tirto.id - GA dan MYD resmi jadi tersangka video pornografi berdurasi 19 detik. Mereka dijerat Pasal 4 ayat (1) juncto Pasal 29 dan/atau Pasal 8 juncto Pasal 34 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, dengan ancaman penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 12 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250 juta dan paling banyak Rp6 miliar.
“Hasil gelar perkara kemarin menaikkan status saksi GA dan MYD sebagai tersangka,” ucap Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Yusri Yunus mengumumkan status keduanya di Polda Metro Jaya, Selasa (29/12/2020).
Polisi juga telah meringkus dua penyebar video, PP dan MN. Keduanya berbuat demikian demi menambah pengikut di media sosial dan ingin memenangkan hadiah give away. Meski demikian, dua orang ini adalah penyebar kesekian. Hingga berita ini ditulis polisi belum meringkus pihak pertama penyebar video.
Pelapor adalah Ketua Umum Aliansi Pejuang Muda Indonesia Febrianto Dunggio. Pengaduan terdaftar dengan Nomor: LP/6608/XI/YAN.2.5./2020/SPKT PMJ, bertanggal 7 November 2020. Ia menyertakan lima akun media sosial yang mengunggah video dan lapor dengan alasan tayangan itu meresahkan masyarakat.
Pada 8 November, giliran advokat Pitra Romadoni Nasution yang mengadukan kasus serupa. Dia melaporkan tiga akun penyebar video.
Beberapa pakar hukum mempermasalahkan pasal yang disangkakan terhadap GA dengan mengatakan tafsirnya karet. Pasal tersebut adalah pasal yang sama yang membuat Nazriel Irham alias Ariel, vokalis band Peterpan (sekarang Noah), didakwa melanggar aturan pornografi karena video hubungan intimnya meluas di publik beberapa tahun silam. Hakim memvonis Ariel 3 tahun 6 bulan penjara.
Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi menyebutkan “Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat...”
Sementara Pasal 8: “Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi.”
Siti Aminah Tardi, Komisioner Komnas Perempuan, mengatakan apa yang dimaksud dengan ‘membuat’ dalam pasal tersebut lekat dengan industri pornografi alias tidak termasuk untuk diri dan kepentingan sendiri. Maka, merujuk kepada pengertian tersebut, GA dan MYD tidak dapat dijerat.“GA dan MYD adalah korban dari penyebaran konten yang seharusnya mendapatkan perlindungan hukum. Karena bisa saja, pola ini dapat digunakan untuk mengkriminalkan perempuan yang melakukan aktivitas seksual dengan pasangannya,” kata dia kepada reporter Tirto, Selasa (29/12/2020).
Ia bilang seharusnya polisi segera menangkap penyebar video. Karena penyebaran inilah konten pribadi dapat diakses publik.
Aminah mengatakan penerapan UU Pornografi harus sangat hati-hati agar perempuan tidak menjadi korban atau mengalami reviktimisasi. Menurutnya agar kejadian GA tak terulang, diperlukan pembaruan hukum terkait UU Pornografi dan UU ITE yang memastikan perempuan korban kekerasan berbasis gender tidak malah dikenai pasal, mendapatkan perlindungan, dan difasilitasi menghapus jejak digital dan pemulihan psikologis.
Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Blandina Lintang Setianti mengatakan pasal-pasal dalam UU Pornografi, termasuk pasal 4 dan 8, memang sangat problematis. Definisi pornografi sangat multitafsir tergantung penyidik atau pelapor. Maka alih-alih melindungi atas ancaman kekerasan, peraturan ini justru berpotensi mengkriminalisasi.
“Terutama pasal ini, memang pada dasarnya sangat karet. Sapu jagat karena bisa mengkriminalisasi perekam dan 'aktor', termasuk korban dalam beberapa bentuk kekerasan berbasis gender,” kata Blandina kepada reporter Tirto.
Blandina juga mengatakan UU Pornografi tak mempertimbangkan kekerasan berbasis gender online (KBGO) dalam bentuk non-consensual distribution of intimate image atau distribusi gambar intim tanpa persetujuan. Dalam kasus GA, dia bisa menjadi korban KBGO jika tak setuju video disebar. Sialnya, lagi-lagi, hukum justru menjadikan mereka sebagai pelaku tindak pidana.
Dalam UU Pornografi, korban bisa dijadikan pelaku, katanya.
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menilai UU Pornografi dan penegak hukum sama-sama buruk: tidak membedakan antara korban dan pelaku. “Dari kasus ini ketahuan UU kacau. Ada UU ITE, [yang] jika diperlakukan dengan benar seharusnya GA tak kena (jadi tersangka)” kata Asfin kepada reporter Tirto, Selasa.
Dia menegaskan tidak ada unsur kejahatan dan timbul korban ketika memvideokan ketelanjangan diri sendiri maupun bersama pasangan di ruang tertutup. Masalahnya si penegak hukum menggunakan kacamata moralis. “Kalau cara pandangnya moralitas, [polisi] tak lagi melihat korban dan pelaku. Semua salah [karena] melanggar ketentuan kaidah moral tertentu,” katanya.
Memang di luar pasal 4 dan 8, ada ketentuan yang baik dalam peraturan ini. Misalnya pasal 15 yang mewajibkan setiap orang melindungi anak dari pengaruh pornografi dan mencegah akses anak terhadap pornografi; atau pasal 37 yang berisi sanksi bagi setiap orang yang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek pornografi. Oleh karena itu menurut Asfin otoritas harus merevisi regulasi ini secara mendasar, mulai dari definisi, turunan, hingga penerapanya.
Dosen hukum pidana Universitas Trisakti Jakarta Abdul Fickar Hadjar bertanya-tanya: “tindakan apa yang ditafsirkan sebagai perbuatan penyebaran?” “Itu tugas penyidik untuk membuktikan,” ujar dia kepada reporter Tirto, Selasa. Fickar bilang penyidik harus dapat membuktikan apa kesalahan tersangka, terutama soal dugaan kelalaian yang dapat menyebabkan video itu disebar/tersebar.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz