tirto.id - Pernah merasa perangkat digital kita penuh sesak dengan ribuan foto, email yang belum dibuka, atau notifikasi yang terus berdatangan? Fenomena ini tidak hanya mengganggu kenyamanan, tetapi juga dapat menjadi tanda sebuah gangguan, menurut para ahli.
Di era digital yang serba terhubung ini, kita sering kali merasa terdorong untuk menyimpan berbagai informasi di perangkat kita, atau sekadar upload story di Instagram sampai titik-titik karena terlalu panjang.
Kita kerap merasa foto, video, pesan, hingga file dokumen, semuanya tampaknya penting untuk disimpan. Namun, apakah Anda pernah merasa cemas atau tertekan karena perangkat yang penuh sesak dengan konten digital yang menumpuk? Jika ya, Anda tidak sendirian. Fenomena ini dikenal sebagai digital hoarding atau menimbun barang digital, yang semakin mendapat perhatian para ahli kesehatan mental.
Apa yang dimulai sebagai kebiasaan menyimpan foto kenangan atau file pekerjaan bisa berkembang menjadi masalah serius yang memengaruhi kesehatan mental dan produktivitas kita. Bahkan, dalam beberapa kasus, perilaku ini bisa berujung pada gangguan psikologis.
Dalam artikel ini, kita akan membahas bagaimana kebiasaan digital yang berlebihan, seperti seringnya memperbarui media sosial atau menyimpan terlalu banyak data, bisa menjadi tanda adanya gangguan yang lebih serius.
Apa Itu Digital Hoarding?
Digital hoarding adalah perilaku menyimpan informasi digital secara berlebihan, meskipun konten tersebut tidak memiliki nilai penting atau tidak lagi relevan. Fenomena ini mirip dengan hoarding fisik (menimbun barang di dunia nyata), tetapi dalam konteks digital. Berbeda dengan kebiasaan menyimpan foto atau file penting, digital hoarding melibatkan penyimpanan dalam jumlah besar yang akhirnya memengaruhi kinerja perangkat dan kesehatan mental penggunanya.
Menurut Dr. Susan Albers, seorang psikolog klinis di Cleveland Clinic, digital hoarding adalah bentuk stres yang dipicu oleh banyaknya foto, email, dan file yang tidak terorganisir dengan baik. “Apa yang menarik adalah bahwa ini bukan masalah yang dihadapi oleh nenek moyang kita, tetapi hari ini, kehidupan kita penuh dengan kekacauan digital,” kata Albers, menggambarkan dampak dari penimbunan informasi digital yang berlebihan.
Mengapa Orang Menimbun Konten Digital?
Ada berbagai alasan mengapa seseorang mulai menimbun konten digital di perangkat mereka. Salah satu alasan utamanya adalah keinginan untuk menyimpan kenangan. Foto-foto liburan, momen penting bersama keluarga, atau bahkan file kerja yang berharga sering kali dipertahankan untuk menjaga kenangan atau sebagai cadangan di masa depan.
Namun, perilaku ini bisa berkembang menjadi kebiasaan yang tidak terkendali, terutama ketika seseorang merasa takut kehilangan informasi yang bisa jadi "berguna" di masa depan. Dr. Emanuel Maidenberg, profesor klinis di UCLA, menyebutkan bahwa ketika perilaku ini didorong oleh kecemasan untuk kehilangan akses pada informasi tersebut, maka itu bisa berkembang menjadi gangguan. Hal ini membuat seseorang merasa perlu menyimpan segala sesuatu, meski tidak pernah mengaksesnya kembali.
Selain itu, banyak orang yang merasa tertekan oleh FOMO (Fear of Missing Out), perasaan takut ketinggalan. Dalam konteks digital, FOMO bisa berarti terus-menerus menyimpan berbagai informasi atau mengikuti tren terbaru di media sosial, meskipun sebenarnya konten tersebut tidak terlalu penting atau bermanfaat.
Perbedaan Antara Digital Clutter dan Digital Hoarding
Salah satu ciri utama digital hoarding adalah adanya kekacauan digital yang memengaruhi kehidupan sehari-hari seseorang. Dr. Susan Albers menjelaskan bahwa digital clutter (kekacauan digital) adalah stres yang muncul akibat penumpukan file, foto, dan notifikasi yang tak teratur. Ketika seseorang merasa kewalahan untuk mencari informasi penting di antara tumpukan file yang tidak terorganisir, atau merasa bahwa perangkatnya sudah penuh dengan hal-hal yang tidak diperlukan, ini bisa menjadi tanda bahwa mereka sedang mengalami kekacauan digital.
Namun, ketika kekacauan ini berubah menjadi kebiasaan yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari secara signifikan, kita mulai berbicara tentang digital hoarding. Dr. Sanjaya Saxena, seorang psikiater di Boston, menyatakan bahwa digital hoarding terjadi ketika penyimpanan informasi digital mengganggu fungsi normal seseorang, baik itu di tempat kerja, sekolah, atau kehidupan sosial.
Contoh digital hoarding yang sering ditemui adalah menyimpan ribuan foto tanpa pernah melihatnya kembali, atau memiliki banyak tab yang terbuka di browser yang sulit ditutup. Jika kebiasaan ini mulai mengganggu kegiatan lain, seperti pekerjaan, tidur, atau hubungan sosial, maka itu bisa menjadi tanda gangguan.
Bahaya Digital Hoarding
Meskipun tampaknya tidak berbahaya, digital hoarding dapat memiliki berbagai dampak negatif. Beberapa dampaknya antara lain:
- Stres dan Kecemasan
Penimbunan informasi digital yang berlebihan dapat menimbulkan rasa cemas dan tertekan. Ketika perangkat kita penuh dengan data yang tidak terorganisir, kita mungkin merasa kewalahan dan tidak bisa fokus pada tugas penting lainnya. Stres ini bisa memengaruhi kesejahteraan mental dan emosional kita.
- Gangguan Produktivitas
Penimbunan file yang tidak teratur juga bisa mengganggu produktivitas. Mencari file yang kita butuhkan di antara ribuan foto atau dokumen yang tersimpan bisa menghabiskan banyak waktu, yang akhirnya mengurangi efisiensi kita dalam menyelesaikan pekerjaan.
- Penyalahgunaan Ruang Penyimpanan
Penyimpanan digital yang berlebihan akan mengurangi ruang yang tersedia di perangkat kita, menyebabkan perangkat menjadi lebih lambat dan tidak efisien. Jika dibiarkan, ini dapat memengaruhi kinerja ponsel, laptop, atau aplikasi yang digunakan sehari-hari.
- Gangguan Tidur dan Kesehatan Mental
Sebuah studi menunjukkan bahwa stres yang ditimbulkan oleh penimbunan informasi digital dapat mengganggu tidur seseorang. Ketika seseorang merasa cemas tentang informasi yang belum dibaca atau file yang harus dikelola, itu dapat mengganggu waktu tidur mereka, yang berujung pada kelelahan mental dan fisik.
- Mengganggu Hubungan Sosial
Terlalu fokus pada dunia digital juga bisa mengurangi interaksi sosial yang sehat. Ketika kita terjebak dalam rutinitas menyimpan atau mengelola konten digital, kita mungkin mengabaikan hubungan dengan orang-orang terdekat yang seharusnya menjadi prioritas.
Cara Mengatasi Digital Hoarding
Bagi mereka yang merasa terjebak dalam perilaku digital hoarding, ada beberapa langkah yang bisa diambil untuk mengurangi kekacauan digital:
- Matikan Notifikasi yang Tidak Perlu
Salah satu cara terbaik untuk mengurangi gangguan adalah dengan mematikan notifikasi yang tidak penting. Dr. Albers merekomendasikan untuk membatasi notifikasi dari aplikasi yang tidak relevan atau iklan yang mengganggu, agar kita bisa lebih fokus pada hal-hal yang penting.
- Buat Rutinitas Pembersihan Digital
Lakukan audit digital secara berkala. Sisihkan beberapa menit setiap pagi untuk menghapus email yang tidak diperlukan, menutup tab yang tidak lagi digunakan, dan menyortir foto atau file yang sudah usang. Ini akan membantu membersihkan kekacauan dan menyiapkan Anda untuk hari yang lebih produktif.
- Tetapkan Batasan pada Penggunaan Perangkat
Mengatur waktu penggunaan media sosial dan email bisa membantu mengurangi kecenderungan untuk menimbun konten digital. Gunakan fitur "Do Not Disturb" atau "Silent Mode" untuk membatasi gangguan selama waktu-waktu penting.
- Ambil Waktu untuk Detox Digital
Luangkan waktu setiap hari untuk menjauh dari perangkat digital Anda. Ini bisa berupa waktu untuk beristirahat, berinteraksi dengan orang-orang terdekat, atau hanya menikmati kegiatan di luar layar. Digital detox dapat membantu Anda merasa lebih tenang dan kurang terbebani.
- Pahami Tanda-Tanda Stres
Jika Anda merasa bahwa digital hoarding mulai mengganggu pekerjaan atau hubungan sosial Anda, atau jika Anda merasa cemas atau tertekan karena perangkat yang penuh, ini bisa menjadi tanda bahwa sudah saatnya untuk mencari bantuan profesional.
Editor: Iswara N Raditya