tirto.id - Pemerintah akan memantau peredaran telepon seluler atau ponsel di Indonesia terutama yang ilegal. Sebuah ponsel nantinya akan diwajibkan memiliki nomor identitas selayaknya STNK pada kendaraan atau International Mobile Equipment Identity (IMEI) yang harus terdaftar di database Kementerian Perindustrian (Kemenperin).
Nantinya seseorang harus menghubungkan kartu SIM-nya dengan IMEI ponsel yang ia beli melalui Mobile Subscriber Integrated Services Digital Network Number (MSISDN). Sebab, setiap slot kartu SIM memiliki identitas khusus yang dikeluarkan oleh Global System Mobile Association (GSMA).
Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Rudiantara menjelaskan IMEI ini akan membedakan nasib ponsel yang dibeli konsumen sampai hari ini dan seterusnya. Jika ponsel itu ternyata keluaran pasar gelap atau black market, maka IMEI-nya tidak teregistrasi dan tidak dapat digunakan.
Bahkan ponsel yang digunakan, tetapi IMEI-nya tidak terdaftar dapat diblokir pemerintah karena dianggap ilegal. Hal yang sama juga berlaku bila ponsel tersebut hilang atau dicuri dan pemiliknya meminta pemblokiran.
“STNK ponsel ada di Kemenperin. Itu harus pairing (dengan MSISDN). Nanti dia cek ini ponsel ada STNK-nya enggak di [Kementerian] Perindustrian? Kalau ada oke. Menghindari itu loh, black market,” ucap Rudiantara kepada wartawan saat ditemui di Gedung Kemenko Kemaritiman, Selasa (2/7/2019).
Tidak Bisa Beli HP di Luar Negeri
Rudiantara mengatakan ketentuan ini akan diatur melalui sebuah beleid dari tiga kementerian, yaitu Kemenperin, Kementerian Kominfo, dan Kementerian Perdagangan. Realisasinya ditargetkan pada Agustus 2019, tetapi penerapannya secara bertahap.
Sebab, kata Rudiantara, kartu SIM tidak akan bisa digunakan jika konsumen membeli ponsel dari luar negeri dan memakainya di Indonesia.
Kendati demikian, ia membuka kemungkinan adanya pengecualian bagi masyarakat yang sudah terlanjur memiliki ponsel agar tidak terganggu dengan aturan baru ini dan ponselnya masih dapat digunakan.
“Nantinya kita tidak bisa membawa, beli ponsel di luar negeri, kemudian suka-suka diaktifkan menggunakan simcard operator mana pun di Indonesia. Tentu pengecualian-pengecualian masih ada,” kata Rudiantara.
Potensi Pelanggaran Privasi
Ketua Lembaga Riset Keamanan Cyber dan Komunikasi (Cissrec), Pratama Pershada mengatakan penerapan IMEI ini memang memiliki manfaat seperti yang dikatakan pemerintah. Salah satunya, kata dia, konsumen yang kehilangan dapat melacak keberadaan ponsel sampai memblokirnya guna mencegah penyalahgunaan.
Pemerintah atau pihak berwenang, kata Pratama, memiliki hak untuk melacak seseorang yang melanggar hukum sesuai dengan regulasi yang ada. Misalnya pelacakan baru dapat dilakukan dengan surat perintah pencarian dan didasari adanya pelanggaran hukum.
Namun, kata Pratama, pemerintah juga harus bijak dan tidak sembarangan memberikan akses kepada pihak ketiga, termasuk pada operator yang dapat membacanya.
Sebab, kata Pratama, IMEI bisa saja dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab dan peretas. Seperti melacak maupun menyadap posisi serta pembicaraan pengguna sampai riwayat telepon meski ini membutuhkan perangkat dan akses yang khusus.
“Permasalahannya adalah ketika pelacakan atau penyadapan menggunakan IMEI ini dilakukan oleh orang yang tidak berwenang. Maka hal ini ada potensi pelanggaran privasi ketika IMEI jatuh ke tangan orang yang tidak bertanggung jawab,” ucap Pratama saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (3/7/2019).
Menurut Pratama, saat ini pemerintah punya pekerjaan rumah untuk segera mendorong agar UU Perlindungan Data Pribadi yang sedang digodok di DPR segera disahkan. Jika sudah ada regulasi dan UU yang mengatur, maka potensi pelanggaran privasi menggunakan IMEI yang dilakukan oleh pihak tidak berwenang dapat diminimalisir.
“Karena itu masyarakat harus diberikan penjelasan terlebih dahulu. Jangan sampai ada syak wasangka, penerapannya untuk ‘mengganggu’ privasi masyarakat. Apalagi aturan UU untuk melindungi data pribadi masyarakat sampai saat ini tidak ada,” ucap Pratama.
Koordinator Pengaduan dan Hukum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Sularsi menilai pemerintah memang masih memiliki sejumlah pekerjaan rumah sebelum bisa menerapkan beleid tersebut.
Apalagi, kata Sularsi, dari perkembangan yang ia ikuti, masih belum ada kejelasan mengenai tanggung jawab dan jaminan pada keamanan data IMEI yang diregistrasi yang dapat merujuk pada pengguna.
“Datanya jangan sampai bocor. Soal penyimpanan ini harus duduk bareng. Server-nya mau di mana. Siapa yang tanggung jawab keamanan datanya,” ucap Sulasri saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (3/7/2019).
Selain itu, Sularsi juga mengingatkan dari data Kemenperin ada yang sempat dipaparkan, jumlah ponsel yang beredar 50 persen lebih banyak yang didaftarkan. Alhasil ia mengkhawatirkan ada banyak ponsel yang ternyata tidak bisa teregistrasi dan akhirnya memicu protes dari masyarakat yang tak tahu-menahu.
Sebab, kata Sularsi, penetapan ilegal tidaknya suatu ponsel bergantung pada aturan pemerintah.
“Kemarin pembahasan belum tuntas. Kalau ada masalah nanti harus ada yang kasih penjelasan dan itu bukan operator (telepon) yang meregistrasi,” ucap Sularsi.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz