Menuju konten utama

PLN Pertanyakan Target Pemerintah Soal Energi Baru Terbarukan

Pemerintah berjanji mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen pada tahun 2030.

PLN Pertanyakan Target Pemerintah Soal Energi Baru Terbarukan
Dua petugas melakukan pengecekan panel surya yang dipasang di gedung Head Office Pertamina RU IV, di Cilacap, Jawa Tengah, Selasa (31/10/2017). ANTARA FOTO/Idhad Zakaria

tirto.id - Pemerintah Indonesia menargetkan porsi Energi Baru Terbarukan (EBT) dalam negeri sebesar 23 persen pada tahun 2025. Target itu dikeluarkan menyusul disetujuinya Perjanjian Paris (Paris Agreement) dalam mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen pada tahun 2030.

Berkaitan dengan itu, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) (PLN) masih mempertanyakan target pemerintah tersebut karena saat ini porsi Energi Baru Terbarukan (EBT) baru mencapai 7 hingga 8 persen.

"Sebetulnya target yang dibilang di Paris Agreement kalau kita harus 23 persen EBT. Masih kami pertanyakan," kata Senior Manager EBT PT PLN Budi Mulyono di Kantor Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Jakarta, Selasa (22/5/2018).

Budi juga mengatakan adanya perbedaan target pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) 2025 dengan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).

Dalam REUN target PLTS sebesar 8.000 megawatt (MW). Sementara dalam RUPTL target PLTS hanya sebesar 1.000 megawatt (MW).

"Di RUEN PLTS sampai 2025 terpasang 8.000 MW. Sedangkan di RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik) terbaru kami hanya 1.000 MW. Kenapa sangat besar perbedaannya?" kata Budi.

Selain itu, kata Budi, para pelaku usaha dan internal PLN juga banyak yang belum memiliki pengetahuan dasar mengenai pengembangan EBT

"Sebetulnya di PLN sendiri informasi pentingnya pengembangan EBT ini belum sampai ke tahap-tahap dasar. Yang penting jualan isi (pembangkit listrik) kami berapa MW. Jadi, mereka yang penting untung, belum aspek lainnya. Harus ada edukasi perlahan-lahan agar sadar bahwa batu bara bakal habis dan minyak bakal habis," paparnya.

Pemerintah Pasang Target Lebih Tinggi dari Perjanjian Paris

Pemerintah Indonesia telah menandatangani Perjanjian Paris (Paris Agreement) pada Oktober 2016 lalu. Yang salah satu isinya adalah janji pemerintah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen pada tahun 2030.

Bahkan, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Bambang Brodjonegoro mengatakan pemerintah memiliki target pengurangan yang lebih besar, yaitu hingga 41 persen.

"Keberhasilan Indonesia dalam capaian nasional yang ditentukan akan sangat penting untuk memenuhi tujuan global untuk mengurangi perubahan iklim," ucap Bambang.

Salah satu cara untuk mendorong realisasi tersebut adalah dengan menciptakan Energi Baru Terbarukan (EBT), yang ramah lingkungan, seperti PLTS. Sedangkan, PLTU berbahan bakar batu bara (bahan bakar fosil) adalah produk yang tidak ramah lingkungan.

Sementara mekanisme pembiayaan untuk merealisasikan target tersebut adalah Green Climate Fund (GCF) yang berada di bawah Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (United Nation Convention on Climate Change/UNFCCC). Program tersebut didirikan untuk membantu negara-negara seperti Indonesia mencapai target pengurangan emisi.

Hingga Mei 2018, ada 76 proyek Green Climate Fund di seluruh dunia yang mewakili total investasi sebesar 12,6 miliar dolar AS.

Proyek ini diharapkan mampu mengurangi emisi setara CO2 sebanyak 1,3 miliar ton dan dapat mengurangi sekitar 217 juta orang yang terdampak paparan emisi gas buang dari energi fosil.

Baca juga artikel terkait ENERGI TERBARUKAN atau tulisan lainnya dari Shintaloka Pradita Sicca

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Alexander Haryanto