Menuju konten utama

Paket Kebijakan Jokowi: Salah Kaprah & Bikin Teriak Pengusaha

Paket kebijakan ekonomi jilid XVI untuk membidik investasi asing, memangkas impor, meningkatkan ekspor, memperkecil CAD hingga stabilitas rupiah terjaga.

Paket Kebijakan Jokowi: Salah Kaprah & Bikin Teriak Pengusaha
Presiden Joko Widodo menyampaikan sambutan saat membuka pameran Ideafest 2018 di JCC, Senayan, Jakarta, Jumat (26/10/2018). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/wsj.

tirto.id - Pemerintah telah meluncurkan Paket Kebijakan Ekonomi Jilid XVI. Ada tiga pokok yang menjadi fokus pemerintah sebagai obat penawar dari persoalan ekonomi terkini. Persoalan investasi asing termasuk yang jadi sorotan dunia usaha lokal, karena berpotensi menyingkirkan peluang pemodal lokal dan dianggap salah kaprah.

Pertama, memperluas fasilitas pengurangan pajak penghasilan badan atau tax holiday. Perluasan diberikan kepada beberapa sektor usaha baru. Tiga sektor ini akan difokuskan untuk menerima manfaat tax holiday yaitu kelompok besi dan baja beserta turunannya; sektor petrokimia dan turunannya; serta sektor kimia dasar dan turunannya. Pemerintah juga menambahkan sejumlah 70 Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) ke dalam Tax Holiday.

Kedua, relaksasi Daftar Negatif Investasi (DNI). Perluasan ini berupa penanaman modal asing (PMA) yang bisa sepenuhnya atau 100 persen tanpa mitra lokal UKM atau koperasi. Kebijakan ini paling yang dapat sorotan pengusaha lokal, Kadin Indonesia termasuk yang "teriak" agar kebijakan ini ditunda.

Ketiga, insentif terhadap Devisa Hasil Ekspor (DHE), berupa keringanan pajak tarif final PPh. Insentif akan diberikan kepada perusahaan eksportir di sektor Sumber Daya Alam (SDA) yang memasukkan devisanya ke dalam sistem keuangan Indonesia (SKI). Eksportir SDA dipilih karena nilai ekspor yang lebih besar ketimbang impor.

Hasil penerapan paket kebijakan ekonomi jilid XVI ini diharapkan memberikan dampak berkurangnya defisit transaksi berjalan atau current account defisit (CAD) menjadi di bawah tiga persen sampai akhir tahun 2018 ini. Target insentif DHE untuk mendorong eksportir menempatkan dana di akun perbankan Indonesia. Sehingga, pasokan dolar Amerika Serikat (AS) akan semakin bertambah di dalam negeri. Ujungnya, dapat membantu stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar. Dengan begitu, cadangan devisa pun tak lagi terkuras dan bahkan bisa bertambah.

“Kami ingin menambah pasokan dolar dalam ekonomi Indonesia, yang memang sedang diperlukan,” jelas Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution.

Kebijakan 100 Persen Asing

Tujuan tiga kebijakan baru ini dalam jangka panjang, diharapkan investasi dan aliran modal asing di Indonesia dapat menimbulkan geliat ekspor di Indonesia. Namun, kebijakan ini bukan berarti bebas kritikan. Pemerintah mencoba memberikan kesempatan kepada PMA untuk memiliki status investasi penuh 100 persen tanpa harus bekerjasama dengan mitra lokal. Ini dilakukan karena pelaksanaan DNI pada 2014 dan 2016 masih belum optimal. Sebab, ada 51 bidang usaha yang tidak diminati investor sama sekali dari 83 bidang usaha.

Ada 25 bidang usaha yang diputuskan diperbolehkan untuk PMA dan PMDN sejak 2016 hanya saja besaran investasinya mulai dari 40 persen, 60 persen dan 97 persen. Namun, dengan aturan DNI terbaru, dibuka selebar-lebarnya menjadi 100 persen. Jumlah sektor usaha yang boleh 100 persen saham asing ini sempat rancu awalnya, sepekan lalu sempat disampaikan ada 54 bidang usaha yang dikeluarkan dari DNI atau boleh 100 persen untuk modal asing.

Berubahnya daftar bidang usaha yang 100 persen boleh dimiliki PMA ini, menurut Fithra Faisal, memberikan gimik terhadap iklim kepastian investasi di Tanah Air. Sebab, menunjukkan miskoordinasi antar pemerintah pusat yang berpotensi menimbulkan ketidakpastian.

“Tujuan relaksasi DNI adalah untuk mengundang investor. Tapi akan sulit tercapai kalau ada ketidakpastian,” jelas dosen Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia itu kepada Tirto.

Padahal bila 54 bidang usaha yang dikecualikan dari DNI atau bahkan sampai 100 persen untuk asing, berpotensi tidak signifikan untuk memperkecil CAD. Ini karena, dari bidang usaha tersebut hanya sedikit yang berorientasi ekspor. Misalnya saja, kata Fithra, industri rokok yang terdiri dari rokok kretek, rokok putih dan rokok lainnya yang dihapus dari DNI. Saat ini, negara-negara di dunia tengah mengurangi konsumsi rokok. Negara kawasan ASEAN pun tengah menekan produksi dan konsumsi rokok masyarakatnya.

Catatan Badan Pusat Statistik (BPS) ekspor rokok kretek Indonesia selama Januari-Agustus 2018 hanya naik 3,4 persen secara tahunan menjadi 55,97 ribu ton dari 54,13 ribu ton pada periode sama 2017. Nilainya pun hanya naik 4,28 persen dari $540,58 ribu menjadi $563,73 ribu. “Saya lihat pemerintah salah kaprah kalau mengharapkan investasi di industri rokok. Karena dari sisi kesehatan, berbagai negara di dunia mengusahakan untuk mengurangi jumlah perokok,” sebut Fithra.

Industri lain yang dihapus dari DNI adalah industri kayu. Padahal menurut catatan BPS, secara keseluruhan ekspor industri kayu dan barang dari kayu mengalami penyusutan mencapai 5,26 persen secara volume. Periode Januari-Agustus 2018, volume ekspor industri kayu hanya sebesar 3,23 juta ton dibanding periode yang sama tahun lalu yang mencapai 3,41 juta ton.

Meski secara nominal, industri ini mencatat kenaikan sebesar 14,21 persen dari $2,46 juta menjadi $2,81 juta. “Industri kayu sangat mengandalkan volume dan sudah mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir. Karena industri ini dianggap merusak lingkungan. Negara-negara ASEAN pun sudah meninggalkan industri kayu dan bergeser ke industri high end. Ini terlihat dari data comparative index industri kayu yang terus menurun,” rinci Fithra.

Infografik Paket kebijakan ekonomi

Industri farmasi juga masuk dalam daftar hapus DNI. Padahal, ekspor industri farmasi Indonesia mengalami penurunan signifikan, dari $406,36 ribu periode Januari-Agustus 2017 menjadi hanya $353,97 ribu. Ini artinya, kalaupun investor asing masuk dan berinvestasi di industri farmasi Indonesia, maka negara ini hanya mendapat nilai investasinya saja tanpa bisa menekan CAD yang timbul akibat pembayaran jasa ke luar negeri dan produk yang tidak berorientasi ekspor.

Industri besi dan baja Indonesia pun tak luput dari defisit. Impor baja kumulatif Januari-Agustus 2018 mencapai 8,9 juta ton setara $6,38 miliar. Sedangkan ekspor kumulatif sebanyak 3,46 juta ton dengan nominal $4,11 miliar. “Kalau nanti FDI yang masuk tidak melakukan kegiatan ekspor, maka tidak ada tambahan yang bisa disumbangkan terhadap kinerja ekspor Indonesia. Hasil akhirnya, defisit transaksi berjalan semakin melebar. Masalahnya dari 54 sektor usaha yang dihapus dari DNI, sedikit sekali yang memiliki orientasi ekspor,” tutur Fithra.

Defisit neraca perdagangan barang turut memengaruhi defisit transaksi berjalan. Triwulan III-2018, CAD Indonesia tercatat $8,8 miliar, setara 3,37 persen produk domestik bruto (PDB). Angka itu lebih tinggi dibanding defisit kuartal II-2018 yang sebesar $8 miliar yang setara 3,02 persen PDB. Dengan perkembangan tersebut, CAD secara kumulatif tercatat 2,86 persen PDB.

Kebijakan DNI dari sisi sektor-sektor yang ditarget mendorong ekspor memang bisa jadi salah kaprah. Pemerintah harus memaksimalkan kebijakan DNI justru juga untuk menekan impor, dan mengajak bicara kalangan dunia usaha. Kebijakan DNI yang telah dirilis pemerintah semestinya lebih cermat dalam memutuskan sektor yang keluar dari campur tangan modal asing. Sebab bila suatu industri sudah dikeluarkan dari DNI, ibarat membuka kotak Pandora yang tak mudah untuk ditutup karena justru akan memberikan ketidakpastian dunia usaha.

Baca juga artikel terkait KEBIJAKAN EKONOMI atau tulisan lainnya dari Dea Chadiza Syafina

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Dea Chadiza Syafina
Editor: Suhendra