Menuju konten utama

Peran Komnas HAM di ASEAN Dinilai Minim Meski Sudah Aktif 25 Tahun

Komnas HAM dikritik belum memainkan peran penting dalam mendorong penyelesaian masalah pelanggaran hak asasi manusia di level ASEAN.

Peran Komnas HAM di ASEAN Dinilai Minim Meski Sudah Aktif 25 Tahun
(Ilustrasi) Komisioner Komnas HAM Amiruddin Al Rahab didampingi Kabag Pelayanan Pengaduan Komnas HAM Rima Salim menerima Yayasan Peneliti Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65) untuk menyerahkan bukti baru terkait dengan peristiwa pembantaian massal 1965, di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Rabu (15/11/2017). ANTARA FOTO/Galih Pradipta.

tirto.id - Wakil Ketua Komnas Perempuan Yunianti Chuzaifah menilai, meski Komnas HAM sudah berusia 25 tahun, peran lembaga tersebut untuk mengarusutamakan isu hak asasi manusia di ASEAN masih minim.

“Peran Komnas HAM dalam konteks regional masih sayu,” kata Yunianti saat berbicara dalam acara Sarasehan Seperempat Abad Komnas HAM di kantor Komnas HAM, Jakarta, Senin (9/7/2018).

Yunianti menyatakan kritiknya didasari kenyataan bahwa pelanggaran hak asasi manusia di wilayah regional ASEAN masih menjadi persoalan yang terus mengemuka.

Dia menyebut langkah pemerintahan Presiden Filipina Rodrigo Duerte dalam memberantas peredaran narkoba, yang menelan banyak nyawa, hanya salah satu contoh masalah HAM di ASEAN. Demikian pula kasus Rohingya di Myanmar.

“Indonesia harus bisa menjadi model untuk mengonsolidasi isu-isu hak asasi di ASEAN,” kata dia.

Dia mengingatkan pelanggaran HAM kerap memiliki sifat transnasional. Karena itu, penanganan sejumlah kasus tidak bisa direspons dengan hukum masing-masing negara saja.

Yunianti mencontohkan, pada kasus Mary Jane Veloso yang divonis mati karena kasus narkoba di Indonesia, koordinasi antar-anggota ASEAN untuk menyikapinya sebagai isu HAM masih lemah.

Padahal, menurut dia, sejumlah bukti menunjukkan Mary Jane merupakan korban perdagangan manusia. Yunianti menilai, pada kasus Mary Jane, telah terjadi segregasi dan pencacahan dalam mekanisme perlindungan HAM di level regional.

“Rules of evidence kasus itu tidak bisa dibuktikan. Padahal dia sebagai korban human trafficking [perdagangan manusia] yang dibalut isu narkoba,” kata Yunianti.

Sebagai informasi, Mary Jane ditangkap aparat hukum Indonesia pada April 2010 karena kedapatan membawa 2,6 kg heroin di Bandara Adi Sucipto, Yogyakarta. Kemudian, Pengadilan Negeri Sleman menetapkan hukuman mati kepada warga Filipina itu.

Rencana eksekusi Mary Jane pada 2015 lalu menuai protes dari banyak pihak. Apalagi, Tintin Sergio, diduga bos Mary Jane, kemudian menyerahkan diri ke pihak berwajib Filipina, dan tim pengacara menemukan bukti baru bahwa Mary Jane bukan pelaku utama melainkan korban perdagangan manusia.

Sebelum itu, pemerintah Filipina juga sudah pernah meminta agar eksekusi Mary Jane ditunda dengan alasan dia berpotensi menjadi saksi kunci dalam penyelidikan sindikat narkoba di Filipina.

Hingga kini rencana eksekusi Mary Jane masih dalam status ditunda. Pemerintah Indonesia tidak kunjung memberikan ampunan kepada dia.

Meskipun menilai perannya minim di level regional, Yunianti mengakui kepercayaan publik Indonesia terhadap Komnas HAM selama ini masih tinggi.

Baca juga artikel terkait PELANGGARAN HAM atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Addi M Idhom