Menuju konten utama

Pengamat Hukum Sebut Pengacara Ahok Tak Berhak Menyadap

Menurut pengamat hukum pengacara Ahok jelas melakukan pelanggaran hukum bila memang benar-benar melakukan penyadapan. Sebab dalam Polri, PNS, atau pejabat lain yang diberi kewenangan oleh undang-undang.

Pengamat Hukum Sebut Pengacara Ahok Tak Berhak Menyadap
Ketua Umum MUI Ma'ruf Amin (tengah) berjalan sebelum mengikuti sidang lanjutan kasus dugaan penistaan agama di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (31/1). Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan lima saksi dalam sidang lanjutan dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. ANTARA FOTO/Reno Esnir.

tirto.id - Pengamat Hukum Acara Pidana Universitas Indonesia Chudri Sitompul menilai bahwa tim kuasa hukum dari Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tak berwenang melakukan penyadapan sebagaimana ditudingkan pada persidangan pada Selasa kemarin. Alasannya, dalam hukum acara pidana di Indonesia tak mengatur legalitas penyadapan kepada pihak lain di luar penyidik hukum.

“Itu kan sudah jelas aturannya mengenai penyadapan itu. Undang-Undang mengaturnya hanya untuk wewenang penyidik bukan wewenang pengacara. Meskipun porsinya membela tidak dibenarkan penyadapan tersebut diungkap di persidangan. Kecuali sadapan itu menyudutkan penyidik baru bisa dikeluarkan,” ucap Chudri Sitompul melalui sambungan telepon kepada Tirto.id, Selasa, (1/2/2017).

Chudry melanjutkan, bukti penyadapan itu bisa dibenarkan sebagai bukti otentik dalam memutus perkara di pengadilan. Aturan penyadapan tersebut terdapat dalam RKUHAP di Pasal 83 ayat (3) yakni penyadapan hanya dapat dilakukan oleh penyidik atas perintah tertulis atas penyidikan setelah mendapat surat izin dari hakim pemeriksa pendahuluan.

Chudri menambahkan, aturan lain tentang penyadapan juga dimasukkan ke dalam RKUHAP. Di Pasal 1 ke-2 RKUHAP menyebutkan juga penyidik dimaksud adalah pejabat dari Polri, PNS, atau pejabat lain yang diberi kewenangan oleh undang-undang.

“Saya juga belum tahu apakah RKUHAP itu sudah di sahkan belum saat ini. Namun di aturan saja sudah dipertegas bahwa yang berhak penyidik. Pengacara tidak diberikan legalitas penyadapan,” tutur Chudri.

Akademisi hukum ini juga menjelaskan pelanggaran lain yang jelas dilanggar tim kuasa hukum dari Basuki Tjahaja Purnama adalah Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Mekanisme penyadapan itu, kata Chudri, ada di Pasal 40 yang berbunyi: “… Pada dasarnya informasi yang dimiliki seseorang adalah hak pribadi yang harus dilindungi sehingga penyadapan harus dilarang,” bunyi Pasal 40 itu. Artinya, menurut Chudri tim pembela Ahok pun harus mengedepankan hak dari yang bersangkutan untuk menjaga privasinya.

Namun Chudri wanti-wanti, bila penyadapan menyangkut pada upaya pembuktian atau penyidikan bisa saja seperti yang dimuat dalam Pasal 42 ayat (2) dan Pasal 43 yaitu penyadapan dengan syarat atas permintaan tertulis dari Jaksa Agung dan penyidik.

Ia mencontohkan dalam kasus Judicial Review atas peristiwa ‘Papa Minta Saham’ yang dilayangkan oleh Setya Novanto, aturan penyadapan itu tidak bisa dijadikan alat bukti yang kuat di dalam pengadilan.

“Aturan penyadapan mengenai Judicial Review Pasal 5 Ayat 1 dan Ayat 2 serta Pasal 44 huruf b Undang-Undang ITE dan Pasal 26A Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Dalam putusannya alat bukti unlawful legal evidence atau alat bukti tidak sah tidak mempunyai nilai oleh pengadilan,” tutup Chudri Sitompul.

Ikhwal sadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan Ma'ruf Amin ini pertama kali diungkap oleh tim kuasa hukum Ahok di persidangan penistaan agama kemarin Selasa. Saat itu Ma'ruf Amin dihadirkan untuk memberikan kesaksian terkait fatwa MUI.

Kemudian salah seorang kuasa hukum Humphrey R Djemat mengklaim memiliki bukti sadapan antara Ma’aruf Amin dengan SBY pada Kamis, 6 Oktober 2016. Bukti sadapan itu terjadi tepat satu hari sebelum pertemuan dengan pasangan calon nomor satu Agus-Sylvi di kantor PBNU, Jakarta Pusat pada Jumat, 7 Oktober 2016.

Adanya rangkaian kejadian tersebut, tim kuasa hukum Ahok secara implisit menggiring opini bahwa fatwa MUI merupakan "pesanan" pihak tertentu. Sebab kasus Ahok ini terjadi setelah pidatonya di Pulau Pramuka pada Selasa, 27 September 2016 saat menyinggung soal Surah Al Maidah Ayat 51.

Sekira seminggu kemudian MUI mengeluarkan fatwa soal penistaan Surah Al Maidah. Tak lama fatwa itu dikeluarkan geliat masyarakat muslim pun memanas dan melakukan aksi damai dimulai Jumat, 14 Oktober 2016, Jumat, 4 November 2016 dan 2 Desember 2016 untuk menuntut Ahok dipidanakan.

Baca juga artikel terkait PENYADAPAN atau tulisan lainnya dari Dimeitry Marilyn

tirto.id - Hukum
Reporter: Dimeitry Marilyn
Penulis: Dimeitry Marilyn
Editor: Agung DH