tirto.id - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) memperkirakan konflik di Timur Tengah atau Timteng berdampak pada tiga hal, yaitu peningkatan harga energi, peningkatan biaya logistik, dan penguatan nilai tukar dolar Amerika Serikat. Sebab itu, pemerintah menyiapkan smart policy untuk memitigasi pengaruh terhadap sektor manufaktur di dalam negeri.
“Saat ini, Kemenperin berupaya memetakan solusi-solusi untuk mengamankan sektor industri dari dampak konflik yang tengah terjadi,” ucap Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita, dalam keterangan resmi, Kamis (18/4/2024).
Solusi yang dirumuskan meliputi penyiapan insentif impor bahan baku industri yang berasal dari Timur Tengah karena adanya kemungkinan terganggunya suplai bahan baku bagi industri dalam negeri, terutama pada industri produsen kimia hulu yang mengimpor sebagian besar naphtha dan bahan baku kimia lainnya dari kawasan tersebut.
Lebih lanjut, relaksasi impor bahan baku tertentu juga dibutuhkan untuk kemudahan memperoleh bahan baku, mengingat negara-negara lain juga berlomba mendapatkan supplier alternatif untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industrinya.
Selanjutnya, mempercepat langkah-langkah pendalaman, penguatan, maupun penyebaran struktur industri, yang bertujuan untuk segera meningkatkan program substitusi impor. Hal ini perlu didukung dengan memperketat ketentuan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) untuk mengantisipasi excess trade diversion dari negara lain ke Indonesia.
Artinya, kata dia, kementerian/lembaga harus lebih disiplin dalam pengadaan belanja barang dan jasa dengan menggunakan produk dalam negeri.
Agus Gumiwang menambahkan, dalam situasi memanasnya konflik geopolitik juga merupakan momen yang tepat bagi sektor industri untuk mendapatkan kepastian keberlanjutan implementasi kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT).
Adanya risiko peningkatan harga energi dapat berpengaruh terhadap menurunnya produktivitas dan daya saing subsektor industri. Karenanya, kebijakan HGBT sangat diperlukan untuk meningkatkan daya saing produksi.
Agus Gumiwang juga mengusulkan peningkatan penggunaan mata uang lokal untuk transaksi bilateral yang dilakukan oleh pelaku usaha di Indonesia dan negara mitra. Artinya, nasabah Indonesia dan nasabah mitra dapat membayar atau menerima pembayaran dalam mata uang lokal tanpa melalui dolar AS.
“Langkah ini untuk mengurangi ketergantungan terhadap hard currencies, terutama dolar AS, mengingat skala ekonomi dan volume perdagangan antar negara Asia terus meningkat, juga untuk meningkatkan stabilitas nilai tukar rupiah,” jelas Agus.
Selain itu, upaya memperbaiki performa sektor logistik untuk mendukung pertumbuhan sektor industri juga perlu ditempuh. Sepanjang kuartal I–2024, terjadi peningkatan pada indeks biaya logistik dunia yang merupakan dampak dari konflik Israel vs Palestina.
Dalam hal ini, kenaikan biaya logistik yang semakin tinggi akan tergantung pada ekskalasi konflik yang mungkin terjadi selanjutnya. Sementara itu, saat ini Indonesia berada pada peringkat ke-63 dunia dan ke-6 di ASEAN untuk Logistics Performance Index (LPI) jauh di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Vietnam.
Dari catatan tersebut memperlihatkan biaya dan waktu penanganan logistik di Indonesia jauh lebih mahal dan lama bila dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia maupun di kawasan ASEAN.
Penulis: Faesal Mubarok
Editor: Abdul Aziz