Menuju konten utama

Pentingnya Kepekaan Saat Bertanya kepada Penyintas Perkosaan

Ada pertanyaan-pertanyaan yang membikin korban merasa diperlakukan seperti pelaku kejahatan.

Pentingnya Kepekaan Saat Bertanya kepada Penyintas Perkosaan
Ilustrasi laporan korban perkosaan. Getty Images/iStockPhoto

tirto.id - Pada pekan ketiga bulan Oktober lalu, berita mengenai ujaran Kapolri Tito Karnavian yang dianggap tidak sensitif terhadap korban perkosaan menyebar di media-media massa. Bermula dari wawancara yang dilakukannya dengan BBC Indonesia, Tito mengatakan bahwa penyidik bisa menanyakan apakah korban merasa baik-baik saja setelah diperkosa.

Ia berargumen, jawaban atas pertanyaan itu penting bagi penyidik untuk menentukan kasus tersebut merupakan perkosaan atau bukan. Bila si korban mengatakan nyaman saat penyidik menanyakan perasaannya selama diperkosa, berarti hal tersebut tidak bisa dinyatakan sebagai kasus perkosaan, demikian penjelasan Tito dalam video wawancaranya.

Baca juga: Aktivis Desak Kapolri Minta Maaf karena Dianggap Berujar Seksis

Segera setelah berita tersebut beredar, protes dan desakan untuk meminta maaf ditujukan kepada Tito oleh sejumlah aktivis dan organisasi yang peduli terhadap isu gender.

LBH Apik misalnya, menyatakan sangat berkeberatan dengan pernyataan Tito. Menyusul protes-protes ini, sebuah pertemuan tertutup berisi klarifikasi atas pernyataan Tito dan diskusi dengan 18 perwakilan organisasi pemerhati isu gender, termasuk LBH Apik, digelar di kediaman sang Kapolri pada Senin (23/10). Tidak ada maksud untuk tidak berempati terhadap korban, demikian keterangan yang Tito sampaikan kepada pers seusai pertemuan.

Terlepas dari klarifikasi ini, LBH Apik mencatat masih banyak kepelikan yang harus dihadapi korban perkosaan saat berusaha menegakkan keadilan baginya. Pertama, dalam kasus perkosaan, mesti dibuktikan adanya unsur kekerasan atau ancaman kekerasan.

Hal ini tidak mudah dilakukan karena faktanya, ada kasus-kasus perkosaan yang tidak dilakukan dengan kekerasan. Ada relasi kuasa yang membuat seseorang rentan menjadi korban perkosaan. Belum lagi ketidakpahaman tentang konsep consent yang menjadi dasar penilaian apakah sesuatu dikatakan perkosaan atau bukan. Ketidakpahaman atau kondisi korban yang memiliki disabilitas bisa mempermudah pelaku untuk memanipulasi mereka.

Kepelikan lain yang berkaitan dengan proses penyidikan ialah belum meratanya pemahaman anggota-anggota kepolisian mengenai kekerasan terhadap perempuan. Sekalipun telah ada Perkap no.3/2008 tentang Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) dan tata cara pemeriksaan tindak pidana bagi saksi/korban perempuan dan anak, belum tentu semua penyidik atau anggota kepolisian lain benar-benar memahami atau sensitif saat menangani kasus seperti ini.

Dalam wawancara dengan Tirto, Arinta Dea Dini dari LBH Masyarakat yang pernah menjadi pendamping hukum korban perkosaan menceritakan kendala-kendala yang ditemukannya saat menangani kasus ini. Saat kejadian, korban berada dalam kondisi mabuk sendirian dan tidak mengingat apa-apa selain dirinya tahu-tahu terbangun di sebuah hotel tanpa busana. Hal tersebut dilaporkannya kepada Arinta berselang beberapa minggu setelah kejadian. Bukti fisik adanya kekerasan atau bukti lainnya pun sulit dikumpulkan untuk menguatkan fakta bahwa dirinya diperkosa.

Di lain sisi, bukti dari ahli seperti keterangan psikolog juga tidak didapatkan lantaran korban merasa enggan untuk mendatanginya. Stigma negatif tentang orang yang datang ke psikolog begitu kuat sehingga ia memilih tidak meneruskan proses penyelesaian kasus ini. Ditambah lagi, menurut Arinta, ada satu ujaran penyidik yang tidak sensitif terhadap korban ketika ia menyatakan tidak ingat jelas kejadian buruk yang menimpanya.

“Kalau mabuk bilang saja sedang mabuk, jangan bilang lupa,” Arinta mencontohkan ucapan yang tidak sensitif.

Dalam banyak kasus perkosaan, tidak hanya di Indonesia, ada anggapan yang mewajarkan hubungan seks tanpa consent dalam kondisi mabuk. Padahal, hal ini sama traumatisnya dengan perkosaan yang dilakukan terhadap korban dalam keadaan sadar. Karena ada normalisasi hubungan seks tanpa consent dalam kondisi mabuk, korban-korban cenderung tidak menceritakan pengalamannya atau menyalahkan diri sendiri dan menyesali pilihannya untuk mabuk.

Selain itu, kondisi lupa seperti yang dinyatakan korban dalam kasus yang ditangani Arinta bukan hanya disebabkan oleh kehilangan kesadaran. Dalam kasus lain, kondisi lupa ini bisa merupakan hasil dari mekanisme psikis pertahanan diri supaya tidak jatuh dalam trauma yang lebih dalam. Ingatan-ingatan buruk direpresi sehingga kronologi kejadian pun sangat mungkin tidak dapat digambarkan seutuhnya oleh korban.

Baca juga: Fenomena Melepas Kondom dan Pentingnya Consent Sex

Sehubungan dengan kenikmatan atau kenyamanan pada saat perkosaan yang sering menjadi tolok ukur penilaian kasus tersebut, ada korban-korban yang mengalami orgasme saat dipaksa berhubungan seks. Bukan berarti hal ini mengamini anggapan bahwa korban perkosaan pada akhirnya akan menikmati pula dirangsang dan dipenetrasi, dan pelaku akan bebas dari tuduhan memperkosa. Menurut studi Levin dan Berlo (2004), keluarnya cairan vagina dan orgasme yang dialami korban merupakan bentuk mekanisme biologis pertahanan diri dari rasa sakit saat penetrasi terjadi.

Baca juga: Mitos: Semua Korban Perkosaan Tidak Pernah Orgasme

Pertanyaan baik dari penyidik maupun orang-orang sekitar korban tentang apakah korban berupaya melawan balik bisa jadi merupakan bentuk reviktimisasi. Ada kejadian-kejadian ketika korban merasakan mati rasa pada tubuhnya sehingga tidak bisa bereaksi, apalagi melawan balik pelaku. Peneliti Swedia menemukan, 7 dari 10 perempuan korban perkosaan yang menjadi partisipan studi mereka menyatakan merasakan kelumpuhan sementara saat perkosaan berlangsung.

Baca juga: Mengapa Tak Semua Korban Perkosaan Bisa Bereaksi Langsung

Rekam jejak aktivitas seksual korban juga bisa dijadikan alat untuk mereviktimisasinya oleh pihak-pihak yang tidak sensitif. Dalam catatan MAPPI FH UI tahun 2016 tentang Kekerasan Seksual di Indonesia, dicantumkan bukti ketidaksensitifan pihak penegak hukum yang tersirat dari putusan perkara perkosaan di Kabupaten Sedang Bedagai, Sumatera Utara, sepuluh tahun lalu. Oleh hakim, korban dinyatakan sebagai perempuan nakal karena sudah pernah bersetubuh dengan pacarnya.

Baca juga: Menyingkap Pikiran Gelap Para Pemerkosa

infografik jangan bertanya ke korban perkosaan dan pelecehan sek

Mengajukan pertanyaan kepada korban perkosaan sulit sekali untuk diterapkan secara general. Kondisi psikis dan fisik korban yang beragam menjadi tantangan tersendiri bagi penyidik atau orang-orang terdekat yang mencoba mencari keadilan baginya.

Konsistensi untuk bersikap sensitif terhadap korban menjadi catatan lain yang perlu diperhatikan. Dalam buku Rape, Victims, and Investigations (2014) dikatakan, ada penyidik-penyidik yang melontarkan sejumlah pertanyaan dengan sikap sensitif, tetapi pada kesempatan lain justru mengucapkan sesuatu yang bernada menyalahkan korban.

Di Baltimore, Amerika Serikat, dilaporkan hanya 1 persen kasus perkosaan yang berujung pada penangkapan pelaku. Sederet laporan dari Department of Justice terkait penanganan kasus perkosaan di Baltimore Police Department (BPD) pun diwartakan oleh Huffington Post.

Ada jaksa yang menyebut perempuan yang melaporkan dirinya diperkosa sebagai pelacur dan polisi menanggapi hal tersebut sebagai lelucon. Ada pula penyidik yang bertanya, “Mengapa kamu menghancurkan hidup laki-laki [pelaku] itu?” dan menganggap si korban hanya membual karena tidak cepat-cepat melaporkan kejadian.

Penyepelean kasus perkosaan juga ditemukan dalam unit kejahatan seksual BPD ketika mereka menganggap bahwa dalam kasus pembunuhan ada korban nyata, sedangkan kasus-kasus perkosaan semata omong kosong.

Kasus perkosaan dapat dibilang sebagai kasus yang begitu pelik proses penyelesaiannya karena pada satu sisi, penyidik mesti mendapat informasi serinci mungkin untuk menangkap si pelaku. Namun pada lain sisi, pertanyaan berulang atau mengorek dalam-dalam seputar kejadian yang dialami korban berpotensi membuatnya semakin trauma. Di Gorontalo, seorang remaja korban perkosaan bahkan sempat shock dan pingsan saat penyidik menanyakan detail posisi dan anggota tubuh yang disentuh pelaku.

Proses yang mesti dijalani untuk penegakan keadilan dan pemulihan kondisi korban jelas bukan hal sepele. Langkah awal yang dapat dilakukan adalah mendengar kesaksian korban dengan melepaskan segala stigma dan penghakiman, dan memilah hal-hal yang ingin disampaikan atau ditanyakan kepadanya.

Baca juga artikel terkait KEJAHATAN SEKSUAL atau tulisan lainnya dari Patresia Kirnandita

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Patresia Kirnandita
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani