tirto.id - Ibadah kurban dapat dibedakan menjadi kurban sunah dan kurban wajib tergantung pada adanya nazar atau tidak. Ketentuan pembagian daging kurban sunah berbeda dengan kurban wajib.
Ibadah kurban yang dilaksanakan pada Iduladha (10 Zulhijah) dan hari tasyrik (11, 12, dan 13 Zulhijah) adalah ibadah yang diperintahkan langsung oleh Allah.
Dalam Surah al-Kautsar:1-2, Allah berfirman, "Sesungguhnya Kami telah memberikan nikmat yang banyak kepadamu. Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu dan beribadahlah (berkurbanlah).
Dalam penerapannya, terdapat perbedaan pendapat ulama tentang hukum kurban. Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam Tuntunan Idain & Qurban menyebutkan, hukum kurban dalam pendapat Imam Syafi'i, Imam Malik, dan Imam Ahmad adalah sunah muakkadah, atau sunah yang sangat ditekankan, tetapi tidak sampai ke derajat wajib.
Diriwayatkan dari jalur Ummu Salamah, terdapat riwayat Rasulullah, "Apabila telah masuk hari ke-10 (bulan Zulhijah), dan salah seorang darimu ingin berkurban, maka ia tidak memotong rambut dan kukunya (H.R.
Muslim).
Sementara itu, Imam Abu Hanifah berpendapat, hukum kurban adalah wajib. Hal ini didasarkan pada riwayat Nabi, "Siapa yang memiliki keleluasan harta dan tidak menyembelih hewan kurban, maka janganlah mendekati tempat salat kami”. (HR. Ibnu Majah).
Dalam Rokha (2015:28), hukum wajib di mazhab Hanafiyah ini dilekatkan kepada "orang mampu atau punya kelapangan rezeki dan mukim (menetap)". Sebagai catatan, posisi wajib menurut mazhab Hanafi adalah di antara fardu dan sunah.
Kurban Sunah dan Wajib
Ibadah kurban sendiri dapat dibedakan menjadi kurban sunah dan wajib. Kurban sunah terjadi ketika shohibul qurban memberikan hewan kurban untuk disembelih sendiri atau diwakilkan pada hari raya Iduladha dan hari tasyrik tanpa bernazar lebih dahulu.
Sementara itu, ibadah kurban menjadi wajib ketika seseorang sudah bernazar sebelumnya. Alasannya, nazar memang harus dilakukan.
Terdapat beberapa hadis tentang pentingnya melakukan hal yang sudah menjadi nazar, salah satunya yang diriwayatkan dari jalur Aisyah, bahwa Rasulullah bersabda, "Siapa yang bernazar menaati Allah, hendaklah ia tunaikan, dan siapa bernazar akan mengerjakan maksiat, maka janganlah ia kerjakan." (H.R. al-Bukhari),
Perbedaan Pembagian Daging Kurban Sunah dan Wajib
Terdapat perbedaan soal pembagian daging kurban suhan dengan kurban wajib. Dalam artikel "4 Perbedaan Kurban Wajib dan Sunnah" oleh M. Mubassyarum Bih di laman NU Online, perbedaan pertama adalah soal hak konsumsi daging untuk pihak yang berkurban.
Pembagian Daging Kurban Sunah
Untuk kurban sunah, pihak yang berkurban (shohibul qurban) dapat memakan daging kurban. Bahkan, beberapa ulama menganjurkan untuk mengambil beberapa bagian daging kurban sebagai upaya mengambil keberkahan.
Terkait batasan daging kurban sunah yang bisa diambil oleh shohibul qurban, terdapat riwayat Aisyah, bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Simpanlah 1/3 daging (kurban) itu, dan sedekahkanlah yang lainnya” (H.R. Abu Daud).
Dalam Rokha (2015:42), Yusuf Qardhawi berpendapat, pembagian daging kurban adalah: 1/3 untuk shohibul qurban dan keluarga, 1/3 untuk tetangga sekitar terutama jika mereka tidak mampu berkurban, dan 1/3 untuk fakir miskin.
Pembagian Daging Kurban Wajib
Sebaliknya, untuk kurban wajib, sohibul qurban dilarang untuk memakan daging kurban secara pribadi. Ini termasuk orang yang menjadi tanggungan nafkahnya, seperti anak, istri, dan lain sebagainya. Artinya, seluruh daging kurban disedekahkan untuk orang yang kurang mampu.
Penulis: Abdul Hadi
Editor: Fitra Firdaus