Menuju konten utama
Potensi Gempa, Tsunami Pacitan

Penjelasan BMKG Soal Fakta Potensi Gempa Besar & Tsunami di Pacitan

Berdasarkan hasil penelitian, di Pantai Pacitan memiliki potensi tsunami setinggi 28 meter dengan estimasi waktu tiba sekitar 29 menit.

Penjelasan BMKG Soal Fakta Potensi Gempa Besar & Tsunami di Pacitan
Ilustrasi Tsunami. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati beberapa hari lalu kembali mengingatkan masyarakat dan pemerintah daerah Pacitan agar siap dengan skenario terburuk jika terjadi gempa dan tsunami di wilayahnya.

Menurut Dwikorita, hal ini dilakukan guna menghindari serta mengurangi risiko, dampak bencana gempa dan tsunami yang mengintai pesisir Selatan Jawa akibat pergerakan lempeng tektonik Indo-Australia dan Eurasia.

“Berdasarkan hasil penelitian, di Pantai Pacitan memiliki potensi tsunami setinggi 28 meter dengan estimasi waktu tiba sekitar 29 menit. Adapun tinggi genangan di darat berkisar sekitar 15-16 meter dengan potensi jarak genangan mencapai 4 - 6 kilometer dari bibir pantai,” kata Dwikorita dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi Tirto, 13 September 2021.

Koordinator Mitigasi Gempabumi dan Tsunami BMKG, Daryono menjelaskan, berdasarkan catatan sejarah menunjukkan bahwa pada 4 Januari 1840 terjadi gempa Jawa yang memicu terjadinya tsunami di Pacitan.

Selanjutnya pada 20 Oktober 1859, terjadi lagi gempa besar di Pulau Jawa yang juga menimbulkan tsunami dan menerjang Teluk Pacitan, hingga menewaskan beberapa orang awak kapal.

Gempa besar Jawa kembali terjadi pada 11 September 1921 berkekuatan 7,6. Pusat gempa ini terletak di zona outer rise selatan Pacitan yang juga memicu tsunami dan tercatat di Cilacap, sehingga sangat mungkin tsunami juga terjadi di Pacitan.

Lalu, Pacitan juga kembali diguncang gempa besar pada 27 September 1937. Dampak gempa ini mencapai skala intensitas VIII-IX MMI dan menyebabkan 2.200 rumah roboh serta banyak orang meninggal.

Menurut Daryono, sebagai daerah yang berhadapan dengan zona sumber gempa megathrust, wilayah Pacitan merupakan daerah rawan gempa dan tsunami.

Hasil monitoring BMKG terhadap aktivitas kegempaan sejak 2008 menunjukkan bahwa di wilayah selatan Pacitan beberapa kali terbentuk kluster seismisitas aktif, meskipun kluster pusat gempa yang terbentuk tidak diakhiri dengan terjadinya gempa besar.

"Wilayah selatan Pacitan merupakan bagian dari zona aktif gempa di Jawa Timur yang mengalami peningkatan aktivitas kegempaan, di wilayah ini pada beberapa tahun terakhir sering terjadi aktivitas gempa signifikan yang guncangannya dirasakan masyarakat," kata Daryono kepada redaksi Tirto.

Daryono menambahkan, potensi magnitudo maksimum gempa megathrust selatan Jawa Timur berdasarkan hasil kajian adalah 8,7. Nilai magnitudo gempa tertarget ini kemudian oleh tim kajian BMKG dijadikan sebagai inputan pemodelan tsunami untuk wilayah Pacitan.

"Dengan menggunakan data batimetri dasar laut Samudra Hindia dan data topografi pesisir Kabupaten Pacitan. Pemodelan juga sudah menggunakan data tutupan lahan, selanjutnya dilakukan running program pemodelan tsunami sehingga diketahui nilai ketinggian tsunami, zona genangan tsunami dan jauhnya landaan tsunami, serta waktu tiba tsunami di pantai," ujar Daryono.

Setelah dipetakan, menurut Daryono, maka jadilah peta bahaya tsunami produk BMKG yang sangat bermanfaat bagi masyarakat untuk acuan mitigasi.

Sementara itu, terkait bahaya tsunami, Daryono menjelaskan, morfologi Pantai Pacitan yang berbentuk teluk lebih berbahaya. Tsunami yang masuk teluk akan terakumulasi energinya karena tsunami yang masuk ke teluk gelombangnya berkumpul dan terjebak sehingga tinggi tsunami makin meningkat. Jika morfologi pantai teluknya landai maka tsunami dapat melanda daratan hingga jauh.

Daryono juga mengatakan, sebagai upaya mitigasi, ada banyak upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah korban saat terjadi tsunami.

Menurutnya, masyarakat perlu memahami konsep evakuasi mandiri, karena evakuasi mandiri merupakan jaminan keselamatan dari tsunami yang sudah terbukti efektif mampu menyelamatkan masyarakat di Pulau Simeulue sejak ratusan tahun lalu dalam kisah “smong”.

Hal ini karena saat terjadi gempa kuat, maka saat itu juga masyarakat pesisir harus segera menjauh dari pantai. Guna mendukung efektivitas proses evakuasi, maka jalur evakuasi harus sudah disiapkan, rambu evakuasi sudah terpasang secara permanen.

Daryono menegaskan, adanya kelengkapan fasilitas ini membuat masyarakat yang melakukan evakuasi akan dengan segera mencapai titik kumpul di tempat evakuasi sementara di daerah yang aman.

"Masyarakat juga tidak boleh abai dengan peringatan dini tsunami yang disebarluaskan oleh BMKG menggunakan multimoda diseminasi. Masyarakat harus memiliki sikap swasadar informasi gempa dan peringatan dini tsunami serta memiliki respons yang cepat untuk segera melakukan evakuasi, karena golden time yang cukup singkat," tegas Daryono.

Daryono juga mengimbau agar pemerintah daerah harus sigap dan cepat dalam merespons warning tsunami untuk selanjutnya mengaktivasi sirine untuk perintah evakuasi masyarakat pesisir agar segera menjauh dari pantai jika terjadi gempa berpotensi tsunami.

"Jika karena satu hal sebagian warga terlambat mengetahui adanya warning tsunami, maka penting bagi masyarakat memahami cara selamat dengan melakukan evakuasi vertikal secepatnya meskipun harus memanjat pohon, memanjat bangunan tower yang tinggi, atau memanjat bangunan tinggi lainnya yang terdekat. Ini adalah beberapa cara selamat dalam menghadapi tsunami," pungkasnya.

Baca juga artikel terkait TSUMANI PACITAN atau tulisan lainnya dari Nur Hidayah Perwitasari

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Nur Hidayah Perwitasari
Editor: Iswara N Raditya