tirto.id - PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) (PLN) memiliki tugas besar untuk meningkatkan elektrifikasi 100 persen hingga 2019. Ini termasuk penyediaan di daerah pinggiran hingga pengembangan Energi Baru Terbarukan. Namun, masalah pendanaan masih menjadi persoalan.
Senior Manager Energi Baru Terbarukan (EBT) PT PLN Budi Mulyono mengatakan mayoritas pembiayaan masih dilakukan oleh korporasi sendiri.
"Masih banyak daerah yang perlu tambahan pembangkit, transmisi distribusi. Sekarang hampir seluruhnya pendanaan dari PLN. Sementara kalau di bidang EBT ini beberapa jenis masih mahal," ujar Budi di Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Jakarta pada Selasa (22/5/2018).
Padahal ia mengatakan bahwa PLN adalah perusahaan pelat merah yang tidak boleh rugi. "Misi perusahaan di bawah Kementerian BUMN bahwa BUMN itu harus tidak rugi," kata dia.
Ia kemudian mengatakan bahwa pengembangan EBT masih terasa berat karena di antaranya, pertama, skala ekonomi belum tercapai. Kedua, ada jenis EBT yang biayanya sulit didapatkan. Contohnya, pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP).
"Seperti PLTP, biaya PLTP untuk mendapatkan keyakinan sebuah gunung bisa ditambang itu hitungannya tidak terduga. Mulai dari eksplorasi sampai eksploitasinya tinggi sekali, sehingga kadang-kadang pengembang membebankan seluruh biaya persiapan ke PLN, jadi biayanya mahal," ungkapnya.
Ia mengakui bahwa instrumen green bond belum dimanfaatkan secara optimal dalam pembangunan pembangkit listrik berorientasi EBT. Green bond adalah instrumen utang yang mampu mendanai proyek-proyek infrastruktur ramah lingkungan.
Sementara ini, ada dua cara pembiayaan pembangunan untuk proyek-proyek PLN, yaitu didanai sendiri oleh PLN (IPC) dan dana dari luar PLN, yaitu swasta atau Independent Power Producer (IPP).
"Kebanyakan mereka di IPP belum terlihat adanya upaya untuk mendapatkan green bond itu. Jadi, pendanaan dari mereka katakanlah 30 persen pribadi dan 70 persen pakai dana luar. Begitu dapat [tender proyek] mereka barulah memulai pendanaan itu, tapi belum ada yang saya lihat dari awal menggunakan pendanaan green bond,” ujarnya.
Ia mencontohkan ada pengembang untuk proyek PLN yang masuk ke proyek Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) di Sulawesi Selatan. Awalnya pengembang tersebut hanya menerangkan pendanaan dari ekuitas 30 persen, pinjaman 70 persen.
"Kami (PLN) enggak tahu 30 persen dari mana setelah [tanda tangan] PPA [power purchase agreement/perjanjian jual-beli] kami tahu bahwa dia sudah melakukan pinjaman ke ADB [Asian Development Bank] atau pinjaman dana lain. Jadi, kami enggak menghalangi mereka untuk mendapatkan pinjaman dari mana pun," terangnya.
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Yuliana Ratnasari