Menuju konten utama
Sejarah Hindu Budha Indonesia

Penjelasan Teori Ksatria: Sejarah dan Tokoh Pencetusnya

Salah satu teori yang menjelaskan sejarah masuknya ajaran Hindu Budha di Indonesia adalah teori ksatria. Simak penjelasan sejarah & tokoh pencetusnya.

Penjelasan Teori Ksatria: Sejarah dan Tokoh Pencetusnya
Ilustrasi Berdoa Agama Budha. foto/Istockphoto

tirto.id - Terdapat beberapa teori yang menjelaskan soal proses masuknya ajaran Hindu Budha di Indonesia. Hindu dan Budha merupakan 2 agama besar yang pada mulanya muncul di India. Kedua agama ini kemudian mengalami perkembangan pesat dan menyebar ke berbagai wilayah, termasuk ke Nusantara.

Dikutip dari buku Sejarah Indonesia Masa Hindu Buddha (2012:3) oleh Sudrajat, dijelaskan bahwa masuknya Hindu Buddha ke Indonesia mengacu pada penemuan prasasti Yupa di Kalimantan Timur tahun 400 M.

Beberapa teori dalam agama Hindu Budha dibagi ke dalam jenis teori aktif dan teori pasif. Teori aktif diartikan bahwa orang-orang Nusantara berangkat ke India melalui jalur maritim, kemudian belajar agama Hindu Budha di sana.

Selepas lulus dan kembali ke Nusantara, mereka menyebarkan ajaran yang telah didapatkan. Salah satu contoh jenis teori aktif dalam penyebaran ágama Hindu Budha di Indonesia adalah teori arus-balik.

Selain itu terdapat teori pasif yang dapat dipahami dengan adanya para pemuka dari India yang masuk ke Nusantara. Mereka inilah yang lantas menyebarkan ajaran Hindu Budha. Jenis teori pasif inilah yang kemudian memunculkan teori brahmana, ksatria, dan waisya.

Teori Ksatria dan Tokoh Pendukungnya

Teori Ksatria mengatakan bahwa masuknya ajaran Hindu Budha ke Indonesia dibawa oleh orang-orang India yang berkasta ksatria, bangsawan, atau prajurit. Teori ini menempatkan orang India dengan kasta ksatria sebagai pemegang peran utama dalam melakukan penyebaran agama Hindu Budha di Nusantara.

Dikutip dari modulSejarah Indonesia: Proses Masuk dan Berkembangnya Agama dan Kebudayaan Hindu-Buddha di Indonesia oleh Kemendikbud (2020:5), R.C. Majundar berpendapat bahwa munculnya kerajaan Hindu di Indonesia disebabkan oleh peranan kaum ksatria atau prajurit India.

R.C. Majundar menduga bahwa para prajurit India adalah yang melatarbelakangi pendirian koloni-koloni di kepulauan Indonesia dan Asia Tenggara.

Dalam sebuah cerita klasik jawa juga dikisahkan bahwa terdapat seorang ksatria dari seberang yang datang ke tanah Jawa. Ksatria ini merebut kedudukan tinggi di kerajaan yang telah berdiri sebelum kedatangnya, dengan cara menikahi seorang putri keturunan raja.

Seorang ilmuwan bernama C.C. Berg juga mendukung adanya teori ksatria. Dikutip dari modulSilang Budaya Lokal dan Hindu Budha oleh Nur Khosiah (2018:4), Berg melalui analisisnya terhadap Panji Jawa, beranggapan bahwa para ksatria yang berasal dari India itu memiliki pengaruh yang besar.

Mereka mendapatkannya dengan cara merebut kekuasaan, maupun cara yang lebih halus dalam terbentuknya aneka dinasti di pulau Jawa.

Selain itu, terdapat faktor lain yang menyebabkan para ksatria dari India berlayar ke Nusantara. Di antaranya adalah kekalahan dalam perang, hingga memaksa mereka untuk pergi ke wilayah lain.

Terlebih pada masa terkait, wilayah India juga kerap mengalami persoalan politik. Para prajurit yang kalah lantas mencari tempat-tempat pelarian, dan salah satunya menuju Nusantara.

Beberapa tokoh yang mendukung teori ksatria dalam proses penyebaran ajaran Hindu Budha adalah C.C. Berg, Mookerji, Moens dan R.C. Majundar.

Kelemahan Teori Ksatria dan Tanggapan Tokoh Lain

Seperti teori-teori lain pada umumnya, teori ksatria juga memiliki kelemahan. Pendapat R.C. Manjundari dalam menjelaskan teori ksatria tidak didukung dengan adanya data yang memadai. Hal tersebut dibuktikan dengan tidak adanya bukti arkeologis yang menyatakan adanya ekspansi prajurit India ke Nusantara.

Beberapa ilmuwan lain juga melakukan tanggapan mengenai teori ksatria seperti F.D.K. Bosch dan N.J. Krom. Bosch berpendapat bahwa seharusnya ketika seorang raja India telah menaklukan suatu wilayah, maka akan meninggalkan sebuah prasasti. Pada kenyataannya, peninggalan semacam itu tidak ditemukan di Indonesia dan India.

Bosch juga menyatakan bahwa seharunya terdapat percampuran bahasa di Indonesia dengan rumpun Aria, Prakit, atau Tamil. Tapi realitanya pribumi Nusantara hanya menggunakan bahasa Sansekerta dalam upacara dan ilmu pengetahuan. Tidak ditemukan adanya pembauran bahasa Prakit ataupun Tamil di Nusantara.

Sementara Krom menanggapi teori ksatria dengan mengamati hubungan antara aspek kebudayaan Indonesia dan Hindu Budha yang masih terlihat dengan jelas. Hal ini tentunya tidak dapat terjadi apabila pribumi hidup di bawah tekanan para ksatria India.

Baca juga artikel terkait SEJARAH atau tulisan lainnya dari Syamsul Dwi Maarif

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Syamsul Dwi Maarif
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Oryza Aditama