tirto.id - Beberapa kader Partai Demokrat yang divonis membelot dari kepemimpinan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dipecat dari partai dan posisinya sebagai pejabat publik terancam digantikan. Bagi akademisi, ini adalah bukti sistem politik Indonesia memang menomorsatukan kepentingan partai, bukan rakyat.
Salah satu kader yang terancam dicopot adalah Jhoni Allen Marbun, Sekretaris Jenderal Partai Demokrat kubu KLB Moeldoko. Jhoni masih tercatat anggota DPR RI Komisi V Fraksi Partai Demokrat sampai 2024. Ia menggugat AHY sejumlah ganti rugi karena berpotensi kehilangan pendapatan jika dicopot.
Kader lain, Yulius Dagilaha, Ketua DPC Partai Demokrat Halmahera Utara, juga terancam diganti sebagai legislatif DPRD Halmahera Utara. Sama seperti Jhoni, ia menggugat AHY sebesar Rp5 miliar.
Pergantian kader di legislatif atau pergantian antarwaktu (PAW) diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 mengenai MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Di Pasal 239 Ayat (2), beberapa hal yang bisa dijadikan alasan mencopot kader adalah tidak menjalankan tugas anggota DPR; melanggar sumpah kode etik; menjadi terpidana; diusulkan partai politik; tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota DPR; diberhentikan sebagai anggota partai politik; atau menjadi anggota partai lain.
Persoalan Recall
Mekanisme PAW, atau biasa disebut 'recall', pertama kali muncul pada masa Orde Baru. Orde Baru memiliki kewenangan yang besar dalam memberhentikan anggota legislatif dari partai mana pun. Sempat hilang pada 1999, recall dihidupkan kembali dalam Pemilu 2004.
Mekanisme recall tercantum dalam Pasal 85 UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU Susduk) dan Pasal 8 huruf g UU No 31 Tahun 2002 tentang partai Politik (UU Parpol). Posisi recall semakin diperkukuh dengan payung Konstitusi, tepatnya pada Pasal 22 B UUD 1945 Amandemen Kedua.
Pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Pemerintahan Abdi Negara (STIP-AN) Efriza mengatakan apa yang keliru dari konsep PAW di Indonesia adalah memberikan keleluasaan teramat besar bagi partai. Ia menilai seharusnya seorang anggota legislatif bisa di-recall tak hanya oleh partai tapi juga konstituen, rakyat yang memilih saat pemilu.
“Tapi, kan, itu tak pernah ada pasalnya,” kata Efriza kepada Tirto, pekan lalu.
Dampak dari sistem ini para anggota legislatif bisa kapan saja diberhentikan hanya karena dianggap berbeda pandangan dengan pimpinan partai.
Efriza mengambil contoh kasus Gus Choi dan Lili Wahid yang ditarik oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada 2013 karena dianggap loyalis Gus Dur, eks Ketua Umum PKB yang dikudeta oleh Cak Imin.
“Dua orang itu dianggap mewakili rakyat, aspirasi rakyat yang dibela, kenapa malah di-PAW? Karena berbeda pilihan [dengan Ketua Umum PKB Cak Imin]. Dalam sebuah konsep, seharusnya enggak boleh,” kata penulis buku Studi Parlemen: Sejarah, Konsep, dan Lanskap Politik Indonesia (2014) ini.
“Recall jadi mekanisme yang digunakan kapan saja karena kepentingan mereka [partai] tidak sejalan dengan anggota,” tambahnya.
Lebih detail, mekanisme PAW membuat posisi partai terlalu kuat lewat sebuah badan bernama fraksi—yang dimiliki tiap partai di DPR atau DPRD. Fraksi tersebutlah yang menjadi tangan kanan partai dalam mengontrol anggota-anggotanya di legislatif. Para anggota legislatif yang seharusnya memiliki hak bicara untuk menyuarakan aspirasi konstituennya acap kali terkungkung oleh fraksi.
“Bukan lagi kedaulatan rakyat. Rakyat sampai di pemilu saja. Partai bisa memecat, menyatakan anggota bermasalah, mengirim ke KPU, KPU mengeliminasi orang itu. KPU merujuk UU. Keputusan diserahkan ke partai,” kata dia.
Kata Efriza, idealnya legislator ditarik jika melakukan tindakan pidana atau memang diminta mundur oleh konstituennya.
“Mereka sudah menjadi pilihan rakyat. Kalau partai mau ambil, mereka juga harus tanya ke konstituennya. Jangan sampai seperti kasus Setya Novanto, terduga korupsi. Karena belum ada apa-apa, dia enggak di-recall atau di-PAW. Namun, di kasus lain, kalau bermasalah sama partai cepat sekali di-PAW. Masyarakat sudah kesal sama Setya Novanto, tapi dia tetap di DPR dengan alasan keputusan belum turun. Masih menggunakan dalih asas praduga tak bersalah. Aspirasi masyarakat tidak terbawa,” kata dia.
Efriza juga menyinggung bagaimana pada 15 Maret 2021 puluhan anggota DPR Fraksi Partai Demokrat mengadakan agenda pembacaan ikrar setia kepada AHY. Ia menyebut kegiatan itu aneh.
“Mereka itu tidak lagi mendukung partai politik, tapi sudah membawa suara rakyat. Dengan berikrar, asumsinya ada dua: AHY butuh ditopang; dan kedua, bentuk nyata cara menakuti anggota dewan--kalau enggak datang, ya, dipecat,” katanya. “Akhirnya menegasikan suara rakyat yang memilih legislator.”
Kepala Badan Pembina Organisasi, Kaderisasi, dan Keanggotaan (BPOKK) DPP Partai Demokrat Herman Khaeron tak banyak berkomentar mengenai wewenang partai yang dianggap terlalu berlebihan mengatur kader. Ia hanya mengatakan keputusan partai mengacu kepada UU Partai Politik, khususnya Pasal 16 Ayat 3.
“Dalam hal anggota partai politik yang diberhentikan adalah anggota lembaga perwakilan rakyat, pemberhentian dari keanggotaan partai politik diikuti pemberhentian dari keanggotaan di lembaga perwakilan rakyat sesuai peraturan perundang-undangan,” kata dia mengutip isi beleid itu, pekan lalu.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino