Menuju konten utama

Pemerintah Dinilai Tak Konsisten dalam Proyek Reklamasi

Pemberian sertifikat HPL Pulau C dan D oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang ke Pemprov DKI dianggap sebagai ketidakkonsistenan pemerintah terkait proyek reklamasi.

Pemerintah Dinilai Tak Konsisten dalam Proyek Reklamasi
Foto udara pulau hasil reklamasi di Teluk Jakarta, Kamis (11/5). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

tirto.id - Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan menilai pemerintahan Joko Widodo tidak konsisten dalam proyek reklamasi Teluk Jakarta. Anggapan itu berkaitan dengan keputusan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang menyerahkan sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Pulau C dan D ke Pemprov DKI Jakarta, pada Minggu (20/8/2017).

Sertifikat HPL tersebut diklaim oleh Pemprov DKI bisa menjadi dasar penerbitan izin Hak Guna Bangunan (HGB) bagi pengembang. Deputi Advokasi, Hukum, dan Kebijakan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, Tigor Gemdita Hutapea mengatakan, pemberian HPL tersebut sebagai bentuk ketidakkonsistenan Presiden Jokowi dalam upayanya memperhatikan rakyat kecil dan lingkungan hidup.

“Ada ketidakkonsistenan dari Presiden Joko Widodo dalam menyikap reklamasi Teluk Jakarta,” kata Tigor, Rabu (30/8/2017).

Tigor mengingatkan, pada 2016 lalu, pemerintah Jokowi secara tegas menghentikan proyek reklamasi. Melalui Rizal Ramli yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Kemaritiman, Presiden Jokowi memerintahkan moratorium terhadap pembangunan pulau-pulau di Teluk Jakarta.

Saat itu, Kemenko Kemaritiman sudah melakukan moratorium selama 3 bulan. Kajian lingkungan hidup yang dibuat dengan melibatkan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), serta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menghasilkan penilaian dampak buruk reklamasi terhadap lingkungan hidup.

Sayangnya, pada 2017, tiba-tiba Presiden Jokowi memerintahkan Bappenas untuk melakukan kajian ulang terhadap pulau C, D, dan G. Kajian itu digabungkan dengan National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) untuk pembangunan tanggul laut. “Ini aneh sekali,” kata Tigor.

“Dan kita ingat, Jokowi mengingatkan untuk menaruh perhatian pada nelayan, lingkungan hidup dan pembangunan tidak boleh digarap oleh swasta,” kata Tigor.

Artinya, kata Tigor, tindakan pemerintah dalam memberikan HPL kepada Pemprov DKI Jakarta justru berlawanan dengan apa yang telah dilakukan pemerintah pusat tahun lalu. Apalagi pemerintah belum rampung melakukan kajian analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL).

“Tidak pernah dipublikasikan [kajiannya], tiba-tiba keluar HPL,” kata Tigor.

Selain itu, kata Tigor, secara hukum juga ada beberapa aturan yang dilanggar dalam pemberian sertifikat HPL tersebut. Semestinya sertifikat HPL itu belum bisa terbit sebab dua Raperda Reklamasi belum dibentuk.

Dua Raperda itu ialah revisi Perda Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta, dan Raperda tentang Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (ZWP3K), yang tidak sesuai dengan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS).

Karena itu, Tigor menganggap tidak ada jaminan bagi nelayan dan masyarakat untuk mendapat keuntungan dari pembangunan di pulau C dan D. Ia menilai tidak ada dasar hukum yang mengatur pembangunan pulau C dan D akan menepati syarat pembangunan 52,5 persen untuk komersil, dan 47,5 persen untuk fasilitas sosial dan fasilitas umum seperti yang diutarakan Kepala BPN DKI Jakarta, Muhammad Najib Taufieq.

Ia menambahkan, pemberian sertifikat HPL merupakan bentuk dari tidak adanya perhatian pemerintah kepada kepentingan nelayan dan masyarakat. Pemerintah tidak melihat kawasan yang terkena dampak reklamasi, seperti Kampung Dadap dan Kampung Kamal Muara. Daerah tersebut mengalami banjir setiap saat hujan melanda, bahkan dikhawatirkan akan tenggelam beberapa puluh tahun mendatang.

“Sampai saat ini sudah sampai ke lutut kalau air pasang dan musim hujan. Ini akibat dari pembangunan pulau C dan D di depan Kampung Dadap dan Kampung Kamal Muara ini,” kata Tigor.

Baca juga: Sertifikat HPL Pulau C dan D Dinilai Cacat Hukum

Kepala Kantor Wilayah BPN DKI Jakarta M. Najib Taufieq, pada Selasa (29/8/2017) menyatakan, sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) di pulau-pulau hasil reklamasi teluk Jakarta bisa diterbitkan. Najib beralasan, karena saat ini sudah ada pembangunan di Pulau Reklamasi.

“Investor ini sudah tanamkan [investasi]," kata Najib di Cideng, Jakarta, Selasa kemarin.

Najib menerangkan pembangunan di pulau-pulau hasil reklamasi teluk Jakarta sudah mengikuti ketentuan Keppres Nomor 52 tahun 1995. Penerbitan HGB itu tidak terpengaruh dengan masih berlakunya moratorium dari pemerintah pusat.

Meskipun demikian, Najib mengatakan, walaupun HGB sudah bisa terbit, akan tetapi pembangunan tidak akan terjadi di pulau-pulau reklamasi selama moratorium berlangsung. Pengembang tidak bisa membangun selama dua Raperda Reklamasi belum disahkan.

Dia tidak khawatir penerbitan HBG bisa menjadi alat pengembang untuk menjual bangunan di Pulau Reklamasi. Menurut Najib, selama belum ada kepastian hukum berupa pengesahan dua Raperda Reklamasi di DKI Jakarta, bangunan di pulau-pulau reklamasi, terutama Pulau D, sulit dijual.

Baca juga: Moratorium Reklamasi Sedang Dibahas Kemenko Maritim

Saat ini, Pemprov DKI Jakarta telah melayangkan surat kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terkait moratorium reklamasi. Gubernur DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat mengatakan, surat tersebut sedang dibahas oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman yang dipimpin Luhut Binsar Pandjaitan.

“Kami ajukan sejak seminggu yang lalu. Sekarang sedang dibahas di Kemenko Maritim,” kata Djarot, di Balai Kota, Jakarta Pusat, Rabu (30/8/2017).

Djarot menyampaikan, saat ini Pemprov telah memiliki sertifikat HPL untuk Pulau C dan D dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR). Artinya, pemanfaatan kedua pulau tersebut tinggal menunggu moratorium dicabut dan dua Raperda tentang Reklamasi disahkan oleh DPRD.

Baca juga artikel terkait REKLAMASI JAKARTA atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Abdul Aziz