tirto.id - Para aktivis Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta menilai pemerintah pusat telah menyalahi aturan dalam penerbitan izin Hak Pengelolaan Lahan (HPL) dua pulau hasil reklamasi, yakni Pulau C dan D.
Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia, Marthin Hadiwinata menyatakan semestinya sertifikat HPL itu belum bisa terbit sebab dua Raperda Reklamasi belum dibentuk.
Dua Raperda itu ialah, revisi Perda Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta dan Raperda tentang Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (ZWP3K) dan tidak sesuai dengan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS).
Pernyataan Marthin itu berkaitan dengan keputusan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (BPN) menyerahkan Sertifikat HPL Pulau C dan D ke pemprov DKI Jakarta pada Minggu (20/8/2017). Sertifikat HPL itu diklaim oleh Pemprov DKI bisa menjadi dasar penerbitan izin Hak Guna Bangunan (HGB) bagi pengembang.
Marthin menjelaskan penerbitan Sertifikat HPL Pulau C dan D juga bermasalah karena tidak melalui proses administrasi yang benar. Selain itu, penerbitan izin tersebut tidak mempertimbangkan masalah sosial dan ekonomi bagi masyarakat dan kerusakan lingkungan di sekitar dua pulau itu.
Dia menambahkan, dalam penyusunan KLHS proyek reklamasi, pemerintah bertindak satu arah. Para nelayan di sekitar Teluk Jakarta tidak pernah dilibatkan dalam proses itu. Ternyata, tiba-tiba sertifikat HPL Pulau C dan D tersebut sudah keluar.
“Dari prosesnya, tidak pernah ada pemberitahuan pada publik. Konsultasi kepada publik substansinya apa. Jadi sudah cacat secara prosedur dan dari substansi juga tidak ada prosedur yang matang,” kata Marthin di kantor Rujak Center Urban Studies, Jakarta pada Rabu (30/8/2017).
Menurut dia, berdasar Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 Pasa 59 ayat (3) tentang penataan ruang kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur, pengawasan pemanfaatan ruang pembangunan sudah sepatutnya melibatkan masyarakat.
Sementara itu, Marthin melanjutkan, lokasi reklamasi Pulau C dan D hanya bisa digunakan sebagai kawasan lindung dan penyangganya. Sebab, di lokasi itu, terdapat hutang mangrove yang berada di daerah Kapuk atau sekitar Pulau C dan D.
Kawasan itu masuk ke daerah N1 dan P1, yang salah satu fungsinya, mengurangi abrasi, erosi, dan juga bencana banjir. “Hutan lindung (adalah) hutan terbuka dan tidak untuk kawasan komersil,” ujar dia.
Hal ini sesuai Pasal 42 ayat (1) Perpres 54 Tahun 2008 yang menjelaskan bahwa pemanfaatan ruang P1 harus dapat melindungi zona N1 dari segala bentuk tekanan dan gangguan. Marthin menafsirkan kata “gangguan” itu juga merujuk ke aktivitas pembangunan.
Meskipun Pasal 34 ayat (2) Perpres itu menyatakan bahwa zona N1 juga berpeluang untuk direklamasi, Marthin berpendapat kawasan kategori itu tidak bisa diterjang pembangunan.
“Akan ada pelanggaran pidana jika terus mendorong pembangunan di Pulau C dan D untuk kawasan komersil. Pulau C dan D hanya untuk kawasan lindung dan penyangga kawasan lindung,” ujar dia.
Aktivis Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Matthew Michelle juga menambahkan pemerintah pusat terburu-buru menerbitkan sertifikat HPL Pulau C dan D. Akibatnya, dia melanjutkan, pemerintah tidak mempertimbangkan faktor dampak buruk bagi kesejahteraan nelayan, kerusakan ekosistem dan lingkungan hidup.
Dia mengatakan penerbitan sertifikat itu mengabaikan fakta bahwa kondisi lingkungan dan aktivitas ekonomi nelayan di Teluk Jakarta benar-benar terancam akibat proyek reklamasi.
“Ini menunjukan pemerintah sebenarnya tidak berpihak kepada masyarakat kecil, dalam hal ini kepada nelayan dan lingkungan,” kata dia.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Addi M Idhom