tirto.id - “Sudah nonton The Mummy?” Begitu pertanyaan Afdi Alfian, mahasiswa Filsafat UGM.
“Enggak. Pasti jelek," kata Awal, sang kawan menjawab.
Jawaban itu memang subjektif tapi bila ditelaah lagi ada benarnya. Cobalah lihat Internet Movie Database (IMDb), film ini hanya mengantongi skor 5,7/10. Website Rotten Tommatoes juga hanya memberi rata-rata skor 4,2/10. The Mummy (2017), film yang dibintangi aktor Tom Cruise sedang menampakkan wajah asli Hollywood kini.
Para pemodal di Los Angeles terlalu banyak membanjiri para penggemar film dengan karya-karya sekuel, prekuel, reboot, remake, spin-off, hingga cross-over. Ini sama saja minim ide-ide segar untuk sebuah tulang punggung cerita. Karakter-karakter baru yang unik serta awet dalam ingatan tak banyak yang dilahirkan.
The Mummy contoh dari sekian banyak film reboot ala Hollywood ini yang menjadi pijakan awal rumah produksi Universal Pictures dalam meluncurkan Dark Universe. Dark Universe sebuah bendera waralaba dengan logo tersendiri untuk setiap film, mirip-mirip Marvel Universe. Film-film reboot Dark Universe akan mencomot monster-monster yang pertama kali muncul di layar lebar pada era 1920-an atau 1930-an untuk dihadirkan lagi di era modern.
Baca Juga: The Mummy Jadi Pintu Masuk Menuju Dark Universe
The Mummy, muncul kali pertama pada 1932. Pakem ceritanya seputar pendeta masa lampau Mesir yang secara sengaja atau tidak dibangkitkan lagi, mengancam umat manusia, dan datang arkeolog yang menyelamatkan situasi dengan balutan heroik. Setelah itu hadir The Mummy's Hand (1940), The Mummy's Tomb (1942), The Mummy's Ghost,The Mummy's Curse (1944), dan Abbot and Costello Meet the Mummy (1955).
Pada 1999 muncul lagi remakeThe Mummy yang naskahnya ditulis dan disutradarai oleh Stephen Sommers. Ia mengaku terinspirasi dari film 1932. Dua film berikutnya membuat The Mummy menjadi trilogi dan dirilis dalam bentuk DVD. The Mummy Return muncul pada tahun 2001 dengan aktor utama yang sama, sedangkan The Mummy: Tomb of Emperor pada 2008 disutradarai oleh Rob Cohen dan dibintangi Jet Li.
Buntut dari popularitas trilogi The Mummy dan sebab pendapatan finansial yang didapatkannya cukup laris, maka dibuat pula spin-off-nya. The Mummy Returns Mathayus yang diperankan oleh The Rock dibikinkan sampai empat film dalam rentang 2002-2015.
Studio Dark Universe amat bersemangat dalam mengenalkan rencana pembuatan film-film ke depan. Saking semangatnya, studio tersebut merasa tak perlu untuk menunggu capaian popularitas maupun keuntungan finansial The Mummy terbaru. Baru-baru ini mereka telah resmi memperkenalkan film-film keluaran Dark Universe masa depan, lengkap dengan nama-nama besar yang akan menjadi aktor/aktris.
Film Bride of Frankenstein (2019) akan dibintangi oleh aktor Javier Bardem sebagai monster Frankenstein. Di film itu ia akan ditemani dengan Angelina Jolie. Sementara itu Johny Depp akan berperan sebagai Dr. Griffin di The Invisible. Sutradara The Mummy, Alex Kurtzman mengatakan sedang menyiapkan Dracula, Creature from the Black Lagoon,Phantom of the Opera, dan Hunchback of Notre Dame.
Film-film seperti 'The Mummy' maupun blockbuster dengan kualitas cerita seperti Transformer tetap laris di tingkat global. Pirates of the Caribbean: Dead Men Tell No Tales (2017)meraup $711 juta, Transformer: The Last Knight telah mengantongi $435 juta, sementara itu The Mummy memperoleh $350 juta.
Selain kategori reboot yang diwakili The Mummy dan sekuel yang diwakili Pirates of Caribbean dan Transformer, Hollywood juga punya ramuan lain yakni prekuel, remake, spin-off, hingga cross-over.
Kebalikan dari sekuel, prekuel adalah sebuah film yang menceritakan kejadian sebelumnya. Contohnya adalah trilogi The Hobbit sebagai prekuel untuk trilogi The Lord of The Rings, atau film Monster University sebagai prekuel dari Monster.
Sedangkan remake kadang disamakan dengan reboot, padahal keduanya mengandung perbedaan. Salah satunya, tidak mesti memakai nama yang sama. Contohnya film The Departed yang disutradarai Martin Scorsese adalah remake dari film Hong Kong berjudul Internal Affairs. Tujuannya demi keuntungan lebih. Kadang juga demi modernisasi teknologi film seperti pada remake film King Kong di 2005 untuk memperbaiki film yang sama yang diproduksi pada 1933.
Spin-off mengarah pada film yang fokus atas suatu kejadian atau karakter pendukung yang tanpa diduga menjadi ikon dari sebelumnya/yang jadi rujukan utama. Biasanya juga karena karakter itu punya pendukung fanatik sendiri yang cukup kuat. Contohnya trilogi The Scorpion King (dari The Mummy) atau film animasi Penguins of Madagascar. Sedangkan cross-over adalah film yang mempertemukan beberapa karakter yang sebelumnya sudah terkenal dan dimunculkan di film lain. Contohnya adalah Alien vs. Predator, The Avengers, Justice League, atau Freddy vs Jason.
Beberapa film itu akhirnya melahirkan pertanyaan besar soal orisinalitas film-film Hollywood yang makin miskin. Lalu bagaimana dampaknya terhadap para penonton khususnya di Amerika Serikat yang tentu sudah kenyang disuguhkan pertunjukkan yang itu-itu saja?
Generasi Muda Merespons
Derek Thompson, senior editor The Atlantic mengulas dalam tulisannya yang berjudul Hollywood Has a Huge Millennial Problem menceritakanseparuh pertama abad ke-20, masyarakat Amerika Serikat pergi ke bioskop seperti rajin pergi ke gereja, hampir setiap minggu. Namun hari ini, membeli tiket bioskop hanya seperti pergi ke dokter, sesuatu yang kebanyakan orang Amerika tak pernah lakukan atau hanya empat hingga lima kali setahun.
Pasar film berdasarkan cerita yang belum ada sebelumnya itu sangat amat tipis. Cerita-cerita baru ada di dunia hiburan, tapi konsumen, terutama konsumen baru, mencarinya di luar gedung bioskop, salah satunya lewat Netflix.
Baca Juga: Netflix di Indonesia
Netflix sukses menjaring banyak penonton setia lewat serial House of Cards sejak empat tahun lalu dan diikuti dengan kesuksesan serial lain seperti Orange is The New Black, Daredevil, Narcos, hingga Stranger Things. Ada yang menilai kanal seperti Netflix lah alternatif yang dicari generasi milenilal itu dan lambat laun akan membuat bioskop makin sepi. Benarkah demikian?
Ada kalangan yang tetap optimistis bahwa bioskop tetap menjadi pilihan generasi muda saat ini di AS. Berdasarkan riset Movioyang dipublikasikan Juni 2016, bahwa generasi milenial ternyata masih menyisihkan pengeluaran untuk menonton bioskop yakni rata-rata 6,2 judul film per tahun. Studi Annalect dan CivicScience tentang perilaku milenial atas konsumsi film di bioskop pada 2016 juga mengungkap 50 persen milenial mengatakan menonton bioskop bagian dari kegemaran mereka.
Baca Juga: Bioskop di Tangan Generasi Milenial
Para milenial dengan usia 20-35 tahun adalah kelompok umur terbesar yang berkunjung ke bioskop atau 38 persen pada 2014. Dari jumlah itu, sebanyak 70 persen merupakan penikmat film trailer. Mengapa setia ke bioskop? Salah satu alasan terbesarnya yakni menunggu film disiarkan di televisi kabel atau bisa diunduh dalam format yang bagus itu terlalu lama. Lainnya berkaitan untuk soal kenyamanan nonton hingga alasan untuk berkencan.
Setahun sebelum studi itu terbit atau pada 2015 pihak Motion Picture Association of America (MPAA) melaporkan datanya tentang penonton bioskop di wilayah Amerika Utara. Di bagian konsumen berdasarkan usia, penonton usia 18-24 dan 25-39 merupakan penonton terbanyak. Namun, dibanding kelompok usia lain, dua kelompok inilah yang jumlahnya mengalami penurunan tercepat terutama sejak 2012.
Laporan ini menunjukkan loyalitas dan fanatisme penonton muda AS makin berkurang setiap tahunnya, dan yang dikhawatirkan oleh Hollywood adalah kecenderungan ini akan diteruskan hingga tahun-tahun ke depan. Penonton usia 18-24 tahun, misalnya, adalah kelompok yang kini meninggalkan bioskop dengan kecepatan tertinggi.
Apa yang anak-anak muda tonton bila tak ke bioskop? Menurut Derek Thompson, bukan televisi berbayar, bukan juga buku atau koran. Menurut Derek, mereka sibuk memberikan perhatiannya pada ponsel pintar dan berbagai aplikasi canggih. Konsumsi media sosial di kalangan anak muda AS saat waktu senggang semakin tinggi, cukup untuk mengalihkan perhatian mereka ke bioskop.
Hollywood sedang benar-benar menyerahkan harga dirinya untuk jatuh hingga ke level terbawah sekali pun demi tetap berdiri tegak sebagai industri hiburan. Narasi sekuel Transformer kian dipaksakan, atau meski penonton sudah sangat amat bosan dengan sekuel Fast and Furious. Hollywood tetap berusaha mencari celah agar industri film tetap jalan.
Namun, beberapa orang yang ingin mencari alternatif terbaiknya bisa mengalihkan fokus ke sejumlah studio film menengah hingga yang kecil. Meski independen, studio seperti A24 telah mendapat banyak apresiasi sebab mampu memproduksi film hal berbeda, dan tentu saja, bukan hasil sekuel berjilid-jilid yang dipaksakan.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Suhendra