tirto.id - April lalu Presiden Jokow Widodo ingin melibatkan organisasi masyarakat (ormas) untuk mendisiplinkan masyarakat menerapkan protokol pencegahan COVID-19. Kini keinginan tersebut terealisasi di Jakarta ketika penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Potensi masalah dari kebijakan ini adalah, ia justru dapat memicu konflik horizontal.
TNI-Polri melibatkan ormas-ormas sejak Senin kemarin. Mereka akan bertugas mendisiplinkan masyarakat di tempat keramaian seperti pasar, perkantoran, stasiun, hingga terminal, setelah sebelumnya diberikan pelatihan.
Wakapolri Komjen Eddy Pramono bahkan mengatakan penegak disiplin yang disiapkan di pasar adalah jeger alias preman. Ia mengatakan kebijakan ini dibuat karena “Polri tidak patroli tiap hari bersama TNI. Tapi mereka di sana ada 24 jam. Nanti pimpinannya mengingatkan, akhirnya timbul kesadaran kolektif.”
Di Pasar Tanah Abang, sebanyak 18 ormas secara resmi direkrut. Mereka diberikan rompi berwarna kuning yang di bagian depannya terdapat lambang Polda Metro Jaya dan Komando Daerah Militer Jayakarta serta bagian belakang tertulis ‘Penegak Disiplin Protokol Kesehatan COVID-19’.
“Ini inovasi dari kami terkait penerapan pendisiplinan dan pengawasan protokol kesehatan berbasis komunitas,” kata Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Nana Sudjana. Ia mengatakan pelibatan ormas direncanakan diterapkan di seluruh wilayah yang berada di bawah naungannya.
Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurachman juga melantik ormas di Jiexpo Kemayoran, Jakarta. Ia meminta mereka bertindak profesional, sopan, santun, humanis, dan edukatif.
Ormas yang terlibat di antaranya Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan TNI Indonesia (FKPPI), Pemuda Panca Marga (PPM), Himpunan Putra-Putri Keluarga Angkatan Darat (Hipakad), juga ormas terkenal seperti Pemuda Pancasila (PP) dan Forum Betawi Rempug (FBR).
Rawan Konflik
Leopold Sudaryono, kriminolog dari Universitas Indonesia, juga Kandidat doktor dalam bidang kriminologi dari Australian National University, berujar memberikan kewenangan menjalankan daya paksa ke ormas merupakan tindakan keliru dan menimbulkan kekacauan hukum.
Leopold menilai ada tiga potensi masalah dari kebijakan ini. Pertama, melegitimasi keberadaan ormas--yang selama ini identik dengan kekerasan--untuk menggunakan daya paksa kepada masyarakat. Ini akan memperburuk praktik premanisme; kedua, ormas tidak memiliki standar dan pemahaman penggunaan daya paksa yang tepat sehingga sangat berpotensi memicu bentrok horizontal dan menimbulkan permasalahan baru bagi pemerintah.
Terakhir, menggerogoti wibawa penegak hukum dan pemerintah karena pelaksanaan penegakan hukum ‘disubkontrakkan’ ke ormas.
“Melibatkan masyarakat itu langkah baik jika konteksnya pendidikan atau pengembangan kesadaran, tapi jika pada penegakan disiplin atau aturan (use of force), kewenangan ini tidak bisa disewakan. Harus dilakukan sendiri dan dipertanggungjawabkan oleh pemerintah,” ujar dia ketika dihubungi reporter Tirto, Senin (14/9/2020).
Pengamat kepolisian dari Institut for Security and Strategic Studies Bambang Rukminto mengatakan memanfaatkan ormas seolah membenarkan “kepolisian yang berwenang dalam kamtibmas dan penegakan hukum sesuai Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia sudah kehilangan kemampuannya dan tak berdaya.”
“Hal ini juga bisa dibaca sebagai pembenaran bahwa penegak hukum adalah beking dari preman,” kata Bambang ketika dihubungi reporter Tirto. “Lebih jauh lagi, ini juga menunjukkan kepolisian gagal mengelola rasa takut untuk mendisiplinkan masyarakat, sehingga perlu menghadap-hadapkan organisasi masyarakat lawan masyarakat.”
Ia juga mengatakan penggunaan ormas tak berlandaskan hukum. Pasal 3 ayat (1) Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2020 menyatakan “pengemban fungsi kepolisian adalah Kepolisian yang dibantu oleh Kepolisian Khusus; Penyidik Pegawai Negeri Sipil; dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa.” Dalam hal ini Polri bertugas berkoordinasi, mengawasi, dan melakukan pembinaan teknis terhadap tiga komponen itu sesuai dengan Pasal 14 ayat (1) huruf f UU Polri.
“Jadi aneh bila kepolisian menggunakan ormas dalam penegakan disiplin sebuah lingkungan. Bukannya menggunakan satpam yang memang sudah menjadi binaannya sejak awal,” katanya.
Sementara Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Fatia Maulidiyanti berpendapat pelibatan ormas dan preman menunjukkan kultur kekerasan negeri ini. Alih-alih mengefektifkan penegakan hukum, kebijakan ini dapat memicu konflik horizontal akibat adanya kelompok yang dilegitimasi aparat untuk menegakkan peraturan.
Ia juga tidak yakin aparat dapat mengawasi dan mengarahkan penertiban oleh ormas dengan cara-cara humanis.
“Dengan rekam jejak aparat negara dalam kasus pelanggaran HAM, maka tidak ada jaminan mereka (aparat) akan mengawasi ketat dan efektif terhadap preman pasar (dan ormas),” ujar Fatia kepada reporter Tirto.
Semua peringatan para pengamat soal potensi konflik ini dibenarkan oleh Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) DKI Jakarta Miftahuddin.
“Mereka mencari nafkah untuk keluarga di rumah, tetapi kok malah diawasi preman? Jelas para pedagang pasar akan merasa terintimidasi dengan kehadiran para preman,” katanya, Sabtu (12/9/2020).
Menurutnya alih-alih preman atau ormas, “jauh lebih efektif pengawasan itu dilakukan oleh paguyuban atau ketua-ketua blok pasar. Keterlibatan pedagang justru memperkuat disiplin pedagang.”
Kedisiplinan para pedagang juga diakui oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Para pedagang sadar kalau mereka tak disiplin dan terjadi penyebaran virus, maka pemerintah bakal menutup sumber usaha mereka selama tiga hari. Anies bahkan bilang kedisiplinan pasar melebihi kantor swasta.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino