tirto.id - Segmen pasar perjalanan muslim adalah pangsa yang sangat menguntungkan dalam pariwisata. Menurut Mastercard-CrescentRating Global Muslim Travel Index 2017 (GMTI 2017), pariwisata global melacak sekitar 121 juta wisatawan muslim internasional pada 2016, sebuah angka yang diproyeksikan tumbuh menjadi 156 juta pada 2020. Dan, pengeluaran perjalanan segmen ini diperkirakan mencapai 300 miliar dolar AS pada 2026.
Pasar yang gemuk ini dipengaruhi pertumbuhan demografi muslim yang ditaksir lebih dari dua kali lebih cepat dari populasi dunia antara 2015 dan 2060. Dalam beberapa dekade mendatang, populasi dunia diproyeksikan tumbuh 32 persen, dan jumlah umat Islam diperkirakan meningkat 70 persen—dari 1,8 miliar pada 2015 menjadi hampir 3 miliar pada 2060.
Sebuah riset (PDF) menyebutkan pengeluaran umat muslim seluruh dunia pada 2015 mencapai 1,9 triliun dolar AS. Sektor makanan dan minuman merupakan pos pengeluaran terbesar (1,17 triliun dolar AS), diikuti pakaian dan aksesori (243 miliar dolar AS), serta media dan rekreasi (189 miliar dolar AS), dan pariwisata (151 miliar dolar AS).
Mengenal Segmen Pasar Wisata yang 'Muslim-friendly'
Pasar pariwisata halal (halal tourism) tengah berkembang pesat. Dari laporan State of The Global Islamic Economy Report 2016/17, nilai pengeluaran perjalanan wisata umat muslim pada 2021 diprediksi 243 miliar dolar AS. Ia mengalahkan pengeluaran untuk sektor farmasi dan kosmetik pada tahun yang sama (213 miliar dolar AS).
Namun, ada sedikit konteks yang perlu dipahami. Sebenarnya, ketimbang memakai istilah halal tourism, lebih tepat memahami segmen pasar ini sebagai muslim-friendly travel atau muslim-friendly tourism, atau halal-friendly travel atau halal-friendly tourism. Sebab, bukan pariwisatanya yang halal, melainkan wisatawan muslim punya—apa yang disebut—"kebutuhan berbasis iman" yang harus dipenuhi saat bepergian.
Tingkat kepatuhan terhadap kebutuhan berdasarkan iman dapat bervariasi dari satu pelancong ke pelancong yang lain. Misalnya, sebagian besar muslim setidaknya akan mencari makanan halal saat bepergian. Atau, pada waktu-waktu tertentu akan melaksanakan ibadah salat, sehingga lokasi wisata itu harus menyediakan tempat salat.
Terkait hal ini, CrescentRating melansir laporan MasterCard-CrescentRating Global Muslim Travel Index tahunan yang secara khusus membahas sektor wisata muslim. Riset ini memperlihatkan peringkat dan membuat tolok ukur lokasi tujuan wisata berdasarkan layanan dan fasilitas yang disediakan untuk wisatawan muslim.
Pada 2018, dalam kelompok negara yang masuk Organisasi Kerjasama Islam (OIC), Indonesia menempati posisi kedua sebagai destinasi utama bagi wisatawan muslim dengan skor indeks 72,8. Pada peringkat yang sama, Indonesia bersaing dengan Uni Emirat Arab yang sebelumnya meraih posisi kedua. Sedangkan Malaysia masih menjadi destinasi terbaik bagi wisatawan muslim.
Di periode yang sama, negara non-OIC juga menjadi tujuan wisata bagi turis muslim. Singapura, Thailand, dan Inggris adalah negara yang selalu menempati peringkat pertama, kedua, dan ketiga sebagai tujuan wisata negara non-OIC sejak 2017. Ketiga negara ini sangat “ramah” terhadap turis muslim karena menyediakan kebutuhan seperti mudah mencari makanan bersertifikat halal hingga banyak tempat untuk melaksanakan salat.
Pada 2018, Jepang dan Taiwan berhasil menduduki lima besar negara tujuan wisata turis muslim, menggeser Afrika Selatan dan Hong Kong yang tahun sebelumnya pada posisi keempat dan kelima. Ini berkat inisiatif kedua negara mempromosikan muslim-friendly tourist destination dan restoran halal. Contohnya Jepang, selain destinasi wisata dilengkapi tempat salat dan rumah makan tradisional berlabel halal, ia mulai memiliki pemandu wisata muslim.
Ambisi Indonesia Menjadi Tujuan Wisatawan Muslim
Global Muslim Travel Index merekam peningkatan Indonesia sejak 2015. Secara keseluruhan, baik dalam kategori negara OIC dan non-OIC, semula Indonesia menempati peringkat keenam dengan skor 67,5.
Pada 2016, Indonesia menyusul dengan cepat dengan menempati peringkat empat (70,6). Pada 2017, Indonesia mengalahkan Turki dan naik ke peringkat ketiga (72,6). Tahun ini, Indonesia meraih posisi kedua sebagai top destination bagi wisatawan muslim.
Peningkatan indeks ini memang menjadi indikasi keberhasilan Indonesia dalam mewujudkan ambisinya sebagai destinasi pilihan wisatawan muslim dunia. Bahkan, pada 2019, Indonesia berambisi menggeser Malaysia dan menduduki peringkat pertama dalam Global Muslim Travel Index.
Keberhasilan itu dapat dilihat melalui kenaikan pada masing-masing skor sub-indeks GMTI Indonesia. GMTI mengukur kriteria muslim-friendly travel, seperti akses untuk beribadah, restoran yang menyediakan makanan halal, pelayanan bandara, akomodasi, komunikasi antara negara tujuan dan wisawatan, serta keamanan lingkungan dalam perjalanan.
Dalam empat tahun terakhir, satu dari 10 sub-indeks tercatat stabil dengan skor 100 dan delapan sub-indeks lain memperlihatkan kenaikan skor.
Skor 100 terdapat pada sub-indeks akses beribadah, menandakan wisatawan muslim akan sangat mudah menemukan tempat untuk beribadah di Indonesia. Hal ini wajar, karena masjid maupun musala memang mudah ditemui di Indonesia. Bahkan, setiap pusat belanja ataupun destinasi wisata memiliki tempat untuk salat.
Kenaikan tertinggi pada sub-indeks pelayanan bandara, kemudahan komunikasi, dan akses terhadap kebutuhan perjalanan. Renovasi maupun penambahan terminal di bandara yang menjadi tujuan utama, seperti Soekarno-Hatta (Jakarta) dan Ngurah Rai (Bali), berhasil meningkatkan skor Indonesia. Seperti yang terlihat pada skor tahun 2015 (82,2) yang naik signifikan pada 2018 (100).
Selain itu, kehadiran berbagai aplikasi layanan wisata dan pemakainnya yang luas, seperti Traveloka dan Pegipegi, serta yang secara khusus ditujukan untuk wisatawan muslim seperti halaltrip, mendorong peningkatan skor Indonesia pada sub-indeks pemenuhan kebutuhan perjalanan. Pada 2018, indeks ini meningkat menjadi 94 dari 61 pada 2015.
Adapun skor sub-indeks yang turun adalah kedatangan wisatawan. Dari skor 20,9 pada 2016, turun menjadi 17,8 pada 2017, dan tahun ini turun dengan skor 15.
Target Indonesia Menggarap Pasar Milenial Muslim
Untuk mewujudkan ambisi Indonesia menduduki peringkat pertama Global Muslim Travel Index, pasar Milenial muslim harus dijadikan target. Laporan GMTI 2017 mengidentifikasi populasi muslim yang berusia lebih muda sebagai salah satu pendorong utama pertumbuhan pasar wisata muslim. Sebanyak 60 persen atau 1 miliar populasi di negara-negara mayoritas muslim berusia kurang dari 30 tahun.
Pertumbuhan populasi muslim global, terutama segmen pasar muslim muda yang semakin makmur, menandakan potensi besar untuk produk dan layanan terkait perjalanan ramah muslim di pasar internasional. Bersamaan dengan itu, ada peningkatan minat para pelancong Milenial dalam beberapa tahun terakhir.
Ini adalah peluang yang bisa dimanfaatkan. Terlebih, Milenial muslim juga menyukai Indonesia sebagai destinasi wisata. Dalam Muslim Millenial Travel Report 2017, Indonesia menempati posisi kedua sebagai tujuan wisata utama yang sering didatangi oleh Milenial muslim. Peringkat pertama masih dipegang Malaysia, dan posisi ketiga diperoleh Jepang.
Selain terus meningkatkan kualitas fasilitas dan pelayanan, pemerintah Indonesia melakukan promosi pariwisata melalui kolaborasi Kementerian Pariwisata dan BEKRAF. Dan sejak beberapa tahun belakangan, pemerintah memang gencar menggali potensi wisata ramah muslim, seperti promosi wisata Indonesia di pasar Timur Tengah. Selain itu, membenahi berbagai infrastruktur dan layanan wisata seperti mendirikan "hotel syariah."
Tak heran bila sektor pariwisata di Indonesia berkembang pesat. Bila kualitas ini bisa terus dipertahankan, besar kemungkinan Indonesia bisa menggeser Malaysia sebagai destinasi utama terbaik bagi wisatawan muslim dunia.
Editor: Fahri Salam