tirto.id - Rencana Presiden Joko Widodo untuk membuat kementerian ekspor dan investasi menuai kritik. Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE), Piter Abdullah menilai mandeknya capaian investasi dan ekspor Indonesia tidak bergantung pada aspek kelembagaan atau reorganisasi.
Persoalan investasi dan ekspor ini memang penting lantaran neraca perdagangan dan pembayaran Indonesia masih defisit di angka 8,5 dan 7,1 miliar dolar pada 2018. Sehingga turut memengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang tahun lalu yang hanya tercatat 5,17 persen.
Namun, Piter menyoroti fakta industri Indonesia yang memang sudah cukup terpuruk sehingga lebih sering mengekspor bahan mentah. Padahal, kata dia, komoditas rentan dipengaruhi fluktuasi harga dan ketidakpastian ekonomi global.
Karena itu, menurut Piter, semestinya pemerintah melalui kementerian yang sudah ada saat ini membehani industri manufaktur.
“Tidak mungkin masalah selesai dengan membuat kementerian baru tanpa ada perubahan strategi. Kita harus bangun lagi industrinya,” kata Piter saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (15/3/2019).
Soal investasi, Piter juga mengkritik Presiden Jokowi yang tak kunjung menyelesaikan persoalan perizinan, pembebasan lahan, perburuhan hingga koordinasi antara pusat dan daerah. Sebab, tanpa membenahi hal itu, kata Piter, investasi Indonesia dipastikan akan tetap terpuruk.
Belum lagi saat ini, kata dia, masalah investasi sudah ditangani secara khusus oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Sehingga lembaga baru yang khusus menangani ekspor dan investasi menjadi tidak relevan.
“Pembentukan kementerian baru tidak akan selesaikan persoalan. Ini perlu ada evaluasi menyeluruh. Kalau masih enggak mampu juga, ya ganti saja menteri yang sudah ada,” kata Piter.
Wacana menambah menteri ekspor dan investasi itu diucapkan Jokowi saat mengungkapkan kekesalannya menyikapi rendahnya realisasi investasi dan ekspor Indonesia akhir-akhir ini.
Kepala BKPM Thomas Lembong yang hadir pada acara itu pun tidak menyangka bila keluhan Jokowi soal neraca dagang dan investasi sampai dilengkapi dengan kata “bodoh”. Dalam kesempatan itu, Jokowi juga membanding-bandingkan capaian investasi dan ekspor Indonesia yang kalah dari Malaysia, Thailand, dan Vietnam.
Kementerian Perdagangan memang mengakui ekspor Indonesia kalah jauh dibanding negara ASEAN lainnya. Seperti ekspor Thailand dan Malaysia pada 2016 yang mencapai 231 dan 184 miliar dolar AS, lebih tinggi dari Indonesia yang hanya meraup 145 miliar dolar AS.
“Saya rasa ini tanggung jawab kita semua. Saya sampaikan pekan lalu dalam forum kabinet, apakah kita perlu dalam situasi ini, perlu menteri investasi dan ekspor. Wong penyakit kita di situ,” ucap Jokowi dalam Rapat Koordinasi Nasional Investasi, Selasa (12/3/2019).
Pernyataan Jokowi Hanya Sindiran?
Sementara itu, pengamat ekonomi politik dari Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia (UI), Abdillah Ahsan menilai langkah Jokowi merupakan sindiran bagi menterinya yang tak kunjung membuat terobosan di saat realisasi dua sektor itu jauh dari harapan.
Abdillah mengatakan Jokowi sebenarnya ingin mengganti menteri terkait, tetapi suasana menjelang pemilu ini menghambat langkah itu lantaran menjaga kestabilan koalisi.
Alasannya, kata Abdillah, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian merupakan dua lembaga yang paling beririsan dengan hal itu. Namun, kata dia, Jokowi sadar bila keduanya dipimpin oleh menteri yang berasal dari partai politik, yaitu Nasdem dan Golkar.
“Nanti kalau pemilu selesai dan dia terpilih, mereka bisa terancam diganti. Tapi mengganti pejabat di tahun politik bisa menyinggung koalisi. Makanya ini lebih ke tamparan kepada menteri terkait,” kata Abdillah saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (15/3/2019).
Meski demikian, Abdillah menilai bisa saja rencana kementerian baru direalisasikan Jokowi sebagai solusi cepat mengatasi masalah ekspor dan investasi. “Dia [Jokowi] ingin terobosan. Kalau itu jadi, mungkin 2 menteri tadi diganti atau dia bikin kementerian sendiri,” ucap Abdillah.
Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf, Johnny G. Plate menampik bila rencana pembentukan kementerian baru merupakan sindiran bagi menteri terkait. Jokowi, kata Johnny, tak pernah mengatakan itu sebagai sindiran.
Menurut politikus Nasdem ini, jika Presiden Jokowi memilih pertimbangan untuk mengganti menteri, maka ia pasti mengatakannya.
“Itu bukan sindir menyindir, tapi untuk kepentingan perekonomian. Kami tidak campuri hak prerogratif presiden. Kalau dia mau ganti, ya ganti atau pertahankan juga boleh,” ucap Johnny saat dikonfirmasi reporter Tirto terkait ini.
Johnny mengatakan bila kebijakan itu memang dibutuhkan untuk mendorong investasi dan ekspor, maka tidak menjadi soal apabila direalisasikan.
Sebab, kata dia, Jokowi pasti memiliki pertimbangan bila kebijakan itu memang dapat menjadi jawaban untuk mengatasi defisit neraca perdagangan dan pembayaran.
“Setiap keputusan pasti ada kelebihan kekurangan, tapi apakah itu relevan dengan kebutuhan negara? Kalau relevan, ya kenapa enggak?” kata Johnny.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz