Menuju konten utama

PAD Menyusut Akibat COVID-19, Bagaimana Pemda Menyiasatinya?

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng menyatakan pemerintah daerah perlu lebih serius merespons turunnya PAD akibat COVID-19.

PAD Menyusut Akibat COVID-19, Bagaimana Pemda Menyiasatinya?
Ketua DPR Puan Maharani (keempat kiri) bersama sejumlah menteri Kabinet Indonesia Maju dan kepala-kepala daerah mengikuti pembukaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 di Istana Negara, Jakarta, Senin (16/12/2019). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/ama.

tirto.id - Pandemi Corona atau COVID-19 menyerang tanpa pandang bulu. Usai memukul penerimaan pemerintah pusat, COVID-19 juga menyebabkan pendapatan asli daerah (PAD) turun drastis.

Presiden Joko Widodo, pada Jumat (15/5/2020) bahkan mendapat keluhan dari pemerintah daerah. Ia bilang penurunan PAD ini memang tidak bisa dihindari karena imbas pembatasan aktivitas masyarakat demi mencegah penularan COVID-19 lebih besar.

Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkeu Astera Primanto Bhakti mengatakan secara keseluruhan 530 daerah Indonesia mengalami penurunan pendapatan hingga 15,81 persen. Berdasarkan revisi APBN dalam Perpres 54/2020, pendapatan daerah turun Rp195,82 triliun dari Rp1.238,51 triliun menjadi hanya Rp1.042,69 triliun.

Di antara penurunan itu, PAD adalah yang paling tertekan. Ia memperkirakan PAD nasional turun 27,73 persen. Penurunan PAD di Pulau Jawa tersendiri saja akan mencapai 32,04 persen. Berdasarkan perhitungannya, PAD nasional akan turun Rp114,53 triliun dari Rp328,40 triliun menjadi Rp213,87 triliun.

“Kalau PAD turunnya bisa sampai 28 persen, DKI Jakarta turunnya lebih dari 50 persen atau 56 persen,” ucap Astera, Rabu (3/6/2020) seperti dikutip dari Antara.

Astera mengatakan pemerintah daerah harus mampu mengalihkan pos-pos di APBD mereka untuk tetap memenuhi belanja yang diperlukan sekalipun penerimaan berkurang.

Di sisi lain, Astera yakin pemerintah daerah sanggup bertahan karena pemerintah pusat memberi dukungan Rp14,7 triliun dalam bentuk Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Insentif Daerah (DID) Rp5 triliun, dan fasilitas pinjaman Rp1 triliun.

Sebagian daerah nyatanya sudah melakukan sejumlah upaya untuk merespons penurunan PAD ini. Pemerintah Kota Surabaya, Senin (8/6/2020) berencana memangkas target PAD yang semula berjumlah Rp9,08 triliun.

Sementara itu, pada Kamis (25/6/2020), DPRD Kota Padang, Sumatra Barat mengusulkan agar pemda memangkas lebih lanjut belanja mereka di tengah kekurangan PAD ini. Usulan pemangkasan juga disampaikan oleh DPRD Provinsi NTB, Senin (2/5/2020) usai mengetahui APBD mereka defisit Rp412 miliar.

Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau, Selasa (26/5/2020) mempercepat 2 hari lebih awal pembukaan Samsat setempat agar masyarakat bisa segera membayar pajak kendaraan bermotor. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi anjloknya PAD Kepri dari semula Rp1,4 miliar per hari menjadi Rp400 juta per hari.

Pemerintah Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta relatif lebih bergantung pada perimbangan pemerintah pusat dan mengharapkan Dana Alokasi Umum (DAU) pemerintah pusat bisa segera dicairkan. Terhitung Sabtu (30/5/2020), pemkab menilai mereka hanya memiliki nafas hingga 4 bulan dengan dana yang mereka masih miliki.

Sedangkan Pemprov DKI Jakarta pada April 2020 meminta Kementerian Keuangan untuk segera mempercepat pencairan kurang bayar dari Dana Bagi Hasil (DBH) 2019 yang mencapai Rp5,1 triliun.

Pemprov DKI Jakarta waktu itu menjelaskan anggaran mereka masih terbatas seiring penurunan penerimaan pajak retribusi meski sudah banyak memangkas belanja dan merombak struktur APBD.

Pangkas Anggaran Belum Cukup

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng menyatakan pemerintah daerah perlu lebih serius merespons turunnya PAD akibat COVID-19.

Robert berkata dirinya kerap mendapati daerah masih belum mengatur ulang fokus belanjanya dengan baik seperti honorarium meski di tengah pandemi.

Menurut data Kemenkeu, per 8 Mei 2020 saja masih ada 353 daerah yang terkena sanksi penundaan penyaluran 35 persen DAU karena belum menyesuaikan APBD sesuai kriteria pemerintah pusat lantaran perlu mempertimbangkan kemampuan APBD, penurunan PAD yang ekstrem dan perkembangan pandemi di wilayah itu. Lalu ada sekitar 64 daerah yang belum menyampaikan laporan.

Robert bilang meski sudah mengutak-atik anggaran, tindakan itu tentu belum cukup. Ia meminta pemda untuk memperbaiki saluran penerimaannya. Ia mencontohkan pembayaran Pajak Bumi Bangunan (PBB) seharusnya bisa dilakukan dengan daring atau melalui platform yang lebih luas dibanding bank milik daerah.

Bila prosesnya dibuat mudah, ia yakin masyarakat yang semula menunda pembayaran akan semakin berkurang terlepas ada faktor penurunan ekonomi. Robert mencontohkan PBB di DKI Jakarta baru terwujud Rp1,7 triliun padahal perkiraannya Rp10 triliun.

Jika tidak dibenahi, Robert yakin estimasi penurunan PAD akan anjlok lebih dalam lagi. Bila Kemenkeu memperkirakan PAD nasional turun 28 persen, maka potensinya bisa lebih dari 50 persen.

Menurut Robert rekomendasinya ini bukan asal lantaran penerimaan daerah yang paling terpukul adalah yang ditopang oleh perdagangan, bisnis, dan jasa. Misalnya Jabodetabek dan daerah seperti Bali yang mengandalkan hotel, restoran dan wisata.

“COVID-19 belum puncaknya. Secara nasional kalau 50 persen saja terealiasi itu sudah Alhamdulilah. Jakarta saja sudah berani koreksi setengah. Surabaya target tahun ini Rp9,8 triliun, dapat setengah saja sudah luar biasa,” ucap Robert saat dihubungi, Senin (13/7/2020).

Baca juga artikel terkait VIRUS CORONA atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz