tirto.id - Bekas Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menyebut provinsi yang dimenangkan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno pada Pilpres 2019 adalah "provinsi garis keras", terutama dilihat dari aspek agama. Pernyataan yang disampaikan di salah satu stasiun TV itu beredar di media sosial dan viral.
Berikut pernyataan lengkapnya: "kemarin itu sudah agak panas dan mungkin pembelahannya sekarang kalau lihat sebaran kemenangan, ya mengingatkan kita untuk lebih sadar segera rekonsiliasi. Karena sekarang ini Pak Jokowi ya menang dan mungkin sulit di balik kemenangan itu dengan cara apa pun.
Tapi kalau lihat sebarannya di beberapa provinsi-provinsi yang agak panas, Pak Jokowi kalah. Dan [...] tempat kemenangan Pak Prabowo itu [...] diidentifikasi yang dulunya dianggap provinsi garis keras dalam hal agama, misal Jawa Barat, Sumatera Barat, Aceh, dan sebagainya. Sulawesi Selatan juga.
[...] rekonsiliasinya jadi lebih penting untuk menyadarkan kita bahwa bangsa ini bersatu karena kesadaran akan keberagaman."
Sadar ucapannya dikritik banyak orang, Mahfud kemudian memberikan penjelasan via akun twitter, @mohmahfudmd. Mahfud berdalih istilah "garis keras" itu sama dengan kesetiaan yang tinggi, bukan dalam aspek agama saja.
"Garis keras itu sama dengan fanatik dan sama dengan kesetiaan yang tinggi. Itu bukan hal yang dilarang, itu term politik. Sama halnya dengan garis moderat, itu bukan hal yang haram," tulis Mahfud, Minggu (28/4/2019).
"Dua-duanya boleh dan kita bisa memilih yang mana pun. Sama dengan bilang Jokowi menang di daerah PDIP, Prabowo di daerah hijau," sambungnya.
Ia melanjutkan, dengan pengertian itu, Madura, daerah asal Mahfud, juga bisa dikategorikan daerah garis keras. Ia lalu menyamakannya dengan Aceh dan Bugis yang bisa disebut fanatik karena kesetiaan yang tinggi pada Islam.
Mahfud kemudian memberikan kata kunci terkait pernyataannya ini, yakni kata "dulu" dan "rekonsiliasi".
"Saya katakan dulu-nya karena dua alasan: 1) dulu DI/TII Kartosuwiryo di Jabar, dulu PRRI di Sumbar, dulu GAM di Aceh, dulu DI/TII Kahar Muzakkar di Sulsel. Lihat di video ada kata 'dulu'. Puluhan tahun terakhir sudah menyatu. Maka saya usul Pak Jokowi melakukan rekonsiliasi, agar merangkul mereka," ucap Mahfud.
Memecah Belah?
Meski telah memberikan klarifikasi, beberapa politikus tetap mengatakan pernyataan Mahfud itu berbahaya. Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon, misalnya, mengatakan pernyataan Mahfud membuat masyarakat terpecah.
Fadli bilang pernyataan terkait wilayah garis keras sudah dimaknai secara liar oleh masyarakat.
"Profesor itu semakin hari semakin ngawur. Yang diucapkan Mahfud MD ini seperti menorehkan luka baru di atas luka lama. Bukan mempersatukan dia malah memecah belah," ujar Fadli di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (29/4/2019).
Anggota Dewan Pengarah Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga itu juga menuduh Mahfud tak paham sejarah.
Menurut Fadli, organisasi yang disebut Mahfud itu punya alasan yang kuat untuk memberontak. Ia bilang itu adalah koreksi atau kritik atas pemerintah pusat yang abai terhadap keadaan daerah.
Dosen Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno, juga menyayangkan pernyataan Mahfud, apalagi dia adalah anggota Dewan Pengarah Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP).
Adi bilang pernyataan soal garis keras serta menyangkut pautkan dengan agama sangat tak tepat, apalagi dikaitkan juga dengan sikap pemilih.
"Kalau ada daerah yang memilih salah satu capres karena dasar agama itu bukan garis keras, itu pemilih sosiologis namanya," kata Adi kepada reporter Tirto.
Menurut Adi, pernyataan tersebut justru akan menyulitkan terwujudnya rekonsiliasi pasca Pemilu 2019.
Di antara sekian banyak yang mengkritik, Mahfud juga dibela. Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf, Irma Suryani Chaniago, mengatakan Mahfud pasti punya alasan dan data saat bicara.
Politikus Partai Nasdem itu percaya maksud Mahfud bukan untuk memecah belah.
"Masak memecah belah, sih? Coba lihat dari sisi positif, kalau melihat dari sisi negatif enggak akan pernah Indonesia rukun," ucap Irma kepada reporter Tirto.
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Rio Apinino