Roma. Dalam dokumen pengajaran gereja yang dirilis tiga tahun usai berakhirnya Konsili Trent ini, hukuman mati disetujui secara eksplisit. Salah satu penggalan dokumen menyatakan: “Kuasa kehidupan dan kematian telah dipercayakan Allah kepada penguasa di dunia untuk menghukum yang bersalah dan melindungi yang tak bersalah.”
Dokumen tersebut menegaskan kewenangan negara untuk menjatuhkan hukuman yang sesuai bagi mereka yang diputuskan bersalah atas tindak kejahatan. Dalam hal ini, hukuman mati adalah salah satu metode yang bisa diambil untuk kejahatan yang benar-benar serius.
Catatan Kardinal Avery Dulles bertajuk “Catholicism and Capital Punishment yang dimuat Catholic Education Resource Centre memaparkan perubahan sikap otoritas Katolik seputar hukuman mati dari zaman ke zaman. Otoritas Katolik, menurut Dulles, pernah berpandangan bahwa dalam menjatuhkan hukuman mati, negara bertindak bukan atas otoritasnya sendiri melainkan karena posisinya sebagai pelayan Tuhan. Ihwal ini sudah termaktub dalam Roma (13:4) yang menyatakan bahwa "Pemerintah adalah hamba Allah untuk membalaskan murka Allah atas mereka yang berbuat jahat."
Suara pro-hukuman mati ini, tulis Dulles, melahirkan tokoh-tokoh macam Francisco de Vitoria, Thomas More, Francisco Suárez, sampai John Henry Newman yang yakin bahwa hukuman mati adalah cara ampuh untuk membasmi kejahatan keji di dunia.
Namun, gelombang penolakan terhadap hukuman mati tetap bermunculan. Mereka yang menolak hukuman mati menilai bahwa kematian semestinya dipahami sebagai “tahapan perjalanan menuju kehidupan kekal,” alih-alih sebagai “konsekuensi dari kejahatan yang paling tinggi.” Salah satu pihak yang vokal menentang ialah filsuf utilitarian bernama Jeremy Bentham yang menilai hukuman mati sebagai “tindakan tidak berguna.”
Penolakan terhadap hukuman mati sempat menimbulkan dampak yang signifikan. Pada abad ke-20, sejumlah negara Eropa memutuskan untuk menghapus hukuman mati. "Penghapusan hukuman mati di bekas negeri-negeri Kristen lebih disebabkan oleh humanisme sekuler alih-alih kajian mendalam atas Injil," tulis Dulles.
Kendati demikian, hukuman mati tetap diberlakukan di Vatikan. Selama empat dekade, dari 1929 sampai 1969, Vatikan menerapkan hukuman mati bagi siapapun yang melakukan percobaan pembunuhan terhadap Paus.
Pada 1981, seorang Turki bernama Mehmet Ali Ağca menembak Paus Yohanes Paulus II sebanyak empat kali. Paus selamat. Namun, alih-alih menghukum mati Ağca, Vatikan menyerahkan kasus tersebut ke pengadilan Italia yang mengganjar sang penembak dengan vonis penjara seumur hidup. Pada 2000, Vatikan memaafkan Ağca.
Rupanya Vatikan telah melarang hukuman mati, termasuk untuk pelaku percobaan pembunuh Paus, sejak 1969.
Konsili Vatikan II (1962-1965), yang menegaskan pluralisme iman, memang mengubah sikap gereja Katolik dalam berbagai aspek. Sejak Konsili Vatikan II, banyak tokoh Katolik yang mulai angkat bicara menentang hukuman mati. Penolakan tersebut berawal dari Konferensi Nasional Uskup Katolik pada 1980 di AS. Dalam pertemuan itu, mayoritas uskup yang hadir menilai negatif hukuman mati.
Konferensi tersebut turut membidani terbitnya ensiklik Evangelium Vitae (Injil Kehidupan) oleh Yohanes Paulus II pada 1992. Melalui ensiklik itu, Yohanes menekankan pentingnya “budaya kehidupan”—sebuah konsepsi yang menegaskan bahwa martabat hidup manusia harus dijunjung sebaik-baiknya.
Lima tahun berselang, 1997, Vatikan mengumumkan perubahan Katekismus. Perubahan terbaru ini menyesuaikan ensiklik Yohanes Paulus II. Salah satu bab yang ikut berubah adalah soal hukuman mati. Dalam Katekismus yang baru, Yohanes Paulus II meminta penerapan hukuman mati tidak perlu dipaksakan. Menurutnya, situasi yang membutuhkan pelaksanaan hukuman mati sangat jarang muncul, atau bahkan "tak ada sama sekali."
Menyentil Indonesia
Sebelum surat Paus Fransiskus awal Agustus silam, penolakan terhadap hukuman mati di Indonesia pernah disampaikan beberapa kali oleh Vatikan. Pada 2006, Paus Benediktus XVI mengirimkan surat khusus kepada Presiden SBY untuk meninjau kembali vonis mati yang ditujukan kepada Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu. Ketiganya divonis mati pengadilan setelah dinyatakan bersalah dalam kasus kerusuhan Poso, Sulawesi Tengah, yang terjadi pada pertengahan 2000 dan menewaskan sedikitnya 200 orang.
Segala upaya hukum telah ditempuh oleh ketiga pria asal Nusa Tenggara Timur (NTT) ini agar lolos dari maut. Tibo, Dominggus, dan Marinus membantah semua tuduhan karena memang tidak merasa melakukan apa yang ditudingkan dalam persidangan terkait tragedi SARA itu.
Menurut pengakuan ketiga terdakwa, mereka datang ke Poso pada 22 April 2000 untuk membantu proses evakuasi puluhan siswa, guru, suster, dan pastor sekolah St. Theresia yang tengah dikepung massa. Jarak antara Poso dengan kampung mereka di Beteleme, Morowali, cukup jauh, yakni sekitar 250 kilometer. Sejumlah saksi turut pula didatangkan ke pengadilan. Semuanya membenarkan pembelaan Tibo dan kedua rekannya.
Harapan sempat muncul tatkala beberapa jam usai surat khusus Vatikan diterima Indonesia, pemerintah memutuskan untuk menunda eksekusi mati yang sudah nyaris dilakukan dini harinya.
Namun, kenyataan berkata sebaliknya. Baik surat Vatikan maupun keterangan saksi yang tidak menemukan kesalahan dari ketiga terdakwa rupanya tidak berhasil membatalkan eksekusi—yang hanya berjarak 42 hari setelah surat dari Vatikan diterima Indonesia.
Gereja Katolik di Indonesia pun vokal menolak hukuman mati.
Tak lama usai dilantik, pemerintahan Jokowi untuk kali pertama melakukan eksekusi mati kepada enam terpidana narkoba pada 18 Januari 2015. Eksekusi tersebut adalah tahap pertama dari tiga tahap eksekusi sepanjang 2015-2016.
Pada Februari 2015, sekitar dua minggu pasca-eksekusi pertama, Komisi Keadilan dan Perdamaian Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), melalui keterangan resminya, menyebut pemerintah harus berani keluar dari mitos bahwa hukuman mati akan bisa menyelesaikan masalah narkoba.
Meskipun para bandar dan pengedar dihukum mati, tapi jika "jalan-jalan tikus seperti pelabuhan-pelabuhan kecil tidak diawasi, pengangguran masih banyak, dan kemiskinan masih tinggi," maka narkoba akan tetap ada. Pemerintah, terang KWI, harusnya tidak perlu menjatuhkan hukuman mati, melainkan cukup mempersempit pasar narkoba di Indonesia.
Tak bisa dipungkiri, upaya Fransiskus menolak hukuman mati patut diapresiasi. Ia meneruskan gebrakan progresifnya dalam mengubah wajah konservatisme Katolik sejak diangkat sebagai Paus 2013 silam. Upaya-upayanya yang dikenal berani dan memicu kontroversi perlahan mengikis stigma negatif Gereja Katolik akibat kasus-kasus yang melibatkan para pejabatnya, mulai dari pelecehan terhadap anak-anak, korupsi dan pencucian uang, hingga pencurian dokumen di tempat tinggal kepausan.
Editor: Windu Jusuf