Menuju konten utama
Jelang Debat II Pilpres 2019

Soal Atasi Defisit Dagang: Prabowo Dinilai Normatif, Jokowi Telat

Defisit neraca perdagangan yang jeblok sepanjang 2018 diprediksi menjadi bagian bahasan yang akan disorot dalam debat pilpres jilid II, 17 Februari 2019.

Soal Atasi Defisit Dagang: Prabowo Dinilai Normatif, Jokowi Telat
Ketua KPU Arief Budiman bersama pasangan capres-cawapres nomor urut 01 Joko Widodo dan Ma'ruf Amin serta pasangan nomor urut 02 Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno bersiap mengikuti debat pertama Pilpres 2019, di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (17/1/2019). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

tirto.id - Kinerja peradangan Indonesia kemungkinan besar bakal menjadi isu yang mendapat sorotan tajam dalam debat kedua Pilpres 2019, pada Minggu, 17 Februari mendatang. Sebab, sepanjang 2018, neraca dagang RI mengalami defisit cukup dalam hingga menyentuh angka 8,57 miliar dolar AS.

Apalagi, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suharyanto mengatakan, salah satu penyebab tekornya neraca dagang adalah lonjakan impor minyak yang cukup pesat sepanjang 2018. Sementara minyak sebagai sumber energi yang paling banyak dikonsumsi di Indonesia, masuk sebagai salah satu sub-tema debat kedua.

Debat antara calon presiden nomor urut 01, Joko Widodo dan capres nomor urut 02, Prabowo Subianto ini akan mengangkat tema seputar energi, pangan, sumber daya alam, infrastruktur, dan lingkungan hidup.

Lantas, bagaimana strategi dua pasang capres-cawapres untuk menekan impor dan memperbaiki kinerja perdagangan RI jika memenangi Pilpres 2019?

Program Prabowo-Sandiaga Tanggung

Kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, sebagai penantang, tentu bisa dengan leluasa mengkritik jebloknya kinerja dagang di akhir era pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.

Bahkan, jauh sebelum debat berlangsung, kritik soal defisit tersebut sudah dilontarkan Direktur Materi dan Debat Badan Pemenang Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, yakni Sudirman Said.

Menurut Sudirman, kegagalan dalam perdagangan Indonesia disebabkan oleh jajaran menteri Jokowi yang tak bertindak selayaknya teknokrat.

“Makannya itu, salah satu solusinya adalah bagaimana portofolio perekonomian ke depan kita isi dengan teknokrat terbaik,” kata Sudirman, di Hotel le Meridien, Jakarta, 12 November 2018.

Sayangnya, sejumlah program untuk menekan defisit tak dijelaskan secara detail. Beberapa di antaranya adalah peningkatan produksi migas serta menggeser pola konsumsi energi dari fosil menuju energi terbarukan.

“Menemukan cadangan [migas] baru memang tidak mungkin dilakukan dengan cepat. Tapi kalau kita tidak bergeser ke energi terbarukan, maka defisitnya semakin lebar,” kata Sudirman.

Mantan menteri ESDM itu juga menyebut tata kelola pangan harus dibenahi untuk memastikan kebutuhan dalam negeri tercukupi dan tak perlu impor.

Strateginya, kata Sudirman, adalah menggunakan data potensi lahan serta produksi pangan yang lebih akurat. Sehingga, pengambilan kebijakan terkait pengelolaan pangan dapat sesuai dengan kondisi riil di lapangan.

“Kita mampu memproduksi kebutuhan pangan kita, yang utama seperti beras, daging, telur. Perlu waktu tapi harus dimulai dengan data yang akurat. Kalau datanya enggak akurat ya enggak pernah ada solusi," ucapnya.

Di sisi lain, proyek infrastruktur yang jadi salah satu penyebab lonjakan impor juga akan mulai direm dan dikaji ulang. Terutama, kata Sudirman, "difokuskan pada yang punya impact kepada penyediaan lapangan kerja dan di tempat yang masih terisolasi.”

Saat dikonfirmasi ulang reporter Tirto, pada 11 Februari 2019soal strateginya ini, Sudirman enggan menjelaskan detail. Alasannya, ia tak mau membocorkan strategi dan materi untuk tema debat jilid II yang akan digelar, 17 Februari nanti.

Peneliti dari Institute for Development of Economies and Finance (Indef) Bhima Yudisthira menilai program-program yang ditawarkan BPN masih terlalu normatif. Soal peningkatan produksi migas, misalnya, sudah dilakukan dengan banyak cara, salah satunya menarik investor asing.

"Tapi ada permasalahan struktural yang tidak bisa diselesaikan. Perubahan skema PSC [Production Sharing Contract] ke gross split dianggap kurang menarik bagi investor migas. Jadi andalkan produksi minyak sepertinya berat,” kata Bhima.

Prabowo-Sandi, kata Bhima, semestinya keluar dari pakem yang konservatif. Misalnya dengan mendorong konversi BBM ke gas karena supply gas masih surplus. Atau mempercepat transisi ke mobil listrik.

“Skema energi terbarukan juga penting, mendorong B20 [bahan bakar diesel campuran minyak nabati 20%] bahkan B100 di pembangkit listrik tenaga diesel. Itu efektif turunkan defisit migas,” kata Bhima.

Soal data pangan BPS 2018 yang jadi kritik BPN juga sudah diselesaikan dengan memutakhirkan data beras melalui Luas Lahan Baku Sawah, Luas Panen dengan KSA (Kerangka Sampel Area) serta penghitungan Tingkat Produktivitas Lahan per Hektar.

“Itu untuk komoditas beras sudah selesai datanya. Masalahnya adalah integrasi data tiap kementerian yang berkaitan dengan pangan masih terkendala ego sektoral. Kementerian Pertanian justru kontra dengan data BPS. Ini yang diharapkan ego sektoral soal data pangan selesai di pemerintahan berikutnya,” kata Bima.

Sementara rencana menunda proyek infrastruktur sebagian bisa dilakukan yang masih dalam tahap perencanaan. Namun, kalau sudah konstruksi atau financial closing bisa dituntut oleh kontraktor dan kreditur pinjaman.

“Ini juga harus dijelaskan ke publik proyek mana yang akan ditunda. Implikasinya bisa menurunkan kepercayaan investor kalau ugal-ugalan setop proyek infrastruktur," ungkapnya.

Program Jokowi Terlambat

Sementara pasangan Jokowi-Ma'ruf sebagai petahana kemungkinan besar akan berkilah mengapa defisit dagang bisa sedemikian besar pada 2018.

Defisit minyak mentah yang mencapai 4,04 miliar dolar AS, serta hasil minyak yang nilainya sampai 12,88 miliar dolar AS, bisa jadi akan disebut sebagai dampak dari lonjakan harga minyak dunia yang diiringi depresiasi rupiah di tahun lalu.

Untuk menekan defisit dagang, petahana sendiri punya strategi dan langkah yang sudah disusun dan akan dilanjutkan jika kembali terpilih. Salah satunya adalah perluasan mandatori biodiesel 20 persen (B20).

Di samping itu, untuk mengimbangi impor yang bengkak, langkah memacu ekspor non-migas juga sudah disiapkan. Salah satunya dengan memangkas sejumlah persyaratan yang dianggap menghambat ekspor komoditas Indonesia seperti mandatori laporan surveyor (LS) untuk produk yang tercantum dalam daftar larangan terbatas (laratas).

Direktur Perdagangan Luar Negeri Kemendag, Oke Nurwan menyampaikan, kebijakan penyederhanaan LS itu akan menyasar produk sumber daya alam yang jadi penyumbang besar ekspor Indonesia.

Selama ini, kebijakan tersebut dikeluhkan eksportir karena menyebabkan biaya yang ditanggung untuk ekspor menjadi tinggi.

Salah satu yang masih terkena mandatori LS, kata Oke, adalah produk olahan sawit yakni Crude Palm Oil (CPO). Jika tidak disederhanakan, hal ini bakal menyusahkan para eksportir, sebab harga sawit di pasar internasional masih rendah.

Selain itu, sejumlah perjanjian dagang, baik multilateral maupun bilateral juga akan segera diratifikasi. Saat ini, ada 7 perjanjian dagang. Satu di antaranya, yakni Indonesia-Pakistan Preferential Trade Agreement (IP-PTA) sudah diratifikasi lewat Perpres yang terbit pada Januari lalu.

"Enam lagi masih dibahas. Kami percepat supaya dapat manfaatnya untuk ekspor kita," ujar Oke di kompleks parlemen Senayan, Senin (11/2/2019).

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B. Sukamdani menyampaikan, defisit yang mendera perdagangan Indonesia, salah satunya disebabkan oleh hilirisasi yang melambat. Hal ini menyebabkan ekspor non-migas membuat industri dalam negeri haus bahan baku dan justru bergantung terhadap impor.

Menurut Hariyadi, hiliirasi yang berjalan lancar tak bakal menyebabkan neraca dagang tertekan oleh fluktuasi harga komoditas ekspor andalan seperti CPO, serta impor migas.

Hariyadi mengatakan, industri di dalam negeri untuk produk substitusi bahan baku penolong belum mendapatkan dukungan yang maksimal. Misalnya, kata dia, tingginya ongkos tenaga kerja yang menyebabkan biaya produksi hingga harga jual meningkat.

"Karena itu, pelaku industri lebih memilih produk impor yang harganya lebih murah dibandingkan produk substitusi impor di dalam negeri," kata Haryadi.

Pemerintah Jokowi, menurut dia, terlambat mengeksekusi kebijakan pengendali impor serta mendongkrak ekspor seperti mandatori B20 dan penerapan PPh pasal 22.

“Baru mulai, kan, di semester II/2018. Padahal tanda-tanda tekanan global sebenarnya sudah kelihatan sejak tahun sebelumnya" imbuh Haryadi.

Baca juga artikel terkait DEBAT PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Politik
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz