Menuju konten utama

Deretan Masalah Pembentukan Densus Tipikor

Wacana pembentukan Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi (Densus Tipikor) Polri rawan politisasi karena konteksnya berbeda dengan pembentukan KPK.

Deretan Masalah Pembentukan Densus Tipikor
Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian dan Ketua KPK Agus Rahardjo saat konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta. tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Wacana pembentukan Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi (Densus Tipikor) Polri rawan politisasi dan mengancam eksistensi mereka sendiri sebagai lembaga penegak hukum yang independen.

Menurut Pakar Hukum Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar, Densus ini rawan politisasi karena gagasan dan latar belakang pendirian yang berbeda dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Densus berasal dari gagasan segelintir wakil rakyat setelah bergulirnya Pansus Hak Angket KPK. Sementara KPK, di satu sisi, berasal dari keinginan masyarakat yang ingin melihat Indonesia bebas dari korupsi.

"Lembaga kepolisian akan menjadi korban politisasi," kata Fickar kepada Tirto, Kamis (19/10/2017).

Dengan alasan yang sama, Fickar mengapresiasi Kejaksaan Agung yang menolak Densus Tipikor. "Ini juga bisa dimaknai agar tidak terjebak pada proses politisasi pemberantasan korupsi," kata Fickar. "Selain untuk menghindari pelanggaran hukum yang mungkin terjadi," tambahnya.

Selain persoalan politis, Fickar juga melihat bahwa pembentukan Densus ini bermasalah secara kelembagaan. Kewenangan Densus ini, katanya, berpotensi tumpang tindih dengan lembaga yang sudah ada. Belum lagi alokasi dana Rp 2,6 triliun yang dinilai merupakan pemborosan.

Baca juga: Densus Tipikor Polri Dinilai Sejalan dengan Nawacita Jokowi-JK

Ditinjau dari perspektif hukum pun bermasalah. Fickar menilai yang semestinya mempunyai tim khusus untuk mengusut tindak pidana korupsi adalah Kejaksaan Agung, dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Sementara fungsi lain, kata Fickar, hanyalah pelengkap. HIR (Herziene Indonesich Reglement) sebagai hukum acara pidana sebelum KUHAP, menurutnya, justru menempatkan fungsi pemeriksaan pendahuluan (penyidikan atau penyelidikan) sebagai pembantu fungsi penuntutan.

"Berdasarkan UU 16/2004, Kejaksaan Agung punya kewenangan untuk menyidik dan sekaligus menuntut perkara-perkara tindak pidana khusus termasuk tindak pidana korupsi," kata Fickar.

Kalaupun Densus Tipikor tetap ingin dibentuk, maka perlu ada penyesuaian Undang-Undang terlebih dulu. Tanpa itu, Densus tidak akan mampu bekerja maksimal. Pernyataan Kejaksaan Agung yang menolak bergabung semakin menguatkan dugaan bahwa lembaga ini bisa layu sebelum waktunya. Sebab tanpa ada Kejaksaan Agung, maka kerja Densus hanya serupa badan kepolisian biasa yang masih bergantung pada Jaksa Penuntut Umum untuk penuntutan.

Kendala hukum lainnya adalah adanya PP No. 12 Tahun 2017 tentang Pengawasan dan Pembinaan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah juncto Inpres No.3 dan No. 1 Tahun 2016 tentang Percepatan Proyek Strategis Nasional. Aturan ini memerintahkan Jaksa Agung dan Kapolri untuk lebih mendahulukan proses administrasi terhadap proyek yang ditengarai menyebabkan kerugian negara.

Proses administratif tersebut pada akhirnya memungkinkan oknum pelaksana proyek yang menyebabkan kerugian negara itu mengembalikan kerugian tanpa melalui tuntutan pidana korupsi.

"PP dan Inpres ini sedikit banyak akan menghambat tugas dan fungsi Densus Tipikor. Artinya hal-hal seperti ini akan mengintervensi independensi Densus sebagai penegak hukum," kata Fickar.

Baca juga: Komisi III Desak Polri Tetap Realisasikan Densus Tipikor

Argumen Fickar sepenuhnya bertolak belakang dengan yang diungkapkan Ketua Komisi III DPR RI Bambang Soesatyo. Menurutnya, pembentukan Densus Tipikor harus didukung sepenuhnya. Dia malah tidak memedulikan pihak-pihak yang punya posisi berseberangan.

"Biarkan anjing menggonggong, khafilah terus berlalu," kata Bambang kepada Tirto.

Politikus Golkar ini menyebut pembentukan Densus Tipikor tidak untuk menggantikan KPK, sebagaimana yang dikhawatirkan banyak orang. Sebaliknya, Densus dibuat untuk membantu KPK memberantas korupsi hingga ke daerah-daerah. Sebab katanya, Polri telah mempunyai jaringan sampai ke tingkat desa, sesuatu yang tidak dimiliki KPK.

Berbeda lagi dengan Fickar, Bambang menganggap bahwa tidak ada peraturan apapun yang dilanggar dalam pembentukan Densus. "Karena Densus memakai model Densus Anti teror 88. Maka tidak diperlukan UU baru atau perubahan UU. Cukup memakai Surat Keputusan Kapolri," kata Bambang.

Baca juga: Polri Bersikukuh Melanjutkan Rencana Pembentukan Densus Tipikor

Proposal pembentukan Densus Tipikor disampaikan oleh Kapolri Tito Karnavian kepada Komisi III DPR RI. Ia menawarkan dua mekanisme kerja. Pertama, menggabungkan Densus Tipikor dengan Jaksa Penuntut Umum dalam satu atap. Kedua, Densus Tipikor akan disamakan dengan Densus 88.

Wacana pembentukan Densus Tipikor ini menuai pro dan kontra. Wapres Jusuf Kalla bahkan telah mengeluarkan pernyataan menolak pembentukan Densus Tipikor karena dikhawatirkan menghambat kinerja pejabat daerah dan ada tumpang tindih dengan KPK.

Namun, Kapolri Tito Karnavian tetap bersikukuh membentuk Densus Tipikor dengan alasan percepatan pemberantasan korupsi sesuai dengan amanat Presiden Jokowi.

Baca juga artikel terkait DENSUS TIPIKOR atau tulisan lainnya dari Rio Apinino

tirto.id - Hukum
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: Rio Apinino
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti