tirto.id - Gemar minuman manis. Hampir di setiap pojok jalan pasti kita selalu menemukan kedai minuman manis. Kebiasaan ini berujung tragis.
Merujuk data International Diabetes Federation (IDF), orang dewasa, kisaran umur 20-79 tahun, yang mengidap diabetes di Indonesia mencapai 19,5 juta jiwa pada 2021. Nilainya bahkan diproyeksi menyentuh 28,57 juta jiwa pada 2045.
Terdapat satu fakta penting dari studi IDF yang patut digarisbawahi. Dari total dewasa yang menderita diabetes, sebanyak 73,7 persen adalah kasus yang tidak terdiagnosa secara resmi oleh dokter.
Ini menempatkan Ibu Pertiwi sebagai negara dengan proporsi pengidap diabetes tidak terdiagnosa tertinggi. Pasalnya, di negara-negara lain, IDF mencatat porsinya di bawah 50 persen.
Penemuan tersebut secara tidak langsung menyiratkan bahwa banyak pengidap diabetes yang tidak menyadari penyakitnya. Alhasil tetap menjalankan gaya hidup yang salah dan tidak menerima penanganan sejak dini.
Di sisi lain, sekitar 8,6 juta anak di bawah 19 tahun diketahui menderita diabetes tipe 1. Diabetes tipe ini merupakan kondisi akut, di mana terjadi kerusakan pada organ pankreas dalam memproduksi insulin, sehingga memerlukan penanganan seumur hidup.
Diabetes tidak boleh dipandang remeh. Penyakit ini menempati posisi ketiga dari daftar penyebab kematian tertinggi. Penyebab utamanya tentu adalah konsumi gula yang tinggi, utamanya di Indonesia dalam bentuk minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK).
Dalam dua dekade terakhir, tercatat konsumsi MDBK masyarakat meningkat signifikan. Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menemukan konsumsi MBDK mengalami peningkatan dari sekitar 51 juta liter pada 1996 menjadi 780 juta liter di 2014. Pada 2020, Ibu Pertiwi menempati posisi ketiga sebagai negara dengan konsumsi MDBK tertinggi di Asia Tenggara.
Pemerintah Indonesia memutuskan untuk mengambil langkah tegas dengan rencana mengimplementasikan kebijakan cukai bagi MBDK.
Hal ini menimbang laporan UNICEF yang menyebutkan bahwa penerapan cukai 20 persen pada minuman berpemanis terbukti mengurangi pembelian dan konsumsi produk tersebut hingga 10 persen. Alhasil, secara tidak langsung mengurangi kasus diabetes.
Cukai MBDK di Sejumlah Negara
Di beberapa negara penerapan cukai bagi minuman berpemanis terbukti menekan tingkat pembelian dan konsumsi minuman berpemanis. Meksiko misalnya, memperkenalkan pajak volumetrik Sugar-Sweetened Beverages (SSB) pada 2014 sebesar 1 peso per liter.
Pajak ini menyebabkan kenaikan harga sekitar 11 persen untuk minuman ringan, dan kenaikan yang sedikit lebih kecil untuk minuman manis lainnya. Hasilnya, sejak diterapkan pada 2016, terjadi penurunan total volume pembelian SSB sebesar 37 persen dibandingkan tahun sebelum pajak.
Penurunan pembelian SSB paling besar terjadi pada rumah tangga miskin dan rumah tangga yang sebelumnya membeli SSB dalam jumlah besar. Diperkirakan dalam 10 tahun, pajak SSB Meksiko akan mencegah 239.900 kasus obesitas, di mana 39 persen adalah kasus obesitas anak.
Sementara di Britania Raya, pajak SSB atau dikenal Retribusi Industri Minuman Ringan, diaplikasikan pada 2018. Pajak Inggris adalah retribusi dua tingkat yang mengenakan pajak kepada produsen berdasarkan konsentrasi gula minuman.
Contohnya, minuman yang mengandung lebih dari 8 gram gula per 100 mL dikenakan pajak sebesar 0,24 poundsterling per liter. Lalu, minuman yang mengandung 5 hingga 8 gram per mL gula dikenakan pajak sebesar 0,18 poundsterling per liter.
Keberhasilan Inggris dalam pengenaan pajak ini terlihat dari penurunan jumlah penggunaan gula pada soft drinks hingga 45 juta kg per tahun. Selain itu, terdapat penurunan jumlah minuman berkadar gula tinggi yang beredar di supermarket.
Antara 2015 dan 2019, persentase minuman dengan kandungan gula lebih dari 5 gram per 100 mL turun dari 49 persen menjadi 15 persen. Meskipun begitu, kebijakan tersebut diketahui tidak memberikan dampak negatif pada penjualan industri minuman di Inggris.
Sayangnya, di Indonesia hingga kini kebijakan implementasi cukai MBDK masih jalan di tempat. Padahal dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 130/2022 tentang Rincian APBN Tahun Anggaran 2023, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah menginstruksikan Kementerian Keuangan untuk menerapkan cukai MBDK pada 2023.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Askolani, menjelaskan bahwa kebijakan ini memang memerlukan berbagai pertimbangan matang. Pertama, di Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) menerangkan bahwa pembahasan itu melalui kerangka rancangan undang-undang APBN.
Kedua, lanjut dia, kenapa belum dilakukan pada 2023 karena pemerintah mempertimbangkan bagaimana tahap pemulihan ekonomi. Baik dari domestik mau pun global. Dan ketiga, untuk melaksanakan kebijakan ini tentunya harus menyiapkan regulasi dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP). PP ini menjadi salah satu langkah yang harus dipersiapkan secara komprehensif.
"Ini kami akan eksekusi sesegera mungkin, nggak ada kendala sebenarnya, disahkan tahun ini, sudah diserahkan. Segera disahkan kalau sudah ditandatangani, karena kajian akademisnya sudah kami buat," ujar Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) RI, Dante Saksono Harbuwono secara terpisah.
Maju mundurnya kebijakan ini, tidak lepas akibat adanya penolakan dari pelaku industri. Dalam laporan UNICEF, disebutkan bahwa kebijakan cukai berpemanis berpengaruh besar kepada penjualan industri.
“Mungkin memang masih ada aspirasi dari industri untuk menahan dulu pemberlakuannya karena terakhir kemenkeu bilang akan melihat dulu pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini,” ujar Direktur Kebijakan CISDI, Olivia Herlinda, kepada Tirto.
Tapi paling tidak, pemerintah mesti berani ambil resiko. Mengingat angka penderita diabetes di Indonesia sudah mengkhawatirkan, sehingga perlu ada langkah konkrit untuk mengurangi konsumsi minuman berpemanis.
Alternatif dari Singapura
Dalam jangka pendek, Indonesia sebetulnya bisa meniru kebijakan di Singapura. Negara tersebut menjadi salah satu negara yang tidak menerapkan kebijakan cukai atau pajak minuman berpemanis.
Singapura sejatinya sempat mempertimbangkan penggunaan pajak untuk minuman manis yang sudah digaungkan sejak 2017. Hal ini mengingat saat itu, sekitar 10 persen populasi Singapura mengidap diabetes.
Akan tetapi, penolakan dari masyarakat, pakar kesehatan, dan industri, membuat Negeri Singa akhirnya mencari alternatif lain. Studi menyebutkan bahwa masyarakat Singapura lebih terbuka akan opsi yang sifatnya meningkatkan kesadaran, alih-alih pemaksaan, seperti pajak.
Pengamat kesehatan juga berpendapat bahwa pajak bukan solusi jangka panjang. Masyarakat yang suka minuman manis, akan berpindah ke pilihan produk manis lainnya. Artinya, konsumsi gula tetap sama.
Sementara itu, dari sisi industri, kebijakan pajak tentu akan menekan industri. Untuk memastikan aliran pemasukan, pilihannya adalah menaikkan harga atau melakukan efisiensi produksi. Kenaikan harga memberatkan konsumen, sedangkan efisiensi produksi berujung ke PHK.
Alhasil, sebagai gantinya, Singapura memberlakukan Nutri-Grade. Sejak akhir 2023, gerai makanan dan minuman di Singapura diwajibkan mencantumkan label nutrisi pada menu mereka. Langkah ini bertujuan untuk membantu pelanggan mengambil keputusan yang tepat ketika membeli minuman dan mengembangkan ketentuan mengenai minuman kemasan.
Sebagai contoh untuk minuman kemasan, sistem penilaian berkisar dari A hingga D, dengan D sebagai yang paling tidak sehat. Produk dengan kandungan gula dan lemak jenuh tertinggi akan mendapat peringkat C atau D dan diharuskan mencantumkan label Nutri-Grade pada kemasannya.
Label tersebut diberi kode warna – A (hijau tua), B (hijau muda), C (oranye), dan D (merah). Minuman dengan peringkat D akan dilarang diiklankan. Pemberlakuan kebijakan ini juga sempat ramai diperbincangkan di media sosial Ibu Pertiwi, salah satunya dibagikan oleh akun Instagram @stephaniedw_nini.
Sebelum kebijakan ini diterapkan, Negeri Singa, sejatinya merupakan salah satu negara tersehat di dunia. Menurut Indeks Kesehatan Global Bloomberg pada 2020 Singapura dinobatkan sebagai negara tersehat ke-8 di dunia. Indeks ini memberi peringkat negara-negara berdasarkan variabel seperti harapan hidup, penyebab kematian, dan risiko kesehatan.
Di Indonesia, metode food labelling sebenarnya pernah dilakukan. Saat itu pemerintah menerapkan label ‘pilihan yang lebih sehat’ dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Tapi sayangnya kebijakan tersebut terbukti tidak efektif karena tidak terlalu jelas apa yang dianggap lebih sehat dan kadarnya sendiri belum sesuai dengan rekomendasi.
“Kebijakan food labelling akan membantu menginformasikan masyarakat mengambil keputusan. Di global sendiri yang disarankan efektif adalah front of package labelling,” ujar Olivia Herlinda.
Meski begitu, tidak ada salahnya untuk jangka pendek, paling memungkinkan Indonesia bisa mencontoh Singapura dengan kebijakan nutri grade-nya. Karena jika pemerintah memaksa menerapkan kebijakan cukai minuman berpemanis tahun ini, risiko politiknya bakal besar.
“Saya sudah bilang, seharusnya ini diimplementasikan dua tahun lalu ketika UU HPP baru disahkan. Ketika telat, apalagi masuk tahun politik ini akan susah, momentumnya hilang,” tutup Pengamat pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Dwi Ayuningtyas