tirto.id - Sekelompok muda-mudi terlihat bergerombol di kawasan titik 0 Malioboro, Yogyakarta, pada malam 28 September 2012. Mereka yang menamakan diri Samsara Indonesia tak berniat sekadar nongkrong sebagaimana kebiasaan anak-anak muda Kota Pelajar lainnya. Mereka juga berangkat dari beragam latar belakang. Mulai dari feminis hingga seniman, ada laki-laki dan juga perempuan. Meski berbeda-beda, tapi tujuannya sama: menuntut akses aborsi aman dan legal di Indonesia.
Titik 0 Malioboro sering menjadi tempat aksi damai dan sosialisasi beragam isu. Namun malam itu Samsara Indonesia berniat membawa isu yang sangat sensitif: aborsi. Mereka sengaja memilih tanggal 28 September untuk merayakan Hari Aksi Menuntut Akses Aborsi Aman dan Legal Internasional.
Mereka aktif mendatangi muda-mudi lain yang sedang duduk-duduk di bangku dekat titik 0, menjawab pertanyaan mereka seputar aborsi dan berdiskusi seputar praktik yang diharamkan di Indonesia itu. Mereka juga menyebarkan pamflet berisi nomor telepon Samsara Indonesia yang bisa diakses bagi perempuan yang positif hamil namun belum siap mengandung dan melahirkan anaknya.
Identitas si perempuan akan dijamin kerahasiaannya oleh Samsara Indonesia dan akan diberikan sejumlah opsi sebagai solusi. Bagi mereka, aborsi adalah pilihan. Apalagi jika si perempuan belum siap secara mental maupun finansial untuk menanggung hidup anaknya nanti, atau kehamilan justru berbahaya bagi si perempuan dan/atau si jabang bayi. Upaya bantuan itu tentu tanpa stigmatisasi yang justru mengkriminalisasi atau menghakimi si korban. 100 persen niat baik untuk menolong.
Sikap dan gerakan yang tercermin dari Samsara Indonesia dapat digolongkan sebagai kelompok pro-choice. Dalam dunia perdebatan seputar aborsi, alih-alih melarang, mereka memandang praktik tersebut adalah pilihan. Mengapa? Sebab bagi Samsara, sebagaimana isi kampanye mereka, tubuh adalah otoritas si perempuan. Dan dalam sebuah negara, hak atas aborsi yang legal dan aman sudah seharusnya mereka dapatkan. Malangnya, menurut mereka, perempuan di Indonesia belum mendapatkan hak tersebut.
Peraturan tentang aborsi diatur dalam Undang-Undang tentang Kesehatan Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Aborsi tidak diizinkan, kecuali dengan alasan kedaruratan medis ibu dan bayi serta bagi korban pemerkosaan. Sedangkan pada kenyataannya, sebagaimana argumen kelompok pro-choice, aborsi seharusnya bisa selalu menjadi pilihan meskipun perempuan yang berkaitan tak memenuhi dua syarat utama tersebut. Bisa saja, misal, si perempuan memang belum memiliki kesiapan secara fisik, psikis, secara finansial untuk merawat anaknya.
Sayang suara mereka sangat minoritas di Indonesia. Dalam riset Pew Research tahun 2014, 89% responden asal Indonesia menyatakan tak setuju dengan aborsi. Golongan ini bisa disebut sebagai oposisi dari kelompok pro-choice, yakni kelompok pro-life. Samsara dan pihak yang menjunjung tinggi asas pro-choice masuk dalam golongan 1% di Indonesia. Jika dibandingkan dengan negara lain, rasio ini tergolong sangat njomplang.
Di Chili, menurut hasil riset yang sama, responden yang tak sepakat dengan praktik aborsi masih tinggi, namun berhenti di angka 65 persen. Indonesia mirip Uganda yang responden pro-life-nya mencapai lebih dari 80 persen. Sedangkan rasio yang lebih seimbang ditemukan di Amerika Serikat dengan 56 persen adalah pro-choice dan 41 persennya pro-life. Bahkan ada negara yang memiliki masyarakat pro-choice lebih banyak. Inggris contohnya, yang golongan pro-choice-nya mencapai 62 persen.
Di Indonesia, aborsi lekat dengan pembunuhan. Argumen yang sama sering dipakai oleh kelompok pro-life di seluruh penjuru dunia untuk menyerang kelompok pro-choice. Menariknya, menurut sejumlah riset, kubu pro-life kebanyakan dihuni oleh orang-orang agamis dan konservatif. Kondisi ini sangat tergambar di AS, dimana kedua kelompok yang terbelah merepresentasikan dominasi orang-orang konservatif di kubu pro-life dan orang-orang liberal di kubu pro-choice. Orang-orang Republikan di kubu pro-life dan Demokrat di kubu pro-choice.
Dualisme dan pertentangan antara kedua kubu itu tersaji dengan baik dalam sebuah film dokumenter berjudul Lake of Fire (2006). Mereka bertemu di masing-masing kampanye dan aksi damai, beradu argumen tentang aborsi dari segi hukum, moralitas, sampai agama. Mulai dari isu sejak kapan sebuah janin dinyatakan sebagai entitas hidup, stigmatisasi kepada pelaku aborsi, perbincangan soal otoritas tubuh, sampai dorongan agar undang-undang lebih pro ke masing-masing kubu.
Kondisinya cukup adil, seimbang, dan dalam asas menghormati pendapat kubu lawan. Sesuatu yang hampir tak ditemukan di Indonesia di mana sebagaian besar masyarakatnya didominasi oleh kubu pro-life. Tak hanya didukung oleh kekuatan hukum, namun secara kultur rata-rata orang Indonesia juga menganggap aborsi sebagai praktik keji dan patut dihindari.
Siapa Korbannya?
Kaum perempuan yang hamil tak direncanakan adalah korban terbesar dari produk hukum yang tak berpihak pada mereka. Saat opsi aborsi yang aman dan legal tak tersedia, maka jalan satu-satunya adalah pergi ke praktik aborsi ilegal. Pertaruhannya besar. Dengan tenaga medis yang abal-abal dan peralatan yang kebanyakan tak memenuhi standar, perempuan-perempuan tersebut menghadapi risiko kematian yang cukup tinggi.
Hasil penelitian Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada dengan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada Oktober lalu menunjukkan 58 persen remaja putri yang hamil di luar nikah berupaya menggugurkan kandungannya alias memilih melakukan aborsi.
Peneliti PSKK UGM, Sri Purwatiningsih, di Yogyakarta, Rabu (12/10/2016) mengatakan kepada Antara bahwa dalam skala nasional terdapat penurunan angka fertilitas remaja, yakni 51 dalam 1.000 kelahiran (SDKI 2007) menjadi 48 dalam 1000 kelahiran (SDKI 2012). "Namun, kalau dilihat per daerah atau provinsi maka terjadi variasi angka. Masih ada wilayah dengan angka perkawinan remaja yang cukup tinggi," jelas dia.
Ia melanjutkan bahwa dari tindakan remaja saat hamil secara tidak diinginkan, hasil analisisnya cukup mengkhawatirkan sebab 6,4 persen di antara mereka mencoba aborsi namun gagal, sementara yang meneruskan kehamilannya ada 33 persen. Kegagalan aborsi tak selalu membuat opsi si perempuan melanjutkan kehamilannya. Sebab jika kegagalan itu menimbulkan pendarahan yang hebat, si perempuan sudah tak memiliki opsi lain alias meninggal.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan aborsi yang tidak aman bertanggung jawab terhadap 14% dari kematian ibu di Asia Tenggara, tetapi untuk negara-negara di Asia Tenggara dengan hukum aborsi yang sangat ketat (termasuk Indonesia), maka angka kematian ibu karena aborsi meningkat menjadi 16%.
Diduga bahwa terjadinya komplikasi-komplikasi dari aborsi yang tidak aman memicu kemungkinan terjadinya kematian. Dalam hal ini, angka yang pasti untuk Indonesia belum tersedia. Tetapi untuk Asia Tenggara, diperkirakan tiga dari setiap 1,000 perempuan yang berusia 15-44 tahun dirawat di rumah sakit setiap tahunnya karena komplikasi yang berhubungan dengan aborsi.
Bila dihitung, maka hal tersebut sama dengan 130 perawatan di rumah sakit untuk setiap 1000 perempuan yang melakukan aborsi tidak aman. Angka komplikasi yang sebenarnya, termasuk komplikasi yang terjadi pada perempuan yang tidak berobat ke rumah sakit, dipercaya lebih tinggi lagi.
Komplikasi aborsi yang paling sering terjadi adalah pendarahan yang berat. Kasus aborsi yang menyebabkan kematian berkisar antara 13-50 % dari kasus kematian akibat pendarahan. Selanjutnya ada faktor infeksi dan keracunan dari bahan yang digunakan untuk penguguran kandungan. Banyak juga perempuan yang mengalami kerusakan pada alat kemaluannya, rahim, dan perforasi rahim.
Sikap dan suara kelompok pro-life di Indonesia sesungguhnya demi menekan angka kematian akibat aborsi ilegal. Selama aborsi legal hanya bertumpu pada alasan kedaruratan medis ibu dan bayi serta bagi korban pemerkosaan, maka kasus meninggalnya perempuan yang tak siap hamil akibat aborsi ilegal akan terus tinggi.
Persoalannya bukan lagi pada perkara legal atau ilegal, melainkan soal kemanusiaan bagi si korban. Samsara menyoroti hal ini lewat sebaris pernyataan sindiran: Jika si pelaku penghamilan bisa kabur dan melenggang bebas, kenapa si korban perempuan yang harus menanggung segala deritanya hanya karena payung hukum yang ada belum sempurna?
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti