tirto.id - Salah satu pekerjaan berat anak lelaki adalah lepas dari bayang-bayang ayahnya. Apalagi jika sang ayah adalah orang tenar di bidangnya, dan si anak menapaki jejaknya. Kalau tidak percaya, sila tanyakan itu pada Gading Marten, anak lelaki Roy Marten, aktor populer era 1970 hingga 1990-an.
"Nggak mudah untuk jadi seorang anak Roy Marten untuk mencoba main film. Namanya terlalu besar. Selalu akan ada ‘ganteng-an bapaknya’, ‘keren-an bapaknya’,” kata Gading.
Malam itu, ketika menyampaikan pidato kemenangannya dalam kategori Pemeran Utama Pria Terbaik di Festival Film Indonesia 2018, Gading boleh sedikit bernapas lega. Dia berhasil lepas dari bayang-bayang bapaknya. Piala yang diraih lewat aktingnya di film "Love For Sale" ini membuktikan bahwa Gading adalah aktor yang bisa besar dengan namanya sendiri.
Kiprah Gading di dunia sinema bisa dibilang tak sebentar. Anak keempat pasangan Roy Marten dan Farida Sabtijastuti ini memulai kariernya pada 2004 ketika bermain sebagai peran pendukung di sinetron "Kisah Sedih di Hari Minggu" yang ditayangkan di stasiun televisi RCTI. Di sinetron tersebut, Ia dikisahkan sebagai anak orang kaya yang jatuh hati para Marshanda, gadis yang menumpang tinggal di rumahnya. Meski hanya sebagai pemeran pendukung, peran Gading cukup diperbincangkan.
Dari sana, Gading membintangi belasan judul sinetron dan FTV. Pada tahun 2008, Gading membintangi film layar lebar pertama berjudul "Love". Sampai saat ini ia membintangi sekitar 15 judul film. Bila dilihat dari kuantitas filmografi yang dimainkan Gading, maka wajar belaka kalau pria kelahiran 8 Mei 1982 ini "berat" jika harus dibandingkan dengan sang ayah.
Dalam wawancara dengan Beritagar, Roy berkata bahwa dalam pada era 70, dia bisa membintangi belasan film dalam setahun. Kala itu, media melahirkan julukan The Big Five, kelompok aktor dan aktris laris yang terdiri dari Roy Marten, Robby Sugara, Yenny Rachman, Yati Octavia, dan Doris Callebout.
Mereka adalah pemain film yang diperebutkan para sutradara. Dalam satu kali sesi penandatanganan kontrak, mereka bisa mendapat tiga sampai empat proyek film. Bukan itu saja, mereka juga dikenal sebagai bintang film yang berani memasang tarif tinggi. Honor Roy pada dekade 1970, berkisar Rp5 juta hingga Rp7,5 juta. Usai makin tenar berkat "Cintaku di Kampus Biru" (1976), honornya makin melambung: pernah mencapai angka Rp40 jutaan di era 1980.
Dalam "Cintaku di Kampus Biru", Roy memerankan Anton Rorimpandey, mahasiswa flamboyan, pemikat hati para wanita. Ia digambarkan sebagai sosok pria ideal: tampan, muda, berbadan tinggi dan proporsional, berpenampilan necis, berambut agak gondrong berombak, punya bola mata berwarna cokelat, percaya diri, dan penuh kata-kata manis.
Bila Roy mengawali perjalanan sebagai aktor utama lewat karakter alpha male, Gading punya kisah sebaliknya. Di "Love for Sale" ia memerankan Richard, pria 40 tahun yang kesepian dan bergaya kuno. Mudahnya begini, coba ingat penampilan Woody Allen pada 1970-an yang gemar mengenakan kemeja dan celana agak kebesaran. Bayangkan jenis busana tersebut digunakan oleh pria berperut buncit dan bertubuh sekal di tahun 2018.
Sang sutradara bahkan menunjukkan betapa tidak menariknya sang tokoh utama dengan cara yang lebih brutal. Ia membuat penonton wanita mampu berkomentar “iyuuuh” di awal adegan dengan memperlihatkan Richard yang menggaruk buah zakar di balik celana dalam putih yang lusuh dan bolong. Perut buncitnya tertutup singlet kebesaran yang sobek di beberapa bagian. Belum lagi aksi menggaruk bokong yang ia lakukan sambil menyapa tetangga.
Tokoh Richard digambarkan sebagai sosok yang jarang berinteraksi dengan orang banyak. Rutinitasnya diisi dengan menjalankan bisnis percetakan peninggalan orangtua yang berlokasi di Jakarta Pusat. Setiap hari ia hanya berinteraksi dengan empat pegawai toko dan seekor kura-kura piaraan. Sekalinya pergi bergaul dengan kawan-kawan, ia jadi bahan ledekan karena tak kunjung punya kekasih. Di mata kawan-kawan, harga dirinya diukur dari kemampuan untuk membawa pasangan ke acara pesta pernikahan teman.
Demi mempertahankan harga diri itu, ia melakukan hal yang lumrah dilakukan oleh kaum milenial kesepian: mencari pasangan lewat aplikasi kencan. Ketika teman kencan datang, kehidupannya berubah. Richard yang kaku dan tak ramah berubah jadi Richard yang luwes dan murah senyum. Katanya, cinta mengubah segalanya.
Di film ini tidak ada kejadian atau adegan yang luar biasa. "Love for Sale" adalah pertunjukan seorang pria kesepian, hal yang sangat wajar dialami penghuni kota besar di berbagai belahan dunia. Bagi Gading, memerankan hal yang biasa-biasa itu jadi tantangan cukup besar. Kepada Tempo, ia bercerita bahwa dirinya harus mendengarkan lagu-lagu melankolis dan depresif agar sanggup menjiwai peran. Gading mengaku tidak pernah kesepian karena setiap hari ia selalu dikelilingi kawan-kawan.
Nyatanya lagu-lagu depresif itu cukup membantu. Ia berhasil menghayati karakter Richard, pria kesepian yang betah dalam zona nyaman dan tak termotivasi melakukan hal baru. Gading bisa bikin penonton geregetan melihat kekikukannya dalam mengajak bicara lawan jenis. Lewat perubahan penampilan dan gestur dalam film, ia sanggup membuat orang menyadari permasalahan umum orang kota dan bagaimana cara menyelesaikannya.
Berkat akting primanya itu, para juri festival film memilih Gading sebagai pemenang. Ia dianggap berhasil membawa persepsi baru tentang tokoh protagonis pria dalam film. Bahwa pemeran utama pria tak harus sosok alpha male, seperti yang diperankan Roy empat dekade silam. Seorang pemeran utama di film Indonesia bisa saja seorang yang rapuh, kesepian, dan kikuk. Gading Marten berhasil menghantarkan itu semua dengan baik.
Selamat, Gading!
Editor: Nuran Wibisono