tirto.id - Dugaan korupsi dalam penyelenggaraan ibadah haji kembali muncul setelah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan pemborosan anggaran sebesar Rp70,71 miliar. Pemborosan anggaran ini dari pembelian vaksin meningitis meningokokus untuk calon jemaah Haji yang dilakukan Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
Dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II BPK, pemborosan itu diduga terjadi karena Kemenkes diduga kelebihan membayar Rp70,71 miliar dari harga pasar vaksin.
Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran Indonesian Corruption Watch (ICW) Firdaus Ilyas mengatakan temuan soal pemborosan ini bukanlah hal baru. Argumen ini berdasar karena sudah berulang kali meneliti potensi korupsi dalam penyelenggaraan ibadah haji.
“Salah satu sektor yang rawan dikorupsi memang sektor pelayanan haji memang. Itu ada di Kemenag dan Kemenkes,” kata Firdaus kepada Tirto, Rabu (4/4/2018).
Firdaus menjelaskan, pola dugaan korupsi yang lazim terjadi sama seperti dugaan penyimpangan ibadah haji secara umum. Pola yang ia maksud adalah cara yang biasa dilakukan yakni dengan mark-up.
Selain mark-up, pola yang ia temukan dari hasil telaah yang dilakukan antara lain: jumlah obat yang dibeli tidak seperti saat dianggarkan dan obat yang dibeli relatif hampir kedaluwarsa tapi dibayar dengan harga normal.
“Artinya ada indikasi untuk mempermainkan,” kata Firdaus.
Dugaan yang Selalu Muncul Saban Tahun
Indikasi semacam ini kerap terjadi saban tahun dan selalu muncul dalam audit BPK. Anehnya, dua kementerian terkait tak lantas memperbaiki kesalahan ini meskipun mendapat pengawasan dari KPK, Ombudsman, dan Komisi VIII DPR.
Firdaus menduga, pengawasan yang dilakukan Komisi VIII selaku mitra kerja Kementerian Agama, yang menjadi kementerian penanggung jawab pelaksanaan ibadah haji tak berjalan maksimal.
Ia menyitir kasus korupsi haji yang terjadi pada 2012-2013 dan melibatkan mantan Menteri Agama Suryadharma Ali. Dalam kasus itu terungkap keterlibatan sejumlah anggota DPR lantaran Surya diduga memberikan kuota jemaah haji terhadap berbagai anggota DPR.
“Itu memang bisa saja dilakukan,” kata Firdaus. “Pengawasannya memang tidak optimal. Pengawasan di Komisi VIII hanya sekadar formalitas.”
Dalam konteks dugaan korupsi pembelian vaksin ini, Firdaus menegaskan, perilaku koruptif bisa saja dilakukan Kemenkes ataupun Kemenag. Ia pun berharap KPK bisa menyelidiki dugaan korupsi ini apabila sudah ada indikasi kerugian uang negara.
“Dia kan membeli dengan uang negara. Jika sudah ada data yang ditemukan oleh BPK, KPK memang seharusnya mengadakan penyelidikan lebih lanjut,” kata Firdaus.
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan berdasarkan Pasal 36 Undang-undang BPK Nomor 15 Tahun 2006 (PDF) mengisyaratkan temuan hasil pemeriksaan yang mengandung muatan pidana seharusnya dilaporkan pada instansi berwenang untuk ditindak lanjut. Sejauh ini, BPK baru diketahui melapor pada Kemenkes, tetapi belum melapor dugaan pidana pada KPK.
“Saya harus cek lebih dulu soal ini,” kata Saut saat dikonfirmasi.
Saut menegaskan, penyelidikan akan dirahasiakan bila benar-benar sudah dilakukan. Ia menyatakan sampai sekarang tim penelitian dan pengembangan KPK masih terus melakukan pendampingan dan pengkajian dalam penyelenggaraan ibadah haji.
“Kalau penyelidikan, kalaupun ada saya tidak boleh bicara, apalagi kalau tidak ada,” tegasnya.
Kemenkes Tidak Bertanggung Jawab
Terkait temuan BPK soal selisih harga ini, Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Untung Suseno Sutarjo menolak pihaknya disebut melakukan dugaan mark-up. Untung bercerita, vaksin dibeli melalui katalog elektronik yang diatur oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Mekanisme dalam katalog elektronik itu, maka menurut Untung, tidak memungkinkan ada mark-up.
“Kalau memang ada perubahan harga, dipastikan dari vendor dan LKPP,” katanya.
Vaksin pertama yang dibeli berasal dari luar negeri. Namun, memang harga yang harus dibayar terlalu mahal. Kemenkes pun akhirnya membeli vaksin dari PT Bio Farma, yang merupakan produsen vaksin dalam negeri.
“Kami memang udah pernah beli di luar [negeri], tapi lebih mahal,” katanya. Untung tak menjelaskan berapa duit yang Kemenkes bayarkan ke perusahaan luar dan Bio Farma dalam pembelian itu.
Soal selisih harga, Untung menduga PT Bio Farma sempat mengambil keuntungan lebih besar, lantaran sebelumnya tidak ada perusahaan farmasi dalam negeri yang mampu membuat 1,2 juta vaksin yang dibutuhkan Kemenkes.
PT Bio Farma lantas menurunkan harga karena mulai banyak perusahaan farmasi yang juga membuat vaksin serupa. Saat itulah, BPK menemukan adanya pemborosan dalam pembelian vaksin untuk kegiatan haji.
“Sekarang ada teguran dari BPK, kami sudah tanyakan juga untuk menurunkan harganya,” ucap Untung.
Untung berani menjamin tidak ada kerugian negara dari pembelian vaksin. Ia menegaskan Kemenkes tidak bertanggung jawab dan tidak mau disalahkan atas pemborosan harga vaksin karena kementeriannya hanya bertugas membeli.
“Sesuai rekomendasi BPK, pejabat pengelola keuangan sudah ditegur dan Bio Farma harus menjelaskan penurunan harga pada BPK. Tidak ada kerugian negara. Pengaturan harga itu dari vendor dan kami membeli dari katalog LKPP, mereka menentukan harganya,” tegasnya lagi.
Penulis: Mufti Sholih
Editor: Mufti Sholih