tirto.id - Rika Rosvianti, pendiri lembaga perEMPUan, yang berfokus pada masalah pelecehan di ruang publik, menilai pemisahan lahan parkir yang terjadi di Depok bukanlah solusi atas perlindungan perempuan.
"Pemisahan tempat laki-laki dan perempuan di ruang publik justru berpeluang menciptakan adanya justifikasi terjadinya pelecehan seksual di tempat yang bukan khusus untuk perempuan," ungkap Rika yang akrab disapa Neqy kepada reporter Tirto,Jumat (26/7/2019).
Neqy juga menganalogikannya dengan kebijakan gerbong perempuan di KRL yang seharusnya hanya menjadi langkah sementara untuk menciptakan ruang dan transportasi publik yang aman.
"Seperti penumpang perempuan yang cenderung akan disalahkan bila melaporkan mengalami pelecehan saat berada di gerbong umum. Pembagian ruang publik menjadi untuk laki dan perempuan juga akan berpeluang melahirkan nada victim blaming bila terjadi pelecehan pada perempuan yang misalnya parkir di tempat yang umum, apa pun alasannya [termasuk juga misalnya bila tidak punya pilihan lain]," uajr Neqy.
Neqy juga mengatakan, kebijakan mengenai ruang publik seharusnya tidak bernuansa segregasi dalam bentuk pembagian ruang.
"Namun justru membuat semua orang memiliki dan bertanggung jawab atas ruang publik dalam bentuk bersama-sama menghargai dan menjaga keamanan ruang publik tersebut," ujar Neqy.
"Kebijakan di ruang publik seharusnya tidak membagi-bagi ruang, namun mencampur semua orang menjadi satu kesatuan yg sama-sama sadar untuk saling menjaga privasi dan kenyamanan orang lain, dengan kesadaran bahwa ruang publik adalah ruang yang dimiliki bersama," ujar dia.
Sebelumnya, Kepala Dinas Perhubungan Kota Depok, Dadang Wihana mengatakan kebijakan memisahkan parkir kendaraan roda dua antara pria dan wanita merupakan program yang sudah lama diterapkan di Kota dengan semboyan friendly city tersebut. Menurutnya, hal tersebut sebagai sebuah sikap untuk menghormati kaum perempuan.
"Dalam rangka pengarusutamaan gender dan kepedulian terhadap perempuan," ujar Dadang kepada Tirto, Selasa (9/7/2019).
Ia mengatakan program tersebut bersifat imbauan semata, yang sudah diberlakukan sejak lama. Sehingga, menurutnya, tidak ada hubungannya dengan wacana Perda syariah yang sempat ramai belakangan. Kendati demikian, ia sendiri tak tahu sejak kapan hal itu sudah berlangsung.
"Program itu sudah lama ada. Sejak saya bertugas di Bappeda tahun 2005 program semacam itu sudah ada, " ujarnya.
Di sisi lain, setidaknya 104 warga Depok yang tergabung dalam Masyarakat Cinta Depok melakukan penolakan atas segregasi atau pemisahan lahan parkir di Depok yang didasarkan pada jenis kelamin, yakni laki-laki dan perempuan. Mereka pun menandatangani surat pelaporan ke Ombudsman terkait permasalahan tersebut.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Zakki Amali