tirto.id - Direktur Eksekutif Pusat Studi Politik dan Kebijakan Strategis Indonesia Stanislaus Riyanta berpendapat aksi bom bunuh diri di depan Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan karena pelaku merasa bahwa ada momentum yang tepat yaitu saat umat Katolik sedang ibadah Minggu Palma.
Selain itu, menurut Riyanta ada juga dorongan bahwa situasi para pelaku terdesak oleh aparat yang gencar melakukan penangkapan terhadap jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Sulawesi Selatan.
"Maka pelaku mengambil pilihan, daripada tertangkap lebih baik melakukan aksi bunuh diri," ujar dia ketika dihubungi Tirto, Senin (29/3/2021).
Dalam kondisi sudah terdesak dan dengan keyakinan bahwa aksi itu akan membawa mereka pada kemuliaan atau naik surga maka pelaku melakukan aksi bunuh diri. Riyanta melanjutkan, dalam situasi pandemi ini memang aparat keamanan bekerja ekstra keras termasuk membantu protokol kesehatan, di sinilah ada celah yang dimanfaatkan pelaku.
"Sasaran mereka adalah yang dianggap tagut, dan dari catatan yang ada yang dianggap tagut adalah polisi, kemudian pihak yang keyakinan berbeda. JAD selama ini memang hanya dua sasaran yaitu polisi dan gereja," katanya.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pada konferensi pers, Minggu (28/3/2021) kemarin mengatakan pengebom bunuh diri di depan Gereja Katedral Makassar merupakan jaringan teroris yang pernah beraksi di Filipina.
"Pelaku merupakan bagian dari kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang pernah melakukan pengeboman di Jolo, Filipina," ujar Sigit, Minggu (28/3/2021).
Satu pelaku laki-laki dan satu pelaku perempuan tewas karena meledakkan diri di depan gereja.
Sigit juga meminta masyarakat agar tenang dan tidak panik usai teror bom ini. Publik diminta tetap melaksanakan aktivitas seperti biasa. TNI-Polri akan memberikan keamanan dan kenyamanan kepada masyarakat. Berdasar hasil investigasi polisi, pelaku laki-laki berinisial L, sementara satu orang lainnya belum berhasil diidentifikasi.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Bayu Septianto