Menuju konten utama

Pembentukan Densus Tipikor di Mata Mantan Komisioner KPK

Abraham Samad justru mendorong agar Polri memperkuat kerja sama dengan KPK dan Kejaksaan lewat program supervisi KPK daripada membentuk unit khusus baru.

Pembentukan Densus Tipikor di Mata Mantan Komisioner KPK
Kapolri Jenderal Tito Karnavian bertemu dengan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo dan pimpinan KPK lainnya di Gedung Utama Mabes Polri, Jakarta. tirto.id/Andrey Gromico.

tirto.id - Sejumlah mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ikut bersuara terkait polemik pembentukan Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi (Densus Tipikor) yang diusulkan Polri. Hal ini tidak lepas dari pro dan kontra yang muncul setelah Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan ketidaksetujuannya terkait unit khusus antikorupsi itu.

Ketua KPK periode 2011-2015, Abraham Samad menyatakan, sebaiknya Polri mengoptimalkan satuan Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Dirtipikor) Bareskrim Mabes Polri, serta satuan tindak pidana korupsi di daerah dalam rangka pemberantasan korupsi.

“Jadi mubazir menurut saya, karena polisi sudah punya itu [Direktorat Tindak Pidana Korupsi). Jadi hemat saya harusnya direktorat Tindak Pidana Korupsi yang dioptimalkan,” kata Samad saat dihubungi Tirto, Kamis (19/10/2017).

Abraham Samad menilai, optimalisasi pun bisa beragam bentuk. Misalnya, penguatan karakter dan profesionalisme penyidik Dirtipikor Bareskrim bisa menjadi bentuk optimalisasi ideal daripada membangun satuan baru atau merombak satuan yang ada.

Menurut Samad, optimalisasi pun tidak melulu dengan jumlah anggaran yang besar dan personel yang banyak. Menurut Samad, integritas dan profesionalisme penyidik jauh lebih penting daripada besarnya anggaran dan banyaknya personel.

“Profesional dan integritas itu dua modal yang utama. Jadi bukan soal besarnya anggaran dan soal besaran personel, karena kalau kita lihat KPK kan juga personelnya tidak terlalu besar tapi dia bisa maksimal dalam memberantas korupsi,” kata Samad.

Dalam hal ini, Samad justru lebih mendorong agar Polri memperkuat kerja sama dengan KPK dan Kejaksaan Agung lewat program supervisi KPK. Menurut Samad, penindakan dan pencegahan korupsi secara terpisah-pisah, baik antara KPK, Polri, dan Kejaksaan justru membuat gerakan pemberantasan korupsi di Indonesia tidak berjalan dengan baik.

Menurut Samad, koordinasi dan supervisi perkara korupsi di masa lalu hingga saat ini sudah cukup baik dalam pemberantasan korupsi. Untuk memberantas korupsi, Samad lebih setuju agar koordinasi diperkuat daripada membentuk satuan baru, seperti Densus Tipikor.

“Intinya walau tidak ada Densus Antikorupsi, kalau sinergi antara Kepolisian, KPK dan Kejaksaan itu bagus, pola koordinasi, pola sinerginya bagus, maka agenda pemberantasan korupsi itu bisa dipercepat, bisa dilaju dengan lebih cepat lagi,” kata Samad.

Baca juga:

Berbeda dengan Abraham Samad. Mantan Pimpinan KPK Indrianto Seno Adji justru tidak mempermasalahkan kehadiran Densus Tipikor yang digagas Polri. Indrianto beralasan, Densus Tipikor justru bisa membantu pemberantasan korupsi bersama dengan KPK.

“Kalau memang memenuhi persyaratan finansial APBN, keberadaan Densus ini kan dapat memperkuat kinerja lembaga penegak hukum yang sudah ada, jadi seperti Joint Combat for Corruption. Jadi ada kolaborasi institusi penegak hukum yang terintegrasi,” kata Indrianto saat dihubungi Tirto, Kamis (19/10/2017).

Meskipun mendukung, Indrianto mengatakan, pembentukan Densus Tipikor ini tetap ada catatan. Salah satunya, kata Indrianto, harus ada skala prioritas apabila Densus Tipikor ingin berkerja dengan baik, entah di daerah maupun di pusat.

Selain itu, Densus Tipikor juga harus bisa memahami tipologi korupsi yang dinamis. Misalnya, terhadap korupsi dari kejahatan korporasi yang sarana hukumnya telah disediakan oleh Mahkamah Agung (MA) melalui Perma Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi.

Baca juga:Dalih Polri Bikin Densus Antikorupsi demi Menambah Anggaran?

Indrianto menegaskan, personel yang berintegritas, kapabel, berpengalaman, serta berkemampuan baik menjadi hal penting dalam pemberantasan korupsi. Namun, kemampuan personel ini juga harus dibarengi dengan dana yang memadai.

“Anggaran dan personil yang memadai setidaknya dapat menjamin penanganan kasus-kasus korupsi lebih dapat dipertanggungjawabkan secara profesional kepada publik," kata Indrianto.

Indrianto tidak sepakat jika pembentukan Densus Tipikor akan bertabrakan dengan KPK di masa depan. Ia justru menilai bahwa keduanya bisa bekerja sama dengan baik sesuai dengan regulasi dan kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing lembaga dalam menangani persoalan korupsi.

“Kita tidak perlu ada kekhawatiran overlapping wewenang, bahkan yang terprediksi adalah kolaborasi yang terintegrasi antara Densus, KPK dan Kejaksaan,” kata dia.

Baca juga: Banggar DPR Diminta Tahan Anggaran Densus Tipikor Polri

Sementara itu, Direktur Eksekutif Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mendukung pembentukan Densus Tipikor yang diusulkan Polri ini. Akan tetapi, pembentukan unit khusus antikorupsi itu harus murni dengan semangat memberantas korupsi.

“Kami melihat awalnya ini niat baik, tapi kemudian ditunggangi oleh DPR yang memang sejak melihat pansus angket KPK kan tendensinya sangat jelas mau mengurangi wewenang KPK atau bahkan ujung-ujungnya menghapuskan KPK. Dan jangan sampai polisi kemudian dengan Densus-nya ini terseret dengan permainan DPR untuk ikut mendelegitimasi atau menggantikan KPK,” kata Asfinawati saat ditemui di kantor KontraS, Jakarta, Kamis.

Asfin mengingatkan, sejarah pembentukan KPK karena Polri dan Kejaksaan Agung tidak bisa menjalankan proses penegakan hukum dengan baik. Sebagai contoh, Polri tidak bisa menyelesaikan perkara penyiksaan karena berkas perkara tidak disidik. Selain itu, kendala integritas juga menjadi masalah serius, sehingga KPK perlu dibentuk.

“Penegak hukum itu tidak bisa menjalankan fungsi itu khususnya untuk dirinya sendiri, karena itu lah KPK dibuat salah satu mandatnya untuk membersihkan aparat penegak hukum, polisi, kejaksaan, hakim,” kata Asfin.

Menurut Asfin, apabila memang Polri ingin membentuk Densus Tipikor, seharusnya mereka ikut mengikuti program supervisi korupsi yang dilakukan KPK. Satuan ini harus tunduk sesuai amanah undang-undang yang memberi wewenang kepada KPK untuk melakukan supervisi perkara korupsi. Hal ini juga berlaku untuk Kejaksaan Agung.

“Saya pikir yang penting itu pegangannya apakah dalam kerjanya Densus ini akan bekerja sama dengan KPK atau tidak, karena mandat UU KPK melakukan supervisi terhadap penyidikan yang dilakukan penegak hukum lainnya,” kata Asfin.

Baca juga artikel terkait DENSUS TIPIKOR atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz