tirto.id - Kredit Pemilikan Rumah (KPR) menjadi salah satu program pemerintah sejak berlakunya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
Dengan Perpres itu, pemerintah mencanangkan program "Satu Juta Rumah". Hasilnya, sepanjang tahun 2015 dapat dibangun rumah sebanyak 699.770 unit, kemudian pada 2016 sebanyak 805.169 unit, dan 2017 sebanyak 904.758 unit.
Target 1 juta rumah akhirnya terpenuhi pada 2018, yakni sebanyak 1.132.621 unit. Bahkan, untuk tahun 2019 hingga bulan Oktober, pemerintah telah membangun sebanyak 1.002.317 unit.
Mengenai pembiayaan pembangunan rumah, ada program KPR. Cara kerja KPR sama seperti beberapa sistem kredit yang lain, yakni pemberian sejumlah pinjaman pembangunan atau pembelian rumah dengan syarat-syarat dan jaminan tertentu.
Dikutip dari laman resmi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), KPR biasanya dikelola oleh lembaga pemerintah atau pihak swasta yang diawasi langsung oleh OJK.
KPR Bersubsidi & Non Subsidi
Semula, terdapat dua jenis KPR yaitu KPR Subsidi dan Non Subsidi. Seiring berjalannya waktu, muncul pula KPR Syariah.
Menurut laman Direktorat Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan, KPR Bersubsidi adalah kredit/pembiayaan pemilikan rumah yang mendapat bantuan dan/atau kemudahan perolehan rumah dari pemerintah.
Kemudahan itu berupa dana murah jangka panjang dan subsidi perolehan rumah yang diterbitkan oleh bank pelaksana, baik secara konvensional maupun dengan prinsip syariah.
KPR Bersubsidi diberikan untuk masyarakat dengan penghasilan rendah. Subsidi yang diberikan dalam KPR ini yaitu berupa pengurangan suku bunga kredit atau uang muka.
Sedangkan KPR Non subsidi adalah KPR yang disediakan oleh bank untuk masyarakat yang kebijakannya diatur oleh bank yang bersangkutan tanpa menyimpang dari undang-undang yang berlaku.
KPR jenis ini diberikan kepada konsumen berdasarkan harga jual rumah yang ditentukan oleh pihak pengembang.
KPR Syariah
KPR (Kepemilikan Pembiayaan Rumah) Syariah merupakan pemberian sejumlah biaya dalam jangka waktu tertentu untuk membiayai pembelian rumah dengan menggunakan prinsip-prinsip dalam ajaran Islam.
KPR Syariah merupakan produk yang ditawarkan oleh bank syariah yang menganut prinsip tanpa bunga karena bunga dianggap sebagai riba. Sebagai gantinya, KPR Syariah menawarkan sistem bagi hasil atau nisbah.
Terdapat beberapa akad (perjanjian) yang dikenal dalam KPR Syariah, yaitu Akad Mudharabah, Akad Musyarakah, Akad Murabahah, Akad Ijarah Muntahia Bittamlik (IMBT), dan Akad Musyarakah Mutanaqisah.
Akad Mudharabah adalah skema perjanjian dengan prinsip jual beli, yaitu akad kerjasama usaha antara nasabah dan bank.
Akad Musyarakah adalah skema perjanjian dengan sistem berbagi modal. Bank maupun nasabah sama-sama mengeluarkan dana untuk membeli rumah yang dikehendaki nasabah.
Akad Murabahah adalah skema perjanjian berdasarkan aktivitas jual beli barang dengan tambahan keuntungan untuk bank syariah yang telah disepakati kedua belah pihak.
Akad IMBT merupakan skema perjanjian dengan konsep sewa beli. Nasabah dianggap menyewa rumah kepada bank hingga masa akhir cicilan.
Akad Musyarakah Mutanaqisah merupakan skema perjanjian KPR dengan konsep kepemilikan bertahap. Bank maupun nasabah sama-sama menjadi pemilik rumah, lalu porsi kepemilikan bank akan berkurang secara bertahap seiring dengan pembayaran cicilan oleh nasabah.
Dikutip dari laman resmi Perumnas, suku bunga dalam KPR Syariah tidak akan berubah selama masa angsuran.
KPR Syariah juga tidak mengenal penalti. Dalam pengajuan KPR terdapat denda ketika nasabah melanggar hal tertentu dalam perjanjian selama masa angsuran, sedangkan KPR Syariah tidak mengenal penalti semacam ini.
Penulis: Yonada Nancy
Editor: Iswara N Raditya