Menuju konten utama

Pelaku Industri Tolak Rencana Simplifikasi Tarif Cukai Tembakau

Pelaku industri menolak simplifikasi tarif cukai hasil tembakau, karena regulasi itu membuat produksi rokok menurun.

Pelaku Industri Tolak Rencana Simplifikasi Tarif Cukai Tembakau
Pekerja menjemur tembakau di Waung, Tulungagung, Jawa Timur, Kamis (19/10/2017). ANTARA FOTO/Destyan Sujarwoko

tirto.id - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memutuskan menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok hingga 12 persen untuk tahun 2022.

Kebijakan itu diterapkan berbarengan dengan simplifikasi struktur tarif cukai rokok dari sebelumnya 10 layer menjadi 8 layer yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 192 Tahun 2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Sigaret, Cerutu, Rokok Daun atau Klobot, dan Tembakau Iris.

Teranyar, kini beredar kabar kalau Menteri Keuangan Sri Mulyani akan melanjutkan kebijakan simplifikasi hingga menjadi 5 layer.

Salah satu aspek yang ditekankan, yaitu golongan Sigaret Kretek Mesin (SKM) serta Sigaret Putih Mesin (SPM); penyatuan Sigaret Kretek Tangan (SKT) golongan 1A dan 1 B; dan penurunan batas kuota dari 3 juta batang ke 2 juta batang.

Menanggapi hal itu, Ketua Gabungan Pabrik Rokok (Gapero) Surabaya Sulami Bahar mengatakan, pihaknya menolak rencana pemerintah dari adanya simplifikasi tersebut. Sebab, kebijakan itu akan mencekik para pelaku industri tembakau kecil dalam melanjutkan usahanya.

"Pasti nanti dampaknya akan terjadi banyaknya perusahaan rokok yang kelimpungan. Sekarang beda dari tarif cukai antara golongan 1A dengan 1B itu cukup signifikan. Artinya, di situ kalau digabung jadi satu yang golongan 1B akan naik tarifnya menuju golongan 1A. Apalagi kalau golongan 1A dinaikkan berarti kan naiknya dua kali," kata Sulami kepada wartawan, Minggu (10/7/2022).

Menurut Sulami, akibat dari adanya penerapan PMK Nomor 192 Tahun 2021 masih amat berat dirasakan oleh pelaku industri tembakau menengah ke bawah. Karena regulasi itu membuat produksi rokok menurun.

"(PMK Nomor 192 Tahun 2021) itu kenaikan tarif cukai 12 persen. Nah, dampaknya untuk industri mengalami penurunan produksi karena harganya luar biasa," ujarnya.

Ia menyebut, yang dibuat menderita oleh pemerintah dari PMK Nomor 192 Tahun 2021 tak hanya pengusaha, melainkan juga para petani tembakau.

"Sedangkan petani otomatis penyerapannya berkurang. Akibatnya, pendapatan berkurang. Jadi kalau sudah kayak begitu pendapatan negara juga berkurang. Ujung-ujungnya, nanti rokok ilegal yang semakin marak, pasti larinya ke sana," ujarnya.

Sulami juga menambahkan, “Bila pemerintah peduli terhadap keberlangsungan industri tembakau, seharusnya fokus terhadap pemberantasan rokok ilegal. Sebab, keberadaan rokok ilegal telah membuat negara kehilangan pendapatan sekitar Rp 53 triliun”.

Sementara itu, Ekonom dari Universitas Negeri Semarang (UNS) Agus Trihatmoko menduga dengan adanya kebijakan simplifikasi nanti malah mendorong terjadinya monopoli, yaitu pemain besar menguasai pasar dan mematikan pemain kecil.

"Nah, itu bisa terjadi. Karena yang selalu bisa melakukan efisiensi dan investasi yang besar, mereka akan efisien dalam proses produksi, makanya harga dia sangat kompetitif. Itu baru pakai logika bisnis. Ada yang irasional untuk mematikan yang kecil-kecil, perusahaan besar itu jual rugi dulu. Ketika itu terjadi, namanya rokok ini kan menyangkut soal rasa dan selera. Orang ketika sudah beralih ke produk (pemain besar), bisa jadi yang kecil mati dan menengah juga. Oleh sebab itu menjadi sebuah kekhawatiran," ujarnya.

Ia mengimbau kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk mengurungkan niat untuk kembali melakukan penyederhanaan tarif cukai rokok tersebut.

"Diurungkan atau ditunda, dilakukan kajian atau riset secara mendalam, ada kebijakan yang ketat. Jadi analisa kami tadi apakah benar atau tidak, buktikan dulu ke masyarakat. Nanti ketemu rumusan yang ideal."

"Negara kita itu demokrasi dalam artian ekonomi juga. Artinya, kita jangan sewenang-wenang membuat putusan yang merugikan pihak-pihak. Otomatis tadi ketika berdampak kepada pengusaha kecil, pabrik akan tutup," katanya.

Penolakan simplifikasi juga datang dari Anggota Komisi XI DPR RI Kamrussamad. Menurutnya, penyederhanaan ini akan melemahkan daya saing dan membahayakan pabrikan menengah kecil.

"Terutama dari sisi tenaga kerjanya yang cepat atau lambat akan kehilangan lapangan pekerjaannya. Sebab, mau tidak mau, golongan yang dihilangkan layernya harus naik ke golongan atasnya akibat peraturan, bukan karena kemampuan dan penambahan produksi," kata dia.

Pada kesempatan berbeda, Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI Hendrawan Supratikno menambahkan, pihaknya sedang melakukan penelaahan tentang cukai tembakau.

"Dua fokus utama adalah tata kelola pengadaan pita cukai, yang dikerjakan konsorsium tiga perusahaan, dan layerisasi tarif cukai," kata dia.

Menurutnya, Kemenkeu tak boleh terburu-buru dalam menerapkan kebijakan simplifikasi tersebut. "UMKM tetap harus dilindungi dari tekanan regulasi, termasuk dari dampak negatif oligopolisasi industri rokok. Terkait simplifikasi, masih terus dikaji, itu ranah kebijakan. Kami melihatnya dari sudut tata kelola dan akuntabilitas kontrolnya," kata dia.

Penulis: Tim Media Servis