Menuju konten utama

Penghancuran Patung Bukan Solusi untuk Menyembuhkan Luka Sejarah

Yang jauh lebih penting dari sekadar penghancuran patung-patung: dekolonisasi pikiran dan melihat masa lalu secara jernih.

Penghancuran Patung Bukan Solusi untuk Menyembuhkan Luka Sejarah
Peter Carey. tirto.id/Sabit

tirto.id - Pembunuhan mengerikan terhadap seorang Afrika-Amerika bernama George Floyd telah memicu protes di mana-mana. Tak cuma di Amerika Serikat, tapi juga di seluruh dunia. Nyawa Floyd melayang setelah seorang polisi kulit putih menekan lehernya sepenuh tenaga dengan dengkul pada siang bolong di jalanan Minneapolis, Senin (25/5/2020).

Empat ratus tahun rasisme, genosida, dan ketidakadilan oleh orang-orang kulit putih terhadap kulit berwarna seperti terakumulasi dalam pembunuhan tersebut dan menjadi momen epik dalam sejarah dunia. Gabungan ampuh antara pandemi, lockdown, krisis ekonomi, dan daya ledak media sosial melipatgandakan dampak historis peristiwa ini hingga berjuta kali.

Saat ini dunia seakan-akan dihantam dua tsunami sekaligus: virus corona dan rasisme. Ini adalah momen revolusioner dalam sejarah dunia. Gemanya akan terasa hingga bertahun-tahun ke depan.

Salah satu manifestasi fisik dari revolusi ini adalah penghancuran, perusakan, dan penyingkiran patung-patung, sebagian besar dilakukan para pemrotes antirasis dan sebagian dilakukan otoritas lokal. Perusakan ini umumnya menyasar patung-patung pedagang budak [Edward Colston (Bristol); Robert Milligan (London); Sir Francis Drake (Plymouth)], perwira Konfederasi AS [Robert E. Lee (Montgomery); J.E.B. Stuart (Richmond)], pahlawan nasional yang rasis [Winston Churchill (London); Colbert (Paris); Baden-Powell (Poole)], raja pembantai [Leopold II dari Belgia (Antwerp, Gent, dan Brussels)], dan penjelajah [Christopher Colombus (Boston; Richmond; dan Galway, Irlandia); Henry Morton Stanley (Denbigh)].

Di Oxford, Inggris, kampanye untuk menyingkirkan patung Cecil Rhodes (1853-1902) dari Oriel College digalakkan kembali. Rhodes adalah tokoh imperialis dan rasis abad ke-19, sementara Oriel merupakan kampus tempat ia menyumbangkan uangnya.

Dekolonisasi Pikiran Lebih Penting

Orang-orang Indonesia tak asing dengan ikonoklasme macam itu. Dalam kurun lima bulan sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 hingga perpindahan pusat pemerintahan ke Yogyakarta pada 3 Januari 1946, hampir tiap patung, nama jalan, dan tempat umum di bekas ibu kota kolonial, Jakarta (sebelum 1942 bernama Batavia), yang berkaitan dengan Belanda dirobohkan atau dirusak. Ini dimaksudkan sebagai penghancuran secara menyeluruh atas memori masa lalu sebagai bangsa terjajah.

Ikonoklasme macam itu tidak akan terbayangkan bisa terjadi di negeri-negeri jiran seperti Singapura, Malaysia, Brunei, dan Filipina. Di negara-negara tersebut, patung Thomas Stamford Raffles (Sungai Singapura), Sir Frank Swettenham (Residen Jenderal Persekutuan Bangsa-Bangsa Melayu yang pertama, 1896-1901, di Muzium Negara, Kuala Lumpur), Winston Churchill (Museum Churchill, Bandar Seri Begawan), dan Jenderal Douglas MacArthur (Tacloban City, Leyte) masih menyemarakkan tempat umum, museum nasional, dan pantai.

Dalam periode revisionisme historis itu, ikonoklasme boleh jadi merupakan solusi instan. Tapi, secara historis, ini sebenarnya pemahaman yang dangkal. Ketidakadilan masa lalu tidak bisa dimusnahkan begitu saja dengan merobohkan patung-patung dan mengubah citra kelembagaan. Presiden Sukarno tak henti-hentinya mengingatkan orang-orang Indonesia bahwa kemerdekaan fisik belaka tidaklah cukup. Ia harus diikuti “dekolonisasi pikiran” secara menyeluruh. Sebagaimana dikatakan Frantz Fanon (1925-1961), psikiater dan filsuf politik asal Martinik, bahwa “Imperialisme menyisakan kuman busuk yang harus kita periksa dan singkirkan [tak hanya] dari negeri kita tapi juga dari pikiran kita.”

Meski demikian, beberapa patung memang sudah lama memantik kontroversi. Patung Edward Colston, dermawan sekaligus pedagang budak, yang didirikan pada 1895, telah menjadi target perobohan sejak 1990-an. Masyarakat mendesak agar patung itu dipindahkan ke museum lokal yang sesuai, misalnya museum dermaga M Shed yang didirikan untuk mengingat peran Bristol dalam perdagangan budak trans-Atlantik.

Kisah Bristol dan perdagangan budak mesti dibicarakan lebih lanjut. Perdagangan budak memberi kontribusi besar terhadap kemunculan Inggris sebagai kekuatan niaga global di “abad ke-18 yang panjang” (1660-1831). Hingga 1750 laba yang diperoleh dari perniagaan derita manusia ini (£3.800.000) hampir setara dengan total dana yang diinvestasikan untuk infrastruktur industri (£4.000.000). Tentu saja, pelabuhan-pelabuhan besar di Bristol, Liverpool (sebuah kampung nelayan pada awal abad ke-18), dan Glasgow seluruhnya menjulang pada periode ini sebagai bandar perdagangan budak. Paling tidak sepertiga dari 12,8 juta penduduk Afrika Barat yang dijual sebagai budak di Dunia Baru diangkut dengan kapal-kapal milik Inggris.

Tak banyak orang Inggris kiwari yang mengetahui kisah tersebut. Saya juga tidak pernah diajari tentang itu di sekolah. Dan hanya baru-baru ini—sejak 2003 berkaitan dengan pendirian Museum London Docklands dan pada 2007 dengan Museum International Slavery di Liverpool—didirikan beberapa museum yang mengkhususkan diri pada aspek penting dari kejayaan Inggris ini.

Penyingkiran paksa atau pemusnahan patung-patung boleh dibilang menyulitkan tugas nasional untuk menguak kebenaran. Fakta bahwa otoritas publik dan masyarakat Inggris berkontribusi atas pendirian patung pedagang budak seperti Colston atau pembela perdagangan budak semacam Sir Henry Dundas (Lord Melville, 1742-1811), Menteri Peperangan pertama (1794-1801), di Edinburgh yang secara pribadi menghalangi berlakunya undang-undang abolisionis selama satu setengah dasawarsa (1792-1807), menggambarkan dengan jelas tentang negara macam apa Inggris modern saat ini.

Tumbuh sebagai anak kaum kolonialis di Burma (1948-1955) dalam keluarga keturunan Irlandia asal Liverpool, hak istimewa kolonial adalah makanan sehari-hari saya: “Ingat, Peter, kamu itu orang Inggris. Artinya, kamu harus selalu jadi juara dalam perjudian hidup!” Kalimat rasis Cecil Rhodes menjadi irama yang berulang dalam kehidupan masa kecil saya. Butuh waktu bertahun-tahun bagi saya untuk berjarak—hingga akhirnya terbebas—dari lingkungan "privilese kulit putih" di Indonesia.

Diskusi Jujur tentang Luka Masa Lalu

Lalu ke mana kita akan beranjak dari sini? Jelas, kehidupan orang kulit hitam penting. Dan satu-satunya jalan untuk membuat mereka penting adalah dengan melihat secara jernih sejarah masyarakat serta sejarah nasional kita, kemudian mengajarkannya dengan efektif. Kesalahan-kesalahan tertentu harus segera dibenahi.

Di samping menyingkirkan patung-patung pedagang budak dan génocidiaires—Leopold II dari Belgia bisa menjadi contoh utama—harus ada peninjauan menyeluruh terhadap monumen-monumen publik serta nama-nama yang digunakan untuk lembaga negara. Sungguh aneh, misalnya, tidak kurang dari sepuluh sekolah dan instalasi militer bergengsi di AS dinamai dengan perwira-perwira senior Konfederasi. Fort Benning di Georgia (didirikan pada 1909) dan Fort Bragg di North Carolina (1918) mengabadikan nama dua jenderal Konfederasi—Henry L. Benning and Braxton Bragg—yang mengangkat senjata melawan pemerintah AS (Union) dalam Perang Saudara (1861-1865). Perang ini dikobarkan pasukan Konfederasi yang hendak mempertahankan perbudakan.

Dalam konteks AS saat ini, orang-orang mesti bertanya ulang mengapa nama-nama itu—yang terinspirasi oleh era Jim Crow (akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20) kala warga Afrika-Amerika di Selatan terkena segregasi secara institusional dan terhalangi aksesnya dalam bidang ekonomi, pendidikan, serta sosial—masih dianggap layak untuk diabadikan dalam institusi-institusi militer yang terhormat? Dilihat dari konteks ini gerakan Black Lives Matter (BLM) dan protes antirasis yang melanda AS sejak kematian Floyd bisa dikatakan terlambat.

Di Indonesia pembenahan dan penguakan kebenaran macam itu juga menjadi penting. Indonesia punya era Jim Crow-nya sendiri dalam konteks 32 tahun kediktatoran Orde Baru di bawah Jenderal Soeharto. Dan "dosa-dosa" Jim Crow ala Indonesia itu harus ditebus. Permenungan sejarah yang mendalam bagi bangsa Indonesia baru saja dimulai.

Di kanal-kanal media sosial, banyak orang mulai menyuarakan 'Papuans Lives Matter' sebagai imbas dari gerakan BSM di seluruh dunia. Bahkan kemarin, Rabu (17/6/2020), sekelompok mahasiswa di Abepura berdemonstrasi menuntut pembebasan tujuh tahanan politik dan pejuang antirasisme dari Papua yang dipenjara pemerintah Indonesia.

Dalam isu besar antirasisme dan kejernihan memandang masa lalu ini, salah satu hal yang luput dibahas adalah mengangkat kembali persoalan Indonesia di Timor Leste. Indonesia meninggalkan catatan kelam di sana.

Orang Indonesia harus bertanya, misalnya, apakah layak uang sebesar lima miliar rupiah digelontorkan untuk membangun Monumen Seroja di Mabes TNI? Pada 2002 pemerintahan Megawati Soekarnoputri menganggarkan uang sebanyak itu untuk membangun sebuah monumen guna mengenang gugurnya 3.625 prajurit dan orang sipil semasa invasi ilegal Orde Baru atas Timor Timur (1975-1999). Monumen ini juga mengabadikan nama operasi militer atas bekas koloni Portugis itu (1975-1979) yang merupakan operasi militer terbesar sejak Indonesia merdeka (melibatkan hingga 30.000 pasukan). Kampanye militer serampangan ini berakhir dengan kejahatan perang kala komandan-komandan Indonesia memblokade sumber-sumber makanan hingga orang-orang Timor Timur kelaparan dan akhirnya menyerah.

Sebagaimana dikatakan seorang pengamat di situs Laksamana.net: “Megawati tampaknya mengambil keputusan itu [dengan pertimbangan] bahwa sejarah mesti berada di pihak para prajurit, tak peduli kerusakan yang dilakukan oleh atasan-atasan mereka.”

Satu dekade kemudian, pada Juli 2013, suksesor Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono, lebih berhati-hati ketika meresmikan monumen lain—bernama Monumen Perjuangan Mempertahankan NKRI—di Mabes TNI. Monumen ini didirikan untuk mengenang perang kemerdekaan dan operasi-operasi militer yang dilakukan tentara Indonesia. SBY menyatakan, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghormati para pahlawan, pejuang, dan pendahulunya. Bangsa yang cerdas adalah bangsa yang bisa belajar dari sejarah demi masa depan.”

Pelajaran sejarah yang bisa dipetik demi masa depan harus dimulai saat ini dengan diskusi publik yang jujur atas luka-luka yang menganga dalam masyarakat. Dan dari manakah memulainya secara lebih baik kalau bukan dari misteri sejarah di sekitar 1965-1966 serta rekam jejak Indonesia di Papua Barat, Aceh, dan Timor Timur?

==========

Artikel ini ditulis dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan oleh Ivan Aulia Ahsan.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.