Menuju konten utama

Nasib Bioskop di Tangan Generasi Milenial

Survei-survei menunjukkan kemauan generasi milenial untuk menonton film-film di bioskop masih tetap ada. Ini menjawab kegamangan pengelola bioskop dari makin berkembangnya layanan streaming seperti Netflix.

Nasib Bioskop di Tangan Generasi Milenial
Ilustrasi penonton film di bioskop. FOTO/Istock

tirto.id - Pengertian menonton film (terbaru) paling lazim adalah merogoh kocek untuk bergelap-gelapan di dinginnya ruangan bioskop. Namun perkembangan teknologi turut mengubah gaya menonton film di tiap generasi. Alternatifnya merentang dari membeli VCD/DVD bajakan hingga kini bisa streaming Netflix berbekal koneksi internet. Opsi terakhir ini jadi pilihan paling up to date bagi generasi milenial, namun sekaligus ditasbihkan sebagai potensi bencana bagi pebisnis bioskop dalam maupun luar negeri.

Di Amerika Serikat, misalnya, kekhawatiran ini sempat menyeruak saat Netflix sukses menjaring banyak penonton setia lewat serial House of Cards sejak 4 tahun lalu dan diikuti dengan kesuksesan serial lain seperti Orange is The New Black, Daredevil, Narcos, hingga Stranger Things. Meskti tetap berpotensi besar untuk menjadi raksasa bisnis selanjutnya. Namun anak-anak muda masih banyak yang menghabiskan waktu senggangnya ke bioskop, terutama di akhir pekan.

Generasi milenial memiliki perilaku khas saat menonton film ke bioskop. Menurut riset Movio yang dipublikasikan Juni tahun lalu, generasi milenial ternyata masih menyisihkan pengeluaran untuk menonton bioskop, rata-rata mereka masih menonton 6,2 judul film per tahun. Ini tentu mematahkan anggapan bahwa milenial memiliki ketergantungan yang kuat untuk menonton film hanya secara streaming daripada di bioskop. Riset ini juga mencatat 31 persen populasi penonton setia di bioskop adalah para milenial, dari jumlah itu 17 persen adalah perempuan dan sisanya laki-laki.

National CineMedia (NCM), perusahaan periklanan bioskop di AS pada Mei 2016 lalu juga menaruh harapan besar pada generasi milenial sebagai konsumen. CEO NCM Andy England mengungkapkan bahwa pada 2015 terjual sebanyak 358 juta tiket bioskop dari konsumen milenial. Jumlah ini sedikit melampaui total populasi AS.

Studi lain dari Annalect dan CivicScience tentang perilaku milenial atas konsumsi film di bioskop pada 2016 juga mengungkap 50 persen milenial mengatakan menonton bioskop bagian dari kegemaran mereka. Apresiasi mereka lebih kuat dan tak malu-malu untuk menunjukkan film, genre kesayangan, maupun pengalaman mereka ke media sosial seperti Facebook dan YouTube.

Dukungan generasi milenial kepada industri film secara tak langsung tercermin dari semangat mereka yang 46 persen rutin ke bioskop untuk melihat penayangan perdana di akhir pekan. Sebanyak 86 persen datang lebih awal di bioskop demi tak ketinggalan film. Milenial membeli tiket sebelum hari H pemutaran film dengan persentase mencapai 40 persen, dimana sisanya dibeli di hari pemutaran baik online maupun offline mencapai 28 persen atau langsung ke bioskop sebelum film diputar sebanyak 31 persen.

Infografik Sikap Milenial Atas Film

Di era melimpahnya alternatif untuk menonton film sebagai dampak dari majunya teknologi internet yang makin mudah, mengapa generasi milenial masih mau ke bioskop?

Riset Annalect menyebutkan alasan sederhana: menunggu film disiarkan di televisi kabel atau bisa diunduh dalam format yang bagus itu terlalu lama. Mereka tak jauh berbeda dengan generasi penganut semangat budaya populer lain yang selalu mengutamakan kecepatan mengonsumsi hal-hal yang baru, termasuk film. Untuk soal ini, bioskop masih menang terutama dalam segi pengalaman menonton.

Alasan-alasan yang lain adalah menonton film di bioskop bisa menjadi alternatif yang cocok untuk pergi di malam hari atau untuk berkencan. Alasan lain, yang berkaitan erat dengan ketergantungan tinggi para milenial pada gawai dan media sosial, adalah untuk meloloskan diri dari dunia nyata. Motivasi lainnya untuk berkomunikasi dengan teman sebaya dan memiliki pengetahuan yang memadai untuk diskusi film usai menonton film.

Para milenial dengan usia 20-35 tahun adalah kelompok umur terbesar yang berkunjung ke bioskop atau 38 persen pada 2014. Dari jumlah itu, sebanyak 70 persen merupakan penikmat film trailer. Selain itu, dari 60 persen milenial rajin merekomendasikan film yang telah mereka tonton ke teman-teman atau anggota keluarga mereka. Preview dari sebuah film juga menjadi penentu keputusan apakah mereka akan menonton sebuah film atau tidak.

Riset ini juga mengungkapkan dampak film bagi milenial, sebanyak 38 persen di antara milenial menganggap bahwa pandangan sosial, politik, dan lingkungan mereka berubah setelah menonton sebuah film. Ini barangkali yang juga mendorong mereka tetap menonton film. Milenial, terutama di AS, akan tetap menjadi pangsa penonton yang potensial. Cliff Marks, Presiden NCM mengatakan penonton bioskop milenial tumbuh sebesar 16 persen pada 2015 dan pada pertengahan 2016 sudah mencapai 8 persen.

Bagaimana cara pemilik bioskop untuk tetap bisa menarik generasi milenial ke bioskop di tengah bisnis streaming seperti Netflix yang sedang tumbuh? Jawabannya, menambah fasilitas di bioskop yang sesuai dengan kebutuhan generasi milenial sudah pasti.

AMC Entertainment, yang digadang-gadang akan menjadi operator bioskop terbesar di dunia usai bergabung dengan Carmike Cinemas akhir tahun lalu, mencoba menerapkan strategi tersebut dengan meluncurkan pengalaman bagi penonton milenial untuk tetap bisa bermain ponsel pintar sembari menonton di bioskop—hal yang selama ini dilarang oleh bioskop kebanyakan.

CEO AMC Entertainment Adam Aron bahkan memiliki ide yang lebih jauh lagi, yakni memperbolehkan generasi milenial untuk tetap memainkan gawainya selama film diputar. Aron percaya bahwa AMC perlu untuk mengubah produknya dalam bentuk dimana generasi milenial merasakan kegembiraan yang sama sebagaimana yang dirasakan generasi baby boomer dulu pergi ke bioskop. Namun ide ini juga melahirkan tantangan tersendiri, yakni bagaimana agar penonton lain tak terganggu. Apakah dengan menyediakan ruang tersendiri yang dipisah dari penonton yang tak akan bermain ponselnya?

“Itu satu kemungkinan. Yang paling mungkin adalah dengan menyediakan auditorium khusus bagi penonton milenial yang tetap ingin bermain ponsel saat menonton,” jawab Aron.

“Saat kau memberi tahu seorang penonton muda berusia 22 tahun untuk mematikan ponselnya, itu bagaikan bilang 'tolong potong lengan bawah siku sebelah kirimu'. Kau tak mungkin menyuruh penonton muda usia 22 tahun untuk mematikan ponselnya. Itu bukan cara mereka menjalani hidup,” kata Aron kepada The Variety.

Para pengelola bioskop sangat sadar para milenial merupakan urat nadi bisnis mereka, termasuk di AS. Ini membuktikan perputaran film bisnis bioskop ada di tangan generasi milenial.

Baca juga artikel terkait INDUSTRI FILM atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Film
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Suhendra