tirto.id - Sekuel yang lebih buruk dari film orisinalnya sangat lazim dijumpai. Di negeri yang produksi filmnya telah jadi industri, seperti Indonesia, membuat sekuel dari film-film laris sudah semacam teknik pemasaran mutlak yang susah ditolak. Sayangnya, gairah meraup laba biasanya tak selalu berbanding lurus dengan kecermatan naskah sekuel yang disiapkan.
Alhasil, penonton terpaksa mendapat pengalaman tak mengenakkan saat menonton film-film macamAyat-ayat Cinta 2, Bodyguard Ugal-Ugalan, atau sederet judul horor yang biasanya dibikin berjilid-jilid.
Namun, dalam Industri yang lebih maju, membuat sekuel juga tak lagi semata-mata tentang "melanjutkan kejayaan". Hollywood beberapa kali berusaha keras membuat sekuel-sekuel dengan lebih serius. Bahkan menciptakan satu semesta khusus yang berisi belasan hingga puluhan film yang dikerjakan lebih dari satu dekade, misalnya semesta superhero di Marvel. Tren ramai-ramai membuat sekuel ini bahkan bikin Hollywood era sekarang dianggap kering orisinalitas.
Tentu saja tak semuanya berhasil. Hollywood pun punya daftar panjang film-film sekuel gagal—mungkin tidak semuanya merugi secara pendapatan, tapi lebih sering tak membawa hal baru.The Incredibles 2, salah satunya.
Ralph Breaks the Internet bisa dibilang contoh yang sukses. Sekuel dari Wreck It Ralph yang keluar 2012 silam ini sebenarnya sama ditunggu-tunggunya seperti The Incredibles, yang dirayakan kritikus sebagai film animasi bagus—tak cuma buat anak-anak, tapi juga orang dewasa. Bedanya, Ralph lebih unggul dalam aspek suguhan hal-hal baru yang lebih memperkaya semesta cerita Ralph, yang kali ini betualang ke Internet.
Jika jarak 14 tahun antara The Incredibles dan sekuelnya tak berpengaruh apa-apa dalam naskah mereka, maka Ralph Breaks the Internet melakukan sebaliknya. Jarak enam tahun dengan film orisinal malah jadi bibit cerita mengapa sekuel ini layak dilanjutkan. Sahabat karib Ralph (John C. Reilly), Vanellope (Sarah Silverman) sedang dilanda kebosanan pada rutinitas mereka di Litwak’s Arcade. Ia sudah hapal di luar kepala semua rute balap di gim Sugar Rush dan butuh tantangan baru.
Ralph yang sangat posesif pada pertemanannya dengan Vanellope akhirnya membuatkan rute balap baru sebagai usaha menyenangkan si sahabat. Sayang, upaya itu justru membuat penduduk Sugar Rush harus jadi pengungsi dan mencari keluarga yang mau menampung mereka. Pasalnya, alat kemudi pada konsol Sugar Rush rusak dan Mr. Litwak tak mampu menggantinya.
Ralph tak tinggal diam. Singkat cerita, ia dan Vanellope pergi ke internet untuk mencari alat kemudi baru buat Sugar Rush. Petualangan mereka pun dimulai.
Internet digambarkan film ini sebagai kota canggih yang dirakit dari perusahaan-perusahaan teknologi raksasa, dan segala hal remeh-temeh yang membuatnya jadi padat, sesak, tapi tetap sukar ditinggalkan.
Ralph dan Vanellope jadi personifikasi dua jenis orang yang berkunjung ke internet. Ralph lebih hati-hati dan fokus pada apa yang dicari. Sementara Vanellope lebih gampang penasaran, terbuka pada petualangan baru, dan eksploratif.
Mereka bertemu macam-macam makhluk yang ditampilkan duo sutradara Rich Moore dan Phil Johnston sebagai kritik sekaligus satire pada budaya online di internet. Ada cerita tentang video-video konyol yang lebih cepat populer ketimbang narasi yang penuh konteks dan informatif. Mereka juga menyelipkan sindiran pada budaya troll di internet yang bisa membahayakan kondisi mental siapapun, termasuk pria bertubuh besar, berotot, dan maskulin seperti Ralph.
“Aku lupa bilang, aturan nomor satu di internet: jangan baca komen,” kata Yesss (Taraji P. Henson), seorang kepala algoritma di BuzzzTube (karikatur YouTube), pada Ralph yang murung setelah membaca kolom komentar untuk video-video lucunya yang tersebar di internet.
Pesan-pesan moral demikian sudah jadi barang lazim di semua animasi keluaran Disney, terutama yang dirilis selama satu dekade terakhir. Karakter-karakter kartun yang mereka bikin tak lagi cuma satu dimensi dan tak sekadar menghadirkan narasi "baik lawan buruk". Faktor inilah yang bikin animasi mereka lebih berbobot dan menarik untuk didiskusikan.
Namun, yang bikin film ini lebih spesial adalah keberanian naskahnya melibatkan banyak sekali referensi budaya populer yang untungnya bikin petualangan Ralph dan Vanellope jadi amat menggemaskan dan nostalgis untuk ditonton.
Di sekujur film, kita akan bertemu banyak sekali wajah-wajah familiar dalam budaya pop yang sebagian dituturkan lewat adegan dan kelakar-kelakar khusus. Salah satunya yang paling ramai diperbincangkan adalah kehadiran pada Princess.
Adegan itu sempat jadi teaser dan populer di internet. Menonton semua Princess berkumpul di satu film untuk pertama kalinya ternyata bikin banyak orang girang. Belum lagi narasi yang diselipkan Moore dan Johnston untuk adegan ini benar-benar bernas. Tak cuma memperolok budaya online di Internet, Ralph Breaks the Internet bahkan juga menertawakan Disney—perusahaan yang mengupah para pembuat film ini—lewat kehadiran para Princess.
Disney, yang selama ini dikritik terlalu misoginis karena menciptakan karakter-karakter Princess yang tidak berdaya, juga diolok-olok sendiri oleh para Princess, ketika Vanellope masuk ke ruangan mereka.
Film ini juga memotret orang-orang yang masuk ke internet dengan avatar seperti robot lego yang berkepala kotak dan nyaris selalu tersenyum. Kehadiran mereka pasif, tapi masif. Inilah sindiran paling tajam dari Moore dan Johnston. Tak diletakkan di panggung utama memang, tapi sukar dilewatkan.
Cerita utamanya sendiri juga punya pesan yang segar dengan solusi yang adil.
Vanellope yang menghadapi krisis hidup dan ingin keluar dari rutinitas akhirnya sulit membuat keputusan karena sikap Ralph yang amat posesif. Ralph sendiri masih menganut nilai-nilai persahabatan tradisional khas dunia pra-internet, di mana pertemanan cuma bisa berlangsung jika mereka terus bersama secara fisik.
Untungnya, ujung film punya solusi menarik buat konflik ini, yaitu kompromi. Ralph akhirnya bisa mengalahkan perasaan gamangnya sendiri, sementara Vanellope mau berkompromi agar persahabatan mereka tetap berlanjut meski terhalang jarak.
Lewat Ralph Breaks the Internet, nampaknya Disney ingin menyebarkan pesan tentang pentingnya jujur pada diri sendiri dan memberi ruang pada kawan untuk berkembang demi pertemanan yang lebih sehat.
Editor: Windu Jusuf