Menuju konten utama
Perang Uhud 7 Syawal

Hikmah & Pelajaran yang Bisa Diambil dari Kekalahan Perang Uhud

Hikmah dan pelajaran berharga dari kekalahan Perang Uhud yang terjadi 7 Syawal tahun 3 hijriah.

Hikmah & Pelajaran yang Bisa Diambil dari Kekalahan Perang Uhud
Ilustrasi perang Uhud. FOTO/Istimewa

tirto.id - Perang Uhud menjadi sejarah kekalahan pertama umat Islam dalam peperangan melawan kaum kafir Quraisy. Lantas, apa hikmah dan pelajaran berharga dari kekalahan Perang Uhud tersebut?

Sesuai namanya, Perang Uhud terjadi di Pergunungan Uhud, terletak di sebelah utara Madinah. Pertempuran ini terjadi pada 7 Syawal tahun 3 hijriah, lebih kurang setahun setelah Perang Badar.

Dalam peperangan tersebut, umat Islam hanya membawa 700 bala sedangkan kaum Quraisy berjumlah lebih dari 3.000 pasukan. Pada akhirnya, kaum muslim pimpinan Nabi Muhammad saw. kalah dalam pertempuran tersebut. Salah satu sebabnya adalah mundurnya pasukan pemanah lantaran tergiur rampasan perang.

Meski demikian, umat Islam tetap diminta oleh Rasulullah saw. untuk sabar dan teguh hati dalam berperang melawan kejahatan.

Kronologi Kekalahan Perang Uhud

Setelah kalah dari perang Badar, kaum kafir Quraisy Makkah berencana melakukan serangan balasan terhadap kaum muslim. Di samping itu, serangan ini juga bertujuan mengamankan rute perdagangan ke Negeri Syam bagi pedagang-pedagang Makkah sebab Perang Badar telah mengakibatkan aktivitas perdagangan di sana mati.

Abu Sufyan, yang tidak mengakui Muhammad saw. sebagai nabi, menyuruh penduduk Makkah untuk menyerang umat muslim. Shafiyyu al-Rahman al-Mubarakfuri menyebut dalam Sirah Nabawiyah (1997: 279) menyebutkan, Abu Sufyan berhasil mengumpulkan 1.000 unta dan 1.500 dinar sebagai modal perang.

Pada Ramadhan tahun 3 H/625 M, Abu Sufyan memimpin pasukan Quraisy dengan membawa pasukan yang terdiri dari 3.000 pasukan berunta, dan 200 pasukan kavaleri, dan 700 orang berbaju besi. Rombongan ini memulai perjalanannya dari Makkah hingga dua mata air Lembah Sab'ah.

Nabi Muhammad saw. mengetahui rencana itu dua hari kemudian, melalui sepucuk surat dari pamannya, Abbas bin Abdul Muthalib, yang sudah menaruh simpati pada Islam. Pada mulanya kaum muslim memilih bertahan di dalam kota Madinah, sesuai hasil pertemuan yang diadakan sehari sebelum pecah pertempuran, Jumat, 6 Syawal 3 hijriah.

Namun, euforia pasca-kemenangan Perang Badar setahun sebelumnya masih melingkupi beberapa pasukan muslim. Seorang Anshar, disebutkan dalam Biografi Rasulullah (terj. As-Sirah an-Nabawiyyah [2005]), mengatakan, "Rasulullah, kami tidak ingin bertempur di jalan-jalan Madinah. Pada zaman jahiliyah kami selalu menjaga agar hal itu tidak terjadi. Jadi, ada baiknya setelah kedatangan Islam, hal itu tetap dilestarikan."

Mendengar itu, Nabi saw langsung mengenakan baju zirahnya dan menyiapkan persenjataan, tanpa bicara sedikitpun. Ada yang merasa bahwa perkataan seorang Anshar tersebut seperti menantang Nabi saw.

Kemudian, berangkatlah pasukan muslim yang berjumlah 1.000 ke Pergunungan Uhud. Saat melewati batas Kota Madinah, Abdullah bin Ubay dengan 300 pengikutnya membelot dan kembali pulang. Meski demikian, Nabi saw. tetap melanjutkan perjalanan bersama 700 tentara sisanya.

Setibanya di sana, Nabi Muhammad saw. langsung mengatur strategi perang. Pasukan ditempatkan di belakang bukit dengan dilindungi oleh 50 pemanah mahir di bawah pimpinan Abdullah bin Zubair, yang ditempatkan di lereng bukit yang cukup tinggi. Mereka ditugaskan membendung pasukan berkuda kafir Quraisy, dan tidak meninggalkan tempat itu dengan alasan apapun.

Awalnya pertempuran didominasi oleh pasukan Nabi Muhammad saw. Namun keadaan berbalik ketika pasukan yang berada di bukit turun untuk mengambil harta rampasan karena mengira peperangan telah usai. Ibnu Jubair, yang memimpin pasukan pemanah, sudah mengingatkan mereka agar tidak melupakan pesan Nabi Muhammad saw. Namun, para pasukan sudah gelap mata dan turun dari bukit.

Melihat kondisi tersebut, Khalid bin Walid, pimpinan pasukan berkuda Quraisy, berputar haluan dan kembali menyerang sampai akhirnya berhasil melumpuhkan pasukan pemanah Islam. Satu per satu pasukan muslim berguguran. Nabi saw. juga mendapatkan luka cukup berat.

Banyaknya jumlah kaum muslimin yang mengambil harta rampasan membuat posisi pertahanan kosong dan membuka celah bagi kaum Quraisy untuk menyerang balik dari arah depan dan belakang. Akibatnya, kaum muslim, yang seharusnya dilindungi oleh pasukan itu, ikut menjadi korban.

Prajurit muslim yang sudah menyadari kekalahan itu memilih kabur ke arah Madinah untuk menyelamatkan diri. Mereka bahkan lupa bahwa Rasulullah dan pasukan yang lain masih berada di medan perang. Maka, Rasulullah dan sebagian pasukan tewas. Di antara pasukan itu, ada juga pahlawan Islam seperti Hamzah dan Mush’ab bin Umair.

Umat Islam terselamatkan dengan berita terbunuhnya Nabi Muhammad saw. Berita itu membuat pasukan kafir Quraisy mengurangi serangan karena kematian Nabi saw. sudah cukup sebagai balasan atas kekalahan di Perang Badar. Dalam Perang Uhud, pasukan Quraisy terbunuh 25 orang sedangkan di pihak muslim berjumlah 70.

Hikmah dan Pelajaran Perang Uhud

Peristiwa Perang Uhud dan hikmah kekalahannya terjelaskan dalam Al-Qur'an. Salah satunya terdapat dalam surah Ali Imran ayat 140:

"Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka mereka pun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan, masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran), dan agar Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan agar sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan, Allah tidak menyukai orang-orang zalim."

Imam Rasyid bin Sa’ad dalam Tafsir at-Tsa’labiy (juz 3, hal. 182) menjelaskan, selain membuka peluang meraih syahid, kekalahan Perang Uhud juga memiliki hikmah diketahuinya golongan yang benar-benar beriman. Peperangan membela agama tidak melulu tentang kemenangan.

Kekalahan juga dapat menjadi hikmah dan pelajaran bagi kaum muslim. Seperti penggalan ayat di atas, "...Dan, masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran)...."

Kekalahan dalam Perang Uhud bukan berarti Allah Swt. memberi pertolongan kepada kaum kafir, sebagaimana pertolongan-Nya kepada umat Islam di perang Badar. Akan tetapi, Allah justru membeli pelajaran dan hikmah kepada pasukan Islam melalui kekalahan tersebut.

Imam Fakhruddin Muhammad bin Umar ar-Razi (544-604 H) dalam at-Tafsir al-Kabir atau Mafatihul Ghaib (juz 9, hal. 14) menyingkap tiga hikmah di balik kekalahan umat Islam di perang Uhud.

  1. Memberi peluang asumsi kebenaran ideologi orang kafir

    Bila orang-orang kafir waktu itu selalu kalah dalam setiap pertempuran, secara aksiomatis, kaum muslim maupun non-muslim akan mengakui bahwa beriman kepada Allah dan rasul-Nya adalah sebuah kebenaran, dan beriman kepada selain-Nya adalah kebatilan. Impak negatifnya, keimanan pada Allah sw. tidak lagi menyimpan keistimewaan lebih dari yang lain.

  2. Guna memberi pelajaran kepada kaum mukminin (ta’diban lil mukminin)

    Tak jarang orang-orang beriman saat itu yang masih berani mendurhakai Tuhannya. Karena nya, Allah memberi mereka pelajaran melalui kekalahan dan perihnya luka tebasan orang-orang kafir. Melalui itu diharapkan umat muslim dapat menganalogikannya dengan pedihnya siksa akhirat yang tiada tara.

  3. Menguak kesadaran akan remehnya kebahagiaan dan problem duniawi

    Imam Fakruddin ar-Razi menyampaikan, bahagia dalam kemenangan dan rintihan rasa sakit karena kekalahan hanyalah bunga kehidupan yang semu. Sebab, bahagia dan sakitnya tiada dapat dibandingkan dengan kehidupan akhirat. Kalau memang kebahagiaan akhirat adalah prioritas kaum mukminin,apalah artinya pilu dan duka lara yang dirasakan di dunia.

Baca juga artikel terkait AGAMA ISLAM atau tulisan lainnya dari Ai'dah Husnala Luthfiyyah Ans

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Ai'dah Husnala Luthfiyyah Ans
Penulis: Ai'dah Husnala Luthfiyyah Ans
Editor: Fadli Nasrudin