tirto.id - Annisa (10) jarang memakan bekal yang disiapkan ibunya. Ia lebih suka melewatkan sarapan dan jajan di sekolah. Cilok, batagor, mie ayam, makaroni, dan es limun adalah langganannya.
Padahal, penganan pinggir jalan belum terjaga kebersihannya. Kerap terjadi keracunan anak akibat jajanan kaki lima. Pada Februari 2017 kemarin, sebanyak 28 murid sekolah dasar di Solok, Sumatera Barat keracunan akibat memakan cilok. Yang terbaru, puluhan siswa sekolah dasar (SD) Bangak I, Kecamatan Banyudono Kabupaten Boyolali, muntah-muntah karena keracunan mi rebus.
Baca:Siswa SD Boyolali Keracunan Makanan
“Banyak makanan anak yang terkontaminasi bakteri dari makanan yang jorok-jorok seperti cilok,” kata Dwi Nastiti Iswarawanti, Peneliti pada Pusat Kajian Gizi Regional (SEAMEO RECFON), dalam diskusi di Jakarta, Rabu (9/8/2017).
Umumnya, anak-anak memilih jajan di luar karena rasa makanannya lebih gurih dan beraneka ragam. Mereka tidak tahu makanan yang dikonsumsi mengandung zat berbahaya. Boraks pada cilok, misalnya. Hal tersebut diperkuat penelitian tentang kandungan cilok di sekolah dasar di lima kelurahan Kota Malang oleh Ratih Putri Damayanti.
Hasilnya, dari 30 sampel cilok, sebanyak 14 sampel positif mengandung boraks, dan 16 sampel lainnya negatif boraks. Para siswa rata-rata membeli cilok sejumlah 81,67 gram dengan kadar boraks sejumlah 0,38 mg.
Akses terhadap makanan aman dan bergizi sejatinya merupakan kunci mempertahankan kehidupan dan mempromosikan kesehatan. Makanan yang tidak aman, menurut WHO, mengandung bakteri berbahaya, virus, parasit atau zat kimia, dapat menyebabkan lebih dari 200 penyakit, mulai dari diare hingga kanker.
Baca:Kanker yang Mengancam Nyawa Anak
Diperkirakan sebanyak 600 juta atau hampir 1 dari 10 orang di dunia jatuh sakit setelah makan makanan yang terkontaminasi. Sebanyak 420.000 orang meninggal setiap tahun karena hal itu dan mengakibatkan hilangnya 33 juta masa hidup sehat.
Sementara, anak-anak di bawah usia 5 tahun telah membawa 40 persen beban penyakit dari makanan mereka dengan 125.000 kematian setiap tahunnya. Diare adalah akibat yang paling umum karena kontaminasi makanan. Karena diare, sebanyak 550 juta orang jatuh sakit dan 230.000 kematian setiap tahunnya.
Baca:Anak-anak Suriah Kekurangan Makanan dan Obat-obatan
Peranan Guru
Dalam sehari, anak-anak bisa menghabiskan waktu 5-8 jam berada di sekolah. Maka, anak-anak di sekolah punya banyak kesempatan untuk jajan makanan sembarangan. Namun, di saat yang sama, sekolah juga jadi wahana bagi anak untuk makan makanan dengan gizi baik. Maka guru memegang peranan penting dalam edukasi gizi siswa di sekolah.
Penelitian untuk mengetahui gizi pada makanan anak dilakukan Cora Best, dkk, dalam Food and Nutrition Bulletin volume 31 no. 3 (2010). Mereka meneliti status gizi anak usia 6 sampai 12 tahun dari 76 negara di Amerika Latin, Afrika, Asia, dan kawasan Mediterania Timur. Hasilnya, terdapat 10 persen anak usia sekolah yang memiliki berat badan di bawah normal.
Selanjutnya, prevalensi anemia sedang ditemukan pada lebih dari 20 persen anak dan anemia berat pada lebih dari 40 persen anak. Sebanyak 20-30 persen anak mengalami mikronutrien karena kekurangan zat besi, yodium, magnesium, dan vitamin A. Terakhir, prevalensi kelebihan berat badan tertinggi berada di Amerika Latin sebanyak 20 persen sampai 35 persen. Sementara itu, di Afrika, Asia, dan Mediterania Timur, prevalensi kelebihan berat badan umumnya di bawah 15 persen.
Baca:Obesitas pada Anak
SEAMEO RECFON, pusat gajian gizi regional ASEAN, juga melakukan penelitian tentang profil kantin di Sekolah Dasar Senen, Jakarta pada tahun 2015. Mereka menemukan makanan instan menjadi mayoritas jajanan yang dijual, dan kebanyakan penjual tak peduli masalah kebersihannya.
Tak hanya itu, jajanan yang diteliti juga mengandung formalin sebanyak 77,6 persen dan cyclamate 77,6 persen. Formalin biasa digunakan sebagai bahan perekat kayu lapis, desinfektan, dan pengawet mayat atau sel organisme lain. Sedang, cyclamate adalah pemanis buatan yang memiliki tingkat kemanisan mencapai 30 hingga 50 kali rasa manis dari gula alami.
Sayangnya, untuk menanamkan sadar gizi kepada siswa, para guru terkendala pengetahuan dan ketrampilan. Selain itu, materi ajar dan alat bantu siap pakai juga kurang memadai. Padahal, penelitian oleh Wiradnyani, dkk dalam Attitude and Readlines of Elementary School Teachers, menyatakan mayoritas guru sebanyak 63,8 persen merasa memiliki pengetahuan yang cukup tentang nutrisi.
Namun, hanya sepertiga dari mereka yang benar-benar memiliki pengetahuan yang baik. Selain itu, sebanyak 53,5 persen dari mereka menganggap pemahaman gizi dan keamanan pangan kurang optimal dilakukan di sekolahan. Sebanyak 50 persen aturan di sekolah juga tak mendukung edukasi nutrisi, dan jajanan tidak bergizi yang dijual, terlalu banyak beredar, sebanyak 63,6 persen.
“Para guru berpikir, orangtualah yang punya andil lebih karena kebiasaan makan berasal dari keluarga,” kata Dwi.
Padahal, jika orangtua dan pihak sekolah sama-sama melek pendidikan nutrisi, penyakit-penyakit akibat kontaminasi makanan buruk gizi pada anak bisa diminimalisasi.
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani