tirto.id - Fredrich Yunadi, mantan pengacara Setya Novanto resmi menjalani sidang perdana di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (8/2/2018). Pria kelahiran Malang, 22 Februari 1952 ini didakwa berupaya menghalang-halangi penyidikan terhadap tersangka Novanto dalam kasus korupsi e-KTP.
Dalam dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK disebutkan, Fredrich bersama dr. Bimanesh Sutarjo pada 16 November 2017 dengan sengaja berusaha mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap Novanto yang saat itu berstatus sebagai tersangka.
Fredrich disebut melakukan rekayasa agar Novanto bisa dirawat inap di Rumah Sakit Medika Permata Hijau, Jakarta dalam rangka menghindari pemeriksaan penyidikan oleh penyidik KPK terhadap politikus Partai Golkar sebagai tersangka korupsi e-KTP.
Selain itu, Fredrich diduga menghalangi penyidikan saat proses penangkapan dan penggeledahan. Fredrich misalnya, menanyakan surat tugas, surat perintah, dan surat penangkapan kliennya itu. Penyidik KPK pun kemudian memperlihatkan surat-surat yang diminta Fredrich.
“Saat penyidik KPK menanyakan surat kuasa kepada terdakwa [Fredrich] ternyata saat itu terdakwa tidak bisa memperlihatkannya sehingga terdakwa lalu meminta kepada Deisti Astriani (Istri Setya Novanto) untuk menandatangani surat kuasa,” kata Jaksa KPK, Fitroh Rohcahyanto saat membacakan dakwaan, Kamis (8/2/2018).
Atas perbuatan tersebut, JPU KPK mendakwa Fredrich melanggar Pasal 21 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Deretan Pengacara yang Dijerat UU Tipikor
Fredrich bukan satu-satunya pengacara yang dijerat dengan UU Tipikor. Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), sejak 2005 hingga Januari 2018 setidaknya ada 22 orang advokat yang pernah dijerat menggunakan UU Tipikor, dengan rincian: ditangani oleh KPK sebanyak 16 orang, ditangani Kejaksaan ada 5 orang, dan ditangani Kepolisian 1 orang.
Dari jumlah 22 tersebut, sekitar 16 advokat dijerat UU Tipikor karena melakukan suap. Sementara, dua advokat lainnya dijerat kasus korupsi karena memberikan keterangan secara tidak benar, sedangkan empat advokat lainnya karena menghalang-halangi penyidikan perkara korupsi.
Namun, dari sekian kasus yang menjerat para pengacara tersebut, kasus Fredrich dan Otto Cornelis (OC) Kaligis termasuk yang cukup menyita perhatian publik. Saat itu, KPK menetapkan pengacara senior itu sebagai tersangka dalam dugaan tindak pidana korupsi suap majelis hakim dan panitera Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan.
Pada 17 Desember 2015, Pengadilan Tipikor Jakarta kemudian menjatuhkan vonis 5,5 tahun penjara ditambah denda Rp300 juta subsider 4 bulan kurungan kepada OC Kaligis, karena dinilai terbukti memberikan suap kepada hakim dan panitera PTUN Medan.
Atas putusan tersebut, OC Kaligis kemudian melakukan berbagai upaya hukum hingga Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung (MA). Dalam amar putusan MA, pada Selasa, 19 Desember dalam Nomor Perkara 176 PK/Pid.Sus/2017, MA memutuskan mengurangi masa penahanan OC Kaligis berkurang dari 10 tahun menjadi 7 tahun penjara.
Berbeda dengan OC Kaligis, kasus Fredrich menjadi perhatian publik karena mantan pengacara Novanto ini justru berlindung dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat.
“Saya difitnah katanya melakukan pelanggaran, sedangkan Pasal 16 Undang-Undang 18 tahun 2003 tentang Advokat, sangat jelas menyatakan advokat tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana,” kata Fredrich, Sabtu (13/1/2018).
Fredrich mengklaim bahwa tindakan KPK yang membuatnya jadi tersangka sebagai bentuk kriminalisasi terhadap profesi advokat. “Apa yang kalian saksikan ini sudah terjadi kriminalisasi terhadap proses advokat,” kata Fredrich, di Gedung KPK, Jakarta, Senin (15/1/2018).
Tindakan Fredrich tersebut kemudian membuat publik bereaksi. Dalam siaran pers yang diterima Tirto, pada 15 Januari lalu, ICW menegaskan perbuatan pidana seperti yang diduga dilakukan Fredrich tidak dapat dipandang sebagai serangan secara personal terhadap profesi advokat maupun organisasi yang menaungi kerja-kerja advokat.
Pembelaan dan pendampingan yang dilakukan terhadap klien tidak berarti advokat juga turut mengurusi hal-hal yang tidak berkaitan dengan proses dan upaya hukum yang sedang atau akan ditempuh. Artinya, perbuatan-perbuatan seperti melakukan suap-menyuap, mengurusi pemesanan kamar rumah sakit, ataupun melakukan komunikasi dengan panitera atau hakim dengan maksud untuk tawar-menawar hukuman, tidak dapat dibenarkan meskipun dilakukan atas nama klien.
Sekretaris Komisi Pengawas Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Victor W. Nadapdap saat dihubungi Tirto, pada 14 Januari lalu mengakui soal hak imunitas advokat ini. Menurut dia, hak imunitas advokat ini memang diatur dalam Pasal 16 UU Advokat. Aturan ini, kata Victor, diperkuat dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa hak imunitas ini berlaku, baik di dalam maupun di luar persidangan.
Namun demikian, kata Victor, hak imunitas advokat ini hanya berlaku bagi mereka yang menjalankan profesinya dalam membela kliennya dengan iktikad baik. Ukuran “iktikad baik” ini misalnya sesuai perundang-undangan yang berlaku dan tidak melanggar hukum.
Menurut Victor, berdasarkan Kode Etik Advokat, misalnya, seorang pengacara dalam menjalankan profesinya harus bebas dan mandiri, serta tidak dipengaruhi oleh siapapun dan wajib memperjuangkan hak-hak asasi manusia. “Kuncinya iktikad baik. Jangan memalsukan surat juga,” kata Victor.
Pernyataan Victor ini merujuk pada dugaan KPK tentang adanya persekongkolan antara Fredrich Yunadi dan Bimanesh Sutarjo, seorang dokter di RS Medika Permata Hijau, yang bekerja sama untuk memanipulasi data-data medis Setya Novanto saat dirawat setelah kecelakaan yang menimpa mantan Ketua DPR itu.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz