tirto.id - Penerimaan negara dari sektor mineral dan batu bara (Minerba) selama 2017 tercatat sebesar Rp40,6 triliun melampaui target APBNP 2017 sebesar Rp32,7 triliun. Capaian tersebut juga mengalami kenaikan 48,3 persen dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) 2016 yang sebesar Rp27,2 triliun.
Dari total penerimaan selama 2017 itu, paling banyak didapat dari royalti Rp23,2 triliun (57,1 persen) dan sisanya iuran tetap Rp0,5 triliun (1,2 persen), serta penjualan hasil tambang sebesar Rp16,9 triliun (41,7 persen). Pada 2018, PNBP minerba ditargetkan sebesar Rp32,1 triliun.
“Peningkatan capaian tersebut karena ada peningkatan kepatuhan pembayaran kewajiban perusahaan dan adanya tren kenaikan harga komoditas minerba,” kata Direktur Jenderal Minerba Bambang Gatot Ariyono di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jakarta pada Kamis (11/1/2018).
Selanjutnya, Bambang menerangkan bahwa ada capaian positif lainnya di sektor minerba pada 2017, yakni pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter), reklamasi lahan bekas tambang, capaian amandemen Kontrak Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B), serta penataan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Clear and Clean (CnC).
Smelter, pada 2017 ada 24 perusahaan yang telah menyelesaikan pembangunan smelter, dimana 26 perusahaan lainnya masih dalam tahap penyelesaian. Total telah terbangun smelter sebanyak 50 perusahaan dari 6 komoditi, dengan komoditi terbanyak nikel.
“Logam nikel berkembang baik, (smelter) yang telah selesai 100 persen mencakup nikel 15, bauksit 2, tembaga 1, besi 4, dan mangan 2. Progres 50-100 persen, yakni nikel 3, besi 1, timbal dan zink 1. Sementara progress 0-50 persen terdiri dari nikel 12, bauksit 4, tembaga 2, besi 1, timbal dan zink 2,” sebut Bambang.
Hasil positif dicatatkan dari kegiatan reklamasi lahan bekas tambang dimana realisasi 2017 mencapai 6.808 hektar. “Penempatan dana jaminan reklamasi menjadi kesatuan proses kegiatan pertambangan. Target tahun depan luas lahan reklamasi menjadi 6.900 hektar,” tutur Bambang.
Terkait amandemen kontrak, baik itu Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) maupun Kontrak Karya (KK), Bambang mengakui bahwa penyesuaian ini dalam perjalanannya tidak mudah dan membutuhkan upaya tersendiri. Terutama terkait KK, isu divestasi dan penerimaan negara masih menjadi kendala.
“Hingga 2018 awal, (amandemen) PKP2B selesai 50, menyisakan 18 yang akan diusahakan selesai Januari ini. Jadwal waktu sedikit mundur, tinggal beberapa, sisanya dari 18 perusahaan tersebut akan segera ditandatangani,” ungkapnya.
Pada 2017 secara final, Forum Koordinasi dan Supervisi (Korsup) KPK dan Ditjen Minerba menghasilkan pencabutan 2.595 IUP oleh Pemerintah Daerah pada periode 2015-2017, sehingga mulai 2018 semua IUP di Indonesia sebanyak 6.565 IUP sudah berstatus clean and clear (CnC).
Finalisasi penataan IUP telah menyepakati akan melakukan pemblokiran terhadap IUP yang masih berstatus non-CnC oleh Ditjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Ditjen Bea Cukai dan Ditjen Perdagangan Luar Negeri (Daglu) Kementerian Perdagangan, berdasarkan data dari Ditjen Minerba.
“Prosesnya sudah berjalan, ada beberapa yang harus disempurnakan, misalnya terkendala permasalahan blok perusahaan, akan segera kita klarifikasi sehingga bisa direvisi dari yang diblokir,” ujar Bambang.
Pada 2017 menjadi salah satu tahun penting perjalanan subsektor Minerba Kementerian ESDM dengan lahirnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1/2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara beserta turunannya.
Bambang menegaskan di tahun 2017 pemerintah mulai mengawal kebijakan hilirisasi minerba, divestasi 51 persen dan penataan kembali IUPK sebagai penegasan kembali pemanfaatan sumber daya alam sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
"Landmark poin penting dari PP No.1/2017 adalah terkait hilirisasi mineral, divestasi dan IUPK. Dari tahun ke tahun beberapa kali diterbitkan regulasi untuk hilirisasi. Selain meningkatkan pendapatan negara, hilirisasi juga mendorong peningkatan lapangan kerja dan pada akhirnya mendorong pertumbuhan ekonomi nasional,” ujarnya.
Ia melanjutkan, PP tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan terbitnya beberapa Peraturan Menteri (Permen) yang mendukung kepastian usaha guna mendorong akselerasi yang dibarengi dengan upaya kontrol dan insentif yang diberikan Pemerintah. “Bahkan di 2017, Harga Mineral Acuan (untuk 20 jenis mineral logam) ditetapkan sebagai variabel penentuan HPM (Harga Patokan Mineral) melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 44/2017,” lanjutnya.
Terkait Revisi Undang-Undang Nomor 4/2009 tentang Minerba, Bambang berharap dapat diselesaikan tahun ini. “Revisi UU 4 diharapkan dapat diselesaikan tahun ini. Kita juga akan mengevaluasi beberapa Permen yang dapat disederhanakan ke dalam satu Permen saja,” tambahnya.
Mengenai PT Freeport Indonesia (PT FI), dia berharap pada 2018 menuntaskan perundingan yang masih bergulir antara pemerintah dengan PT FI, dimana saat ini isu divestasi masih menunggu hasil perundingan Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN. Dalam perundingan teknis lanjutan, tugas Kementerian ESDM mencakup pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian, landasan hukum pengusahaan dan perpanjangan operasi. Saat ini ketiga hal tersebut telah selesai.
“Kita harapkan ini dapat diselesaikan sebelum Juli (2018), sehingga dapat terwujud amanat UU 4/2009 dan PP 1/2017,” pungkas Bambang.
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri