tirto.id - Kementerian Perindustrian menargetkan penurunan impor bahan baku petrokimia sebanyak 50 persen per 2023. Sekretaris Jenderal Kemenperin, Achmad Sigit Dwiwahjono menilai sektor ini menjadi salah satu penyumbang besar defisit neraca perdagangan. Impor bahan baku petrokimia sendiri tiap tahun menyentuh 20 miliar dolar AS.
"Setidaknya 2023 kita bisa bangkit. Kita lagi di industri Petrokimia sehingga sekitar 50 persen impor bisa kita kurangi," kata Sigit kepada wartawan saat ditemui di Hotel Mercure Padang, Sumatra Barat, Selasa (8/10/2019).
Sigit mengatakan nilai impor sebanyak 20 miliar dolar AS per tahun ini menyumbang hampir 30 persen dari total impor Indonesia. Sementara itu, impor barang modal sendiri menyentuh 30 persen dan 30 persen lagi juga masih didominasi bahan konsumsi.
Saat ini, Sigit membenarkan bahwa investasi di sektor petrokimia masih seret. Jumlahnya tidak cukup mampu untuk mendorong produksi bahan baku petrokimia dalam negeri. Namun ia memastikan keadaan ini akan segera berubah per 2022.
Dua investasi pabrik petrokimia itu antara lain PT Chandra Asri Petrochemical (CAP) Tbk. dan PT Lotte Chemical masing-masing berkapasitas 1 juta ton. Per 2022 2023 nanti, kedua pabrik ini dipastikan akan menyumbang 2 juta ton tambahan produksi petrokimia untuk keperluan domestik.
"Di satu sisi investasi kita masih kurang tapi kita sudah ada komitmen dari CAP dan Lotte. Tahun depan belum ada pengurangan (impor) karena kan belum jadi," ucap Sigit.
Sigit menambahkan upaya menekan impor Petrokimia ini nantinya masih perlu didukung pabrik Tuban Petro yang hari ini dikelola oleh Pertamina. Menurutnya Tuban Petro sebaiknya tidak dioperasikan untuk memproduksi bahan bakar. Sebaliknya, ia menyarankan produksinya diarahkan untuk Benzene, Toluene dan Xylene (BTX).
Jika Tuban Petro bisa beroperasi untuk suplai bahan baku petrokimia, ia menaksir ada peningkna produksi 1,5 juta ton. Jumlah ini menurutnya semakin signfikan untuk mendorong penurunan impor sebanyak 50 persen pada 2023 nanti.
"Tuban Petro itu untuk bahan bakar padahal desainnya BTX. Itu adalah aromatic center satu-satunya di Indonesia yang kita punyai. Jadi kita inginkan itu untuk diubah ke mode BTX. Dengan begitu ktia bisa mengurangi impor cukup besar," pungkas Sigit.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Gilang Ramadhan