tirto.id - Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Bambang Soesatyo (Bamsoet) menyampaikan bahwa lembaganya siap untuk menunda pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Hal ini menyusul adanya permintaan Presiden Joko Widodo agar DPR mempertimbangkan penundaan RKUHP pada Jumat (20/9/2019).
"Barusan saya mendapat kabar dari pemerintah, pemerintah meminta kami DPR untuk mempertimbangkan kembali pengesahan RKUHP. Dengan pertimbangan masih ada pasal-pasal yang harus dirumuskan,"ujar Bamsoet di Hotel Sultan, Senayan, Jakarta, Jumat (20/9/2019).
Bamsoet mengatakan ia sudah melakukan komunikasi dengan pimpinan fraksi yang ada di DPR dan pimpinan DPR lainnya terkait permintaan penundaan pengesahan RKUHP ini. Menurut rencana, RKUHP akan disahkan pada rapat paripurna Selasa 24 September 2019 mendatang setelah disetujui di tingkat Panja dan komisi pada Rabu (18/9/2019) lalu.
"Saya meminta kepada fraksi-fraksi dan kawan-kawan untuk meng-hold atau menunda sambil kita menyempurnakan lagi pasal yang masih pro-kontra," terang dia.
Bamsoet berjanji, DPR akan menyempurnakan pasal-pasal yang masih dianggap bermasalah oleh masyarakat, seperti mengenai kumpul kebo, kebebasan pers, penghinaan kepala negara dan beberapa pasal lainnya.
"Sebagiannya, nanti detailnya akan saya cek ya," pungkasnya.
Jumat siang, Jokowi meminta kepada DPR untuk menunda pengesahan RKUHP. Melalui keterangan pers itu, ia mengatakan bahwa RKUHP banyak mendapat kritik di sejumlah pasal.
“Dan setelah mencermati masukan-masukan dari berbagai kalangan yang berkeberatan dengan sejumlah substansi-substansi RUU KUHP, saya berkesimpulan masih ada materi-materi yang membutuhkan pendalaman lebih lanjut,” ujar Jokowi di Istana Bogor.
“Untuk itu saya telah memerintahkan Menteri Hukum dan HAM sebagai wakil pemerintah, untuk menyampaikan sikap ini kepada DPR RI, yaitu agar pengesahan RUU KUHP ditunda. Dan pengesahannya tidak dilakukan oleh DPR periode ini,” tambahnya.
Revisi KUHP yang telah disetujui DPR dan Kemenkumham hingga pembahasan tingkat dua tersebut memuat beberapa pasal karet. Masyarakat menyoroti aturan itu karena berpotensi mengkriminalisasi semua orang --termasuk kelompok rentan seperti gelandangan dan pengemis, serta korban perkosaan. Selain itu, hukum itu juga bisa mengekang kebebasan berpendapat dan kebebasan pers.
Sejumlah pasal yang tercantum di RKUHP itu juga mendapat perhatian dari negara lain, misalnya Australia. Dalam situs resmi dari Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia, mereka mengeluarkan saran perjalanannya ke Indonesia karena kemungkinan adanya perubahan KUHP di Indonesia.
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Widia Primastika