Menuju konten utama

Pepes Hanya Korban Narasi Elite Prabowo-Sandi?

BPN disebut harus bertanggung jawab, karena ketiga ibu anggota Pepes sudah mengorbankan hidup mereka bagi pilpres.

Pepes Hanya Korban Narasi Elite Prabowo-Sandi?
Relawan mengikuti acara Pembekalan Relawan Pasangan Capres-Cawapres Nomor Urut 02 Prabowo- Sandi di Istora Senayan, Jakarta, Kamis (22/11/2018). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

tirto.id - Partai Emak-Emak Pendukung Prabowo Sandi alias Pepes, tak begitu terkenal sebelum "video viral dari Karawang" muncul. Mereka hanya sayup-sayup muncul di antara berita tentang kelompok relawan capres yang memang semakin menjamur menjelang hari pencoblosan Pilpres 2019.

Namun semua berubah beberapa hari terakhir, setelah tiga ibu ditangkap polisi, Ahad (24/2/2019) malam, sekitar pukul 23.30. Ketiga ibu anggota Pepes itu disinyalir melanggar Pasal 14 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana tentang menyebarkan berita bohong.

Ketiganya ditangkap karena disangka memengaruhi calon pemilih untuk tak mencoblos Jokowi-Ma’ruf pada pilpres mendatang. Upaya mempengaruhi ini dilakukan pada Rabu, 13 Februari 2019, dengan alasan yang dinilai mengada-ngada.

Penangkapan anggota Pepes ini mendapat sorotan dari kubu Jokowi-Ma’ruf. Wakil Direktur Komunikasi TKN Jokowi-Maruf, Arya Sinulingga menilai Pepes sebagai kelompok yang dimanfaatkan kubu BPN Prabowo-Sandiaga.

“Ini perempuan dan ibu-ibu, apa sengaja dikorbankan sehingga kalau masyarakat menyerang jadi ragu? Ini sangat tidak etis. Kami lihatnya seperti dipergunakan," kata Arya saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (26/2/2019) sore.

Arya menduga, ada dua kemungkinan yang melatari para relawan ini bersikap demikian. Pertama, kata dia, mereka mengikuti cara elite BPN yang gemar mengeluarkan hoaks dan politik ketakutan. Kedua, aksi tersebut memang sudah dirancang tim sukses.

“Kita tahu, bagaimana mengerikannya kasus Ratna Sarumpaet. Omongannya cukup mengerikan. Neno juga. Senada dan satu frame, saya lihat. Apa memang dirancang seperti itu? Apa ini fenomena teroris politik? Bom bunuh diri politik yang jadi tumbal,” katanya.

Dua Sisi Emak-emak: Alat Politik dan Korban

Pengajar politik dan pemerintahan dari UGM, Arya Budi menjelaskan soal fenomena emak-emak ini. Dalam tradisi politik praktis, Arya menyebut, fenomena emak-emak ini dikategorikan sebagai street campaigner--relawan lapangan.

Ada dua perspektif soal relawan ini. Dari sisi lawan politik, kata dia, mereka dianggap sebagai korban elite tapi dari sisi pendukung dianggap sebagai alat politik.

Ia pun menyayangkan jika para relawan ini akhirnya dibekali dan diminta menyebarkan hoaks itu. Sebab, mereka bisa dirawat untuk jadi bagian alat politik dan bukan menjadi korban.

“Kalau mereka percaya hoaks dan disebarkan, tentu sangat disayangkan,” kata Arya kepada reporter Tirto.

Terkait kampanye door to door yang dilakukan para Pepes, Arya menilai mereka seharusnya memahami informasi soal calon yang didukung dan lawan politiknya. Ini karena kampanye jenis ini terbilang efektif.

“Misal, 01 yang punya banyak efek negatif dari infrastruktur yang dibuat, atau 02 yang pegang banyak penguasaan lahan. Ini sah [dikampanyekan]. Yang menjadi problem, kontennya hoaks. Itu merusak demokrasi,” kata Arya.

Gambaran soal relawan yang dijelaskan Arya juga diamini pengajar komunikasi politik di UIN Jakarta, Adi Prayitno. Namun dalam konteks kasus Pepes, Adi menilai emak-emak ini menjadi korban dari timses yang kurang mengedukasi mereka. Ia mengaku sedih melihat fenomena emak-emak Pepes yang terjerat kasus hukum.

“Harusnya semua relawan dan timses dibekali larangan dan anjuran seperti apa. Mereka ini hanya emak-emak, hanya menerjemahkan hal-hal yang sering diucapkan para elite. Banyak orang yang enggak paham UU Pemilu. Emak-emak ini enggak tahu isi UU Pemilu,” kata Adi kepada reporter Tirto.

Ia pun menyebut BPN Prabowo-Sandiaga harus bertanggung jawab. Mereka juga harus memberikan bantuan hukum kepada tiga ibu dari Pepes ini karena ketiganya sudah mengorbankan hidup mereka bagi pilpres.

“BPN harus minta maaf kepada publik,” kata Adi.

Tak hanya itu, Adi meminta TKN tak memperpanjang kasus dan memaafkan ketidaktahuan para emak-emak ini.

“Mending dimaafkan. Pemilu terkesan menyeramkan, jangan memberi kesan itu lagi. Dikit-dikit lapor polisi. TKN harus berprasangka baik,” kata Adi.

BPN Klaim Kampanye 3 Ibu Bukan Cara Pepes

Anggota Dewan Pengarah Badan Pemenangan Nasional (BPN), Fadli Zon menampik jika BPN Prabowo-Sandiaga dituding memerintahkan relawan untuk berkampanye menjelekkan Jokowi-Ma’ruf. Perintah juga tak pernah datang dari Prabowo ataupun Sandiaga.

“Tidak ada, Kami itu kampanyenya kampanye positif,” kata Fadli, di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Selasa siang.

Sementara itu, juru bicara BPN Prabowo-Sandiaga, Andre Rosiade menyebut analisis yang menganggap emak-emak ini sebagai korban adalah hal yang keliru. Ia balik menuding, analisis itu bertendensi hoaks.

“Pernyataan itu hoaks itu. Emak-emak mungkin banyak yang enggak tahu dan terlalu bersemangat, tapi kami sudah memberikan informasi mana yang boleh dan mana yang tidak dalam kampanye,” kata Andre kepada reporter Tirto.

Ia menilai, relawan yang tergabung dalam Pepes sudah sesuai koridor yakni mengkampanyekan soal kebijakan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, hingga kurangnya lapangan pekerjaan. Ia pun menyebut apa yang dilakukan ketiga ibu itu bukan cara Pepes.

“Itu selama ini disosialisasikan Pepes dari Oktober hingga sekarang. Ikut menggerek elektabilitas Prabowo-Sandiaga. Tiba-tiba ada orang Pepes yang lakukan kampanye negatif, itu bukan cara Pepes,” katanya.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Politik
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Mufti Sholih