tirto.id - WA, perempuan berusia 15 tahun asal Jambi, divonis enam bulan penjara karena perkara aborsi. Vonis diberikan oleh Hakim Ketua Pengadilan Negeri Muara Bulian, Batanghari, Jambi, Kamis (19/7/2018).
Selain media lokal seperti jambi-independent, kasus dengan nomor perkara 5/Pid.Sus-Anak/2018/PN Mbn ini juga menyita perhatian media massa internasional, di antaranya The Guardian.
Kasus bermula ketika warga menemukan mayat bayi perempuan di kebun sawit, Rabu (30/5/2018). Polres Batanghari kemudian menangkap WA, ibu sang bayi, juga AA berumur 18 tahun. AA adalah kakak kandung WA yang menghamili adiknya sendiri. Persidangan didaftarkan pada Kamis, 5 Juli 2018.
Paksaan berhubungan badan dilakukan secara verbal maupun non-verbal, termasuk pemukulan. AD, ibu kedua anak ini, awalnya tidak tahu anaknya hamil oleh anaknya yang lain. Namun ia sadar dan akhirnya berupaya melakukan aborsi, termasuk menggunakan ramuan tradisional hingga memijat perut WA.
Listyo Arif Budiman selaku hakim anggota dalam persidangan mengatakan WA "dituntut di bawah hukum perlindungan anak karena melakukan aborsi." Sementara AA dijatuhi hukuman dua tahun penjara karena melakukan pemerkosaan.
Debat Aborsi Korban Perkosaan
Kasus ini membuka kembali debat mengenai aborsi. Pada dasarnya ada dua kelompok yang punya pandangan yang berbeda soal ini: pro-life dan pro-choice.Pro-life menganggap aborsi, bagaimanapun, tidak dibenarkan bahkan sebelum janin mencapai usia 40 hari. Kalangan ini menganggap aborsi sama seperti pembunuhan karena menilai kehidupan dimulai ketika sperma membuahi sel telur. Sementara pro-choice sebaliknya, mereka menyetujui aborsi dengan dalil bahwa tubuh adalah otoritas perempuan, dan janin adalah bagian dari tubuh mereka.
Di Indonesia, aborsi diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor (PP) 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Undang-Undang mengatur dengan tegas bahwa aborsi dilarang (Pasal 75 ayat 1), namun dapat dikecualikan berdasarkan: kedaruratan medis (termasuk mengancam nyawa ibu) dan/atau kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban (Pasal 75 ayat 2).
Pada PP 61, disebutkan aborsi yang dilakukan atas alasan perkosaan dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 hari sejak hari pertama haid terakhir (Pasal 31). Aturan hukum di Indonesia sendiri lebih dekat ke argumen kelompok pro-life. Situs sistem informasi penelusuran perkara Pengadilan Negeri Muara Bulian sipp.pn-muarabulian.go.id tidak menyebut apa pertimbangan hakim menjatuhkan vonis penjara pada WA. Pengadilannya pun berlangsung tertutup untuk menghormati privasi WA dan AA yang masih di bawah umur.
Pakar Hukum Pidana Universitas Parahyangan Agustinus Pohan mengatakan hakim tidak tepat menghukum WA. Ia berpendapat ada aspek kejiwaan/psikologis yang tidak dipertimbangkan hakim.
"Seandainya aborsi itu di luar 40 hari kehamilan, pidana tersebut tidak tepat. Masih ada cara lain yang mempertimbangkan aspek kejiwaan korban," kata Agustinus kepada Tirto, Senin (23/7/2018).
Dengan mempertimbangkan kejiwaan WA yang merupakan korban perkosaan kakaknya sendiri, mantan mahasiswa Arizona State University ini mengatakan korban harusnya dimaafkan. Ia juga merujuk pada KUHP Pasal 48 yang menyebut "orang yang melakukan tindak pidana karena pengaruh daya paksa, tidak dapat dipidana."
Komisioner Bidang Anak Berhadapan Hukum Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Putu Elvina berpendapat pada dasarnya aborsi tetap harus dilakukan sesuai peraturan. Jika tidak, maka mau bagaimanapun itu tetap melanggar hukum.
"Jika korban mengaborsi tidak sesuai standar, maka pidananya setengah dari hukuman orang dewasa," kata Putu .
Ia tidak mengatakan dengan tegas apakah vonis terhadap WA itu sudah sesuai atau sebaliknya. Namun idealnya, menurut Putu, korban perkosaan dan hamil harusnya melapor karena korban perkosaan, apalagi usia anak, pasti trauma luar biasa. Setelah melapor, mereka akan didampingi konselor.
"Bila tidak didampingi atau mendapat konseling itu yang kadang membuat kondisi korban yang sedang hamil tambah buruk," tambah Putu.
Tim dari rumah sakit bakal memberikan pelayanan dan memutus apakah aborsi bisa dilakukan atau tidak dengan mempertimbangkan sejumlah aspek yang tadi sudah disebut.
Namun, sangat jarang korban perkosaan atau hamil karena perkosaan melapor. Menurut Putu hal ini wajar, termasuk WA. Mengenai ini, data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) bisa dirujuk. Mereka menyebut per 2014 diperkirakan ada dua juta kasus aborsi per tahun.
Selain soal aborsi, kasus WA juga menambah panjang daftar kekerasan seksual yang dilakukan orang terdekat. Berdasarkan data Komnas Perempuan, sepanjang tahun lalu pelaku kekerasan seksual di ranah personal/privat terbanyak adalah pacar (1.528 kasus), ayah kandung (425 kasus), dan paman (kasus 322). Sedangkan kakak kandung mencapai 89 kasus.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino