Menuju konten utama
Wawancara Khusus

Peran LPS Menjawab Tugas Baru Penjamin Polis Asuransi di UU P2SK

LPS berfungsi untuk menjamin polis asuransi dan melakukan resolusi perusahaan asuransi dengan cara likuidasi.

Peran LPS Menjawab Tugas Baru Penjamin Polis Asuransi di UU P2SK
Header Wansus Dimas Yuliharto. tirto.id/Tino

tirto.id - Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) telah bermetamorfosis dalam hal peran dan fungsinya untuk menjaga stabilitas keuangan nasional. Sejak beroperasi pada 22 September 2005, LPS kini mendapat tugas baru menjalankan fungsi atau program penjaminan polis asuransi sesuai dengan kewenangannya.

Lewat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) yang terbit pada 13 Januari 2023 lalu, LPS diamanatkan sebagai penyelenggara Program Penjaminan Polis (PPP). Tugas baru ini untuk melindungi pemegang polis, tertanggung atau peserta dari perusahaan asuransi yang dicabut izin usahanya akibat mengalami kesulitan keuangan.

Nantinya, dalam penyelenggaraan PPP, LPS berfungsi untuk menjamin polis asuransi dan melakukan resolusi perusahaan asuransi dengan cara likuidasi. Namun, PPP baru akan mulai berlaku lima tahun sejak UU P2SK diundangkan, atau pada tahun 2028.

"Kita sama sama tahu, kemarin sebelum UU P2SK banyak kasus mengenai asuransi," ujar Sekretaris LPS, Dimas Yuliharto, kepada reporter Tirto, di Bandung, Jawa Barat, Kamis (9/11/2023).

Kasus gagal bayar menang telah menjadi preseden buruk bagi industri asuransi di Tanah Air belakangan ini. Akibat gagal bayar, ribuan korban tidak bisa menerima dana polis asuransinya secara utuh hingga hilangnya kepercayaan publik terhadap industri asuransi.

Berdasarkan catatan Tirto, kasus gagal bayar pernah dialami oleh pemegang polis WanaArtha Life. Kasus ini dipicu oleh penyitaan sub rekening reksadana atas nama PT Asuransi Jiwa Adisarana Wanaartha oleh Kejaksaan, usai manajemen investasinya dicurigai terkait dengan perkara yang melibatkan Asuransi Jiwasraya--yang sudah terlebih dulu mengalami masalah gagal bayar.

Kondisi serupa juga dialami PT Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera, perusahaan asuransi tertua di Indonesia. Juga PT Asuransi Jiwa Kresna yang baru membayarkan polis sekitar 20 persen. Ditarik beberapa tahun ke belakang, PT Asuransi Jiwa Bakrie Life pernah gagal bayar pada 2008, lalu PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya yang gagal bayar pada 2013.

"Karena ini bisnis kepercayaan, mereka butuh sesuatu yang bisa mempertahankan kepercayaan mereka terhadap industri asuransi," ujar Dimas.

Kepada Tirto, Dimas menceritakan bagaimana urgensi dari lahirnya UU P2SK hingga upaya mengembalikan kepercayaan nasabah terhadap bisnis asuransi. Berikut petikan lengkap wawancara kami dengan Sekretaris LPS, Dimas Yuliharto:

Apa sebenarnya urgensi dari kehadiran Undang-Undang P2SK kalau dari kacamata LPS?

Kalau dari sisi LPS ya, memang ada beberapa ada perubahan di Undang-Undang. Di Undang-Undang P2SK itu sangat dinamis sama LPS. Contohnya, pertama, mengenai pendanaan.

Kalau dulu kan misalkan ada bank bermasalah, banknya gede terus LPS kan investasinya di SBN (Surat Berharga Negara). SBN kan ada waktunya, kalau umpamanya likuiditas kita tidak mencukupi umpamanya kita cuma punya cash atau yang mau jatuh tempo dalam waktu dekat itu cuma Rp5 triliun. Namun, ternyata kita butuh dana Rp15 triliun, berarti kan kan kurang Rp10 triliun sedangkan SBN lainnya belum jatuh tempo masih lama jatuh temponya.

Dimas Yuliharto

Dimas Yuliharto. tirto.id/andhika Krisnuwardhana

Kalau kita jual ke pasar itu kan harganya turun satu. Kedua ini akan menjadi pertanyaan pasar juga 'loh kok LPS jual ke pasar Rp10 triliun berarti ada bank bermasalah dong' ini kan portabilitas. Akhirnya kita kenapa enggak bisa repo saja. Undang-undang P2SK itu muncul bahwa LPS bisa repo SBN ke Bank Indonesia (BI).

Jadi kita nanti kita dapat uang Rp10 triliun, kita pegang kan ke BI SBN-nya. Nanti kita tinggal bayar fee aja ke BI. Jadi kalau ada SBN kita yang jatuh tempo kita bayarkan ke BI. Jadi seperti itu. Itu kan berarti bagus buat operasional LPS.

Kedua, kita sama sama tahu, kemarin sebelum UU P2SK banyak kasus mengenai asuransi. Kemudian mengenai fintech, pinjol, itu kan seolah-olah perlindungan terhadap konsumen kurang. Nah, di UU P2SK itu diperkuat perlindungan konsumennya.

Jadi nanti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) punya kekuatan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen itu urgensinya.

Salah satunya terkait LPS lagi itu adalah, LPS ini kan melakukan resolusi terhadap bank bermasalah. Ketika dia melakukan resolusi dia kan sebetulnya butuh data yang akurat untuk menentukan metode resolusi apa yang bisa saya lakukan bridge bank, purchase & assumptions, pernyataan modal sementara, dan likuidasi. Terus proses purchase & assumptions proses bridge bank itu butuh waktu. Karena kita kan dari investor dan sebagiannya.

Jadi adanya UU P2SK ini, LPS sudah bisa masuk sudah bisa meneliti kira-kira nanti ketika bank ini tidak bisa selamat sama OJK, apa yang harus dilakukan oleh LPS. Berarti kita kan bisa masuk lebih dulu, bisa lihat risikonya mana metode yang paling kecil buat LPS. Dan risiko yang terkecil juga buat perekonomian atau buat perbankan. Karena bisa jadi wah itu ternyata bisa.

Kemudian ada lagi resolusi plan. Resolusi plan itu tadinya gak ada di UU. Adanya recovery di UU P2SK itu adanya recovery plan. Di luar, yang namanya recovery itu adalah dia recovery and resolution plan, best practice-nya begitu. Tapi kita coba bakal ada recover berarti harus ada resolution plan dong.

Akhirnya, kita minta kita keluarkan Peraturan LPS bank-bank ini membuat resolution plan. Tapi enggak ada dasar hukum UU-nya. Nah, di UU P2SK ada itu bahwa bank umum harus membuat resolusi plan. Jadi itu penguatan terhadap apa yang sudah kita lakukan.

Tadi menarik soal masalah perlindungan konsumen. Sejauh mana LPS melihat UU P2SK mampu melindungi konsumen?

Untuk perlindungan konsumen secara keseluruhan mungkin OJK yang bisa jawab. Namun, kita sih melihatnya lebih ke perlindungan konsumen terhadap nasabah pemegang polis.

Di mana perlindungan konsumennya adalah kita memberikan penjaminan bagi pemegang polis walaupun masih dilakukan pada 2028 tapi ini jadi langkah awal buat kita. Karena apa?

Sebab, memberikan kepastian kepada pemegang polis nanti akan ada jaminan loh untuk mereka. Itu salah satu perlindungan konsumen yang sangat luar biasa ya efeknya.

Skemanya mungkin bisa dijelaskan?

Skemanya itu atau programnya itu seharusnya diatur oleh peraturan pemerintah yang nanti akan disusun oleh Kementerian Keuangan. Tentunya koordinasi dengan LPS dan OJK untuk membuat peraturan pemerintah tersebut.

Jadi saya tidak berani juga kasih programnya. Belum ada. Kita ada, tapi masih buat koordinasi. Kalau untuk koordinasi buat diskusi kita tidak berani keluarkan.

Namun, intinya, penjaminan polis itu modelnya kayak purchase & assumptions. Jadi polis itu ada yang dibayar ada yang diteruskan ke perusahaan asuransi lain.

Jadi kalau misal punya asuransi mobil, taruhlah baru 12 bulan, baru jalan tiga bulan asuransinya dicabut, masih ada sembilan bulan dong. Nah, sembilan bulan ini pilihannya akan diteruskan ke asuransi lain yang masih ada.

Meski ini akan berlaku 2028, apakah ini jadi prospek cerah bagi industri asuransi karena adanya penjaminan langsung dari LPS?

Iya kita sama-sama tahu, bahwa asuransi adalah bisnis kepercayaan. Dan kita sama-sama tahu bahwa kepercayaan pemegang polis secara umum di Indonesia itu sedikit terganggu dengan kasus-kasus perusahaan asuransi yang dicabut izin usahanya dan bermasalah. Contohnya, yang terjadi kemarin Jiwasraya dan Indosurya dan sebagainya.

Karena ini bisnis kepercayaan, mereka butuh sesuatu yang bisa mempertahankan kepercayaan mereka terhadap industri asuransi.

Hadirnya penjamin pemegang polis itu sebenarnya untuk memperkuat industri asuransi di Indonesia. Supaya apa? Agar masyarakat tetap percaya atau bahkan meningkat kepercayaan terhadap industri asuransi. Jadi mereka tidak akan segan-segan lagi misalnya, untuk melakukan [pembelian produk] asuransi.

Artinya ini bisa meminimalkan juga terjadinya kasus gagal bayar?

Sebenarnya kalau gagal bayar itu kan sebetulnya karena kebanyakan salah tata kelola. Kita sudah ada persamaan persepsi dengan OJK, di mana kita LPS sebagai penyelenggara penjamin pemegang polis OJK juga meningkatkan pengawasannya terhadap asuransi supaya asuransi bisa lebih baik.

Jadi kayak bank. Bank-nya semakin baik penjaminannya menambah kondisi bank itu jadi lebih baik lagi. Sebab, masyarakatnya percaya. Seperti itulah nantinya yang terjadi di industri asuransi yang kita harapkan seperti itu.

Apa yang sedang disiapkan sampai 2028 atau ada road map sebelum implementasi penjaminan pemegang polis?

Ada banyak tentunya, ada banyak yang dipersiapkan. Pertama, adalah perangkat peraturan. Lalu perangkat peraturan ini tentunya kita harus kerja sama dengan teman-teman Badan Kebijakan Fiskal (BKF). Tentunya kami LPS akan koordinasi sih.

LPS berarti bisa memberikan masukan kepada BKF?

Pastinya. Kita akan buat draf sendiri dan kita sedang susun itu. Pada saat susun itu kita juga konsultasi dengan asosiasi asuransi. Kemudian kita juga komunikasi dengan teman-teman OJK, seperti apa. Setelah kita susun baru kemudian kita ngasih masukan ke teman-teman Kementerian Keuangan.

Itu, pertama, dari sisi peraturan ya. Walaupun kami juga sudah mempersiapkan karena begitu ada PP kan pasti ada Peraturan LPS-nya untuk yang lebih teknis. Itu juga sudah kita susun.

Kedua, mengenai organisasi. Karena ini kan ada ADK [Anggota Dewan Komisionaer] Bidang Penjaminan Polis. Kita sudah menuju atau membuat organisasi mengenai direktorat yang menangani, ini ada direktoratnya, Direktorat Pengawasan dan Penjaminan Pemegang Polis.

Kemudian, ketiga, kita juga menyiapkan sumber daya di internal LPS untuk paham mengenai bisnis asuransi, peraturan-peraturan di asuransi kemudian juga nanti pelaksanaan penjaminan pemegang polisnya. Jadi nanti SDM-nya sudah siap ketika 2028.

Dimas Yuliharto

Dimas Yuliharto. tirto.id/andhika Krisnuwardhana

Harapannya dengan adanya UU P2SK dan adanya penjaminan pemegang polis dari LPS, bagaimana prospek industri asuransi?

Sebenarnya ujungnya dari UU P2SK untuk memperkuat stabilitas sistem keuangan kita ya. Dan tentunya kita berharap stabilitas sistem keuangan kita semakin meningkat dan kuat dengan adanya pula penjaminan pemegang polis, sehingga kita tidak rentan lagi dari gangguan eksternal.

Kalau di internal kita sudah kuat ya di eksternalnya tidak akan segampang itu mengganggu ekonomi kita.

Kaget tidak, atau ada tantangan sendiri dengan tugas yang baru ini?

Tidak. Kalau kita mau palugada. Apa yang lu minta gua ada. Istilahnya gini, namanya juga lembaga pemerintah ya.

Pemerintah itu kan selalu siap dengan tugas yang diberikan oleh negara dan rakyat ya. Amanah ini kan dari DPR ya. Ini kan sudah amanah rakyat jadi kita harus siap dong.

Bukannya mestinya harus ada badan khusus di luar LPS untuk mengurus penjaminan polis?

Ada pemikiran seperti itu tadinya. Bahkan di LPS pun berpikir seperti itu karena kita mau konsentrasi ke perbankan.

Namun, dengan adanya UU P2SK itu kan berarti rakyat dalam hal ini DPR, dan pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan sudah memikirkan semua hal itu. Termasuk memikirkan kenapa memilih LPS. LPS sebagai pelaksana siap-siap saja. Tidak pernah mundur.

Baca juga artikel terkait WAWANCARA atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Bisnis
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Maya Saputri