Menuju konten utama

Peringatan Agar Pemerintah Tidak Intervensi Proses Hukum

Penetapan calon kepala daerah sebagai tersangka dalam proses pilkada justru membuat masyarakat jeli memilih pemimpin.

Peringatan Agar Pemerintah Tidak Intervensi Proses Hukum
Presiden Joko Widodo (kanan) didampingi Menkopolhukam Wiranto (tengah) dan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin (kiri) di Istana Kepresidenan Bogor, Kamis (7/12/2017). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

tirto.id - Pemerintah melalui Menkopolhukam Wiranto meminta KPK menunda penyelidikan dan penetapan tersangka calon kepala daerah hingga pelaksanaan Pilkada 2018 berakhir. Alasan Wiranto, penetapan tersangka calon kepala daerah dalam proses pilkada mempengaruhi preferensi masyarakat memilih pemimpin.

Namun permintaan dan alasan pemerintah ditentang ahli hukum dan pegiat antikorupsi. Mereka menilai permintaan itu sebagai intervensi politik terhadap hukum.

“Ya ini namanya pejabat yang tidak bisa menempatkan diri,” kata pengajar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar kepada Tirto, Rabu (14/3).

Fickar mengatakan kekuasaan kehakiman, termasuk KPK sebagai penegak hukum, bersifat independen. Ia tidak bisa diintervensi oleh pejabat eksekutif setinggi apa pun pangkatnya.

“Meski maksudnya kelihatan baik, tindakan Menkopolhukam dapat diartikan sebagai sikap permisif terhadap sikap koruptif dalam demokrasi,” ujar Fickar.

KPK bisa kapan saja menetapkan seseorang — termasuk calon kepala daerah — sepanjang memiliki alat bukti yang cukup. Intervensi atas proses hukum, kata Fickar, hanya bisa dilakukan dengan proses hukum tandingan.

“Seperti praperadilan atau mengubah norma melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi,” kata Fickar. “Itu pun jika perkaranya belum diadili di pengadilan.”

Fickar mengatakan jika permintaan pemerintah harus dilaksanakan maka hanya kepolisian dan kejaksaan yang dapat melaksanakannya. Sebab secara kelembagaan kejaksaan dan kepolisian merupakan bagian dari eksekutif. “Kapolri dan Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh presiden, jadi sama dengn menteri bagian dari eksekutif,” katanya.

KPK, menurut Fickar, tidak perlu mengindahkan permintaan pemerintah. Hal ini agar KPK tidak terjebak dalam narasi pemerintah bahwa penetapan calon kepala daerah sebagai tersangka di masa pilkada bisa menimbulkan kegaduhan politik.

“KPK, kan, urusannya penegakan hukum pemberantasan korupsi, bukan politik. Jadi tidak ada masalah,” katanya.

Fickar mengatakan penetapan calon kepala daerah sebagai tersangka justru memberi manfaat positif kepada masyarakat.

“Ini, kan, juga untuk memudahkan supaya pemilih tidak memilih koruptor yang jika jadi mungkin akan lebih banyak merugikan negara,” ujarnya.

Peneliti Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Yeni Sucipto juga menilai penetapan calon kepala daerah sebagai tersangka tak perlu menunggu pilkada selesai. Sebab jika calon kepala daerah yang menjadi tersangka memenangkan pilkada hal itu justru bisa mengganggu penyelenggaraan pemerintah daerah.

Yeni mengatakan penundaan penetapan tersangka juga tidak adil bagi para calon kepala daerah yang sudah lebih dahulu dijerat KPK. Lagi pula, kata Yeni, penetapan tersang calon kepala daerah di masa pilkada justru membuat masyarakat lebih kritis dalam memilih pemimpin.

“Memudahkan masyarakat jangan pilih calon yang tersandung kasus korupsi,” kata Yeni.

Alih-alih mendorong KPK menunda penetapan tersangka calon kepala daerah, Yeni mengatakan pemerintah mestinya mendorong partai politik lebih selektif di dalam memilih calon pemimpin daerah. Partai mestinya tidak mendukung calon yang terindikasi kasus korupsi.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga bersikap kontra dengan permintaan pemerintah. Komisioner KPU Wahyu Setiawan menyatakan proses hukum merupakan kewenangan penegak hukum, termasuk yang terkait dengan penyelidikan korupsi calon kepala daerah.

"KPU menyadari proses hukum dan kewenangan aparat dalam menegakkan hukum. Kami tidak mencampuri proses hukum yang dilakukan KPK," katanya seperti diberitakan Antara.

Wahyu mengaku dirinya dan Ketua KPU RI Arief Budiman menghadiri Rapat Koordinasi Khusus (Rakorsus) tentang Pilkada 2018 di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam), Senin kemarin.

Namun, dalam rapat itu, Wahyu mengatakan KPU hanya menyampaikan data informasi dan pandangan mengenai Pilkada serentak 2018 dan Pemilu 2019. Menurut dia, KPU tidak ikut mengusulkan agar proses hukum calon kepala daerah di KPK ditunda. Wahyu mengatakan permintaan KPK menunda proses hukum bagi calon kepala daerah berasal dari pandangan pemerintah.

"Alasan pemerintah pada waktu itu disampaikan oleh Menko Polhukam [Wiranto], Mendagri [Tjahjo Kumolo], dan Kapolri [Tito Karnavian],” kata Wahyu.

Usai Rakorsus pada Senin (12/3), Menko Polhukam Wirantomeminta KPK menunda proses penyelidikan dan penetapan tersangka calon kepala daerah di Pilkada 2018. Sebab, proses hukum itu bisa mengganggu kegiatan calon kepala daerah di Pilkada yang kini sudah memasuki tahap kampanye.

"Karena apa? Karena akan berpengaruh pada pelaksanaan pemilu. Akan masuk ke ranah politik. Akan masuk ke hal-hal yang mempengaruhi perolehan suara. Apalagi kalau sudah ditetapkan jadi paslon [pasangan calon]. Karena itu risiko pasti berpengaruh pada pencalonannya dia sebagai perwakilan dari parpol atau mewakili pemilih," ujar Wiranto.

calon-kepala-daerah-ditangkap-KPK-CURRENTISSUE

Baca juga artikel terkait PILKADA SERENTAK 2018 atau tulisan lainnya dari Muhammad Akbar Wijaya

tirto.id - Hukum
Reporter: Muhammad Akbar Wijaya
Penulis: Muhammad Akbar Wijaya
Editor: Muhammad Akbar Wijaya