tirto.id - Adegan pertama dibuka dengan pertunjukan sensual Lola (Madeline Brewer) yang cuma pakai mini varsity-jacket sebagai atasan pakaiannya. Tanpa dikancing dan tak mengenakan selembar pakaian dalam pun. Ia bicara sendiri pada sebuah LED raksasa di depannya, bak penyanyi di atas panggung berinteraksi dengan penggemar yang menghadiri konser.
Hanya saja, cara bicara Lola amat sensual. Ia juga tak sedang berada di panggung yang ramai, melainkan sebuah kamar remang-remang yang cuma berisi dirinya sendiri.
Para penonton Lola hadir secara maya di layar LED di hadapannya. Mereka melemparkan token, lalu meminta Lola melakukan apa saja, yang pasti akan dituruti. Kebanyakan adalah permintaan yang membangkitkan berahi para penonton. Makin besar jumlah tokennya, permintaan dari penonton biasanya makin mesum, kalau tidak liar.
Sampai ada yang minta Lola memasukan pisau ke kemaluannya.
Muka Lola mulai panik, tapi si tamu bersikeras. Token yang disumbangkannya makin banyak. Penonton lain mulai tersulut. Mereka menyokong gagasan Lola "menggunakan pisau".
“Ini yang kalian mau?” kata Lola, sambil memegang sebilah pisau.
Alih-alih mengarahkannya ke kemaluan, Lola mengiris tenggorokannya sendiri. Darah mengucur. Ia tertunduk layu. Dua detik hening, suasana mencekam. Sampai lontaran komentar berjibun memenuhi kotak siaran langsung Lola.
Enam menit pembuka Cam, film debut Daniel Goldhaber yang dibeli Netflix dan baru tayang minggu lalu, memang mencekam. Madeline Brewer yang memerankan Lola berhasil memandu kita ke sebuah situasi horor yang jauh dari gaya konvensional. Tentang seorang cam girl yang berusaha masuk jajaran 10 besar Free Girls Live agar hidup mapan dan punya alasan kuat untuk terbuka kepada sang ibu tentang pekerjaannya.
Alice, nama asli Lola, tampak seperti gadis biasa-biasa saja di dunia nyata. Identitasnya sebagai cam girl cuma diketahui sang adik, Jordan (Devin Druit). Ia pintar menyembunyikan persona onlinenya di kehidupan nyata, sebagaimana cerkas mengatur uang yang ia peroleh dari pekerjaan yang memang tak populer. Konflik memang bukan datang dari sana, karena keluarga Alice cukup suportif.
Masalah utama yang disajikan film ini justru datang dalam bau gaib: sekonyong-konyong, Lola—karakter persona yang diciptakan Alice di dunia maya—tiba-tiba ‘hidup’ dan mengambil alih akunnya di Free Girls Live. Lola asli panik. Bukan cuma duitnya yang hilang, Alice juga tak terima karena Lola palsu tampil lebih baik sebagai Lola daripada dirinya sendiri.
Lewat plot detektif ala-ala Searching, yang beberapa kali digarap dengan sinematografi ala Kubrick, Alice mencari tahu siapa sebenarnya Lola yang mencuri akunnya.
Isa Mazzei, sang penulis naskah terinspirasi dari kisah hidupnya yang pernah bekerja sebagai cam girl. Jadi tak heran kalau Cam hadir dengan cerita yang kuat. Chemistry Mazzei dan Goldbaher tak hadir tiba-tiba, mereka kenal sejak sekolah menengah, dan pernah terlibat proyek pornografi bersama. Belum lagi kualitas lakon yang disajikan Brewer. Durasi Cam yang sampai 1,5 jam sama sekali tak membosankan.
Trio Goldbaher, Mazzei, dan Brewer ini bukan cuma mengeksplorasi kisah cam girl dengan dalam, tapi menyuguhkan thriller yang seru. Pilihan-pilihan karakternya nyaris tak terduga, dan tidak mudah tertebak. Namun, semuanya tetap masuk akal dan tidak membuat mereka tampil dangkal.
Karakter Lynne, ibu Alice, misalnya. Ia sama sekali tidak menghakimi, dan cenderung selow ketika pekerjaan sang putri ketahuan dengan cara memalukan. Alice tetap bisa pulang ke rumah, dan berdialog dengan Lynne dengan setara, tanpa kehilangan sifat otoritatifnya sebagai matriark.
Naskah Mazzei juga membuat profesi Alice tampil seperti bisnis yang terstruktur. Orang awam bisa paham motivasi Alice—yang memang business oriented—dengan mudah. Naskah itu juga punya belokan-belokan plot yang semua efek kejutnya berhasil.
Cam hadir bukan untuk bikin Anda takut menjelajahi belantara internet—karena persona-persona online bisa jadi pribadi yang lebih liar dan menyenangkan daripada dirimu di dunia nyata. Ia cuma ingin mengingatkan kita: bagaimana bila personamu di sana lebih menarik? Sampai Anda yang asli tak ada artinya sama sekali.
Editor: Maulida Sri Handayani