Menuju konten utama

OTT Patrialis Akbar Bukti Lemahnya Pengawasan MK

ICW menilai kasus OTT Patrialis Akbar membuktikan MK belum belajar dari kisah OTT Akil Mochtar dalam bidang pengawasan. Oleh karena itu, ia menyarankan agar MK memperkuat pengawasan. Pengawasan internal berupa sikap dan etik dari para hakim. Selain itu, MK juga harus menggalakkan pengawasan eksternal agar tidak bermasalah lagi ke depan.

OTT Patrialis Akbar Bukti Lemahnya Pengawasan MK
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat (kedua kiri) didampingi para hakim konstitusi memberikan keterangan pers terkait operasi tangkap tangan (OTT) KPK terhadap Hakim Konstitusi Patrialis Akbar di Jakarta, Kamis (26/1). Mahkamah Konstitusi menyatakan siap bekerja sama dengan KPK guna mengungkap kasus tersebut. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/aww/17.

tirto.id - Operasi Tangkap Tangan terhadap Hakim Mahkamah Konstitusi, Patrialis Akbar menimbulkan kesan bahwa betapa minimnya pengawasan di lembaga tertinggi pengujian konstitusi ini. Sebelum Patrialis Akbar, beberapa tahun ke belakang, sang kakap, yang menjabat sebagai ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mokhtar juga diciduk oleh KPK karena kasus korupsi.

Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama S. Langkun berpendapat, KPK punya sebuah pekerjaan rumah baru apabila terbongkarnya kasus Patrialis Akbar ini. "Intinya KPK belum selesai menuntaskan kasus Akil ini sudah ada lagi yang baru. Ini sebenarnya mengerikan," ujar Tama kepada Tirto, Kamis (26/1)

Lalu kenapa kasus korupsi di MK terus saja berulang? Tama menuturkan setiap tempat yang mempunyai kewenangan memang selalu rawan korupsi, tak peduli MK sekalipun. Bentuk korupsi di setiap instansi beragam, bisa gratifikasi, suap, maupun bentuk lain yang merugikan negara. Untuk MK sendiri, kasus korupsi biasanya berkaitan dengan hasil keputusan.

ICW menilai, beberapa poin penting perlu diperbaiki oleh Mahkamah Konstitusi agar tidak terjadi kesalahan yang sama. Pertama, MK harus memperbaiki sistem seleksi rekrutmen hakim. MK harus tahu fungsi mereka sebagai supreme court menjaga konstitusi sehingga harus bersih dari tindak pidana, termasuk korupsi. Kemudian, proses pelaksanaan seleksi hakim harus transparan sehingga tidak terjadi masalah.

Poin kedua yang harus disoroti adalah pengawasan. Tama menilai, kasus OTT Patrialis Akbar membuktikan MK belum belajar dari kisah OTT Akil Mochtar dalam bidang pengawasan. Oleh karena itu, ia menyarankan agar MK memperkuat pengawasan. Pengawasan internal berupa sikap dan etik dari para hakim. Selain itu, MK juga harus menggalakkan pengawasan eksternal agar tidak bermasalah lagi ke depan.

Untuk pengawasan, Tama setuju agar Komisi Yudisial (KY) ikut mengawasi hakim MK. Sampai saat ini, sepengetahuan Tama, KY tidak mempunyai wewenang untuk mengawasi hakim agung maupun hakim konstitusi. Penguatannya pun bisa beragam sehingga pengawasan hakim di lingkaran konstitusi bisa diperkuat.

"Kita harapkan ada penguatan Komisi Yudisial. Penguatan ada banyak. Bisa konteks kelembagaan, strukturnya atau bicara soal anggaran, bisa juga soal kewenangannya," tutur Tama.

Menanggapi pengawasan, Juru Bicara Komisi Yudisial Faridz Wajdi membenarkan minimnya wewenang KY untuk mengawasi hakim di lingkungan Mahkamah Konstitusi. MK tidak termasuk hakim yang diawasi oleh KY, pernyataan itu mengacu pada Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006 perkara pengujian UU KY dan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UUKK) terhadap UUD 1945 (“Putusan MK 005/2006”).

"Dalam Putusan MK 005/2006 tersebut, MK menyatakan bahwa hakim konstitusi bukan obyek pengawasan KY dengan alasan hakim konstitusi bukanlah hakim profesi seperti hakim biasa. Bila hakim biasa tak terikat dengan jangka waktu, tidak demikian dengan hakim konstiitusi yang diangkat hanya untuk jangka waktu lima tahun," ujar Farid kepada Tirto.

Farid menjelaskan, tidak masuknya hakim konstitusi dalam wilayah pengawasan KY adalah berdasarkan tinjauan sistematis dan penafsiran “original intent” perumusan ketentuan UUD 1945, ketentuan mengenai KY dalam Pasal 24B Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) memang tidak berkaitan dengan ketentuan mengenai MK yang diatur dalam Pasal 24C UUD 1945.

Selain itu, dengan menjadikan perilaku hakim konstitusi sebagai objek jika pengawasan oleh KY, maka kewenangan MK sebagai pemutus sengketa kewenangan lembaga negara menjadi terganggu dan tidak dapat bersikap imparsial, khususnya jika ada sengketa kewenangan antara KY dengan lembaga lain.

Meskipun tidak masuk sebagai bagian pengawasan, KY prihatin atas dugaan tertangkapnya hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar. KY menilai peristiwa penangkapan Patrialis harus menjadi pelajaran agar tidak terulang di masa depan.

"Peristiwa ini harus menjadi pelajaran dan masukan evaluasi bagi kita semua mengingat kejadian ini bukan yang pertama. Terdapat hal mendasar yang harus diperbaiki dalam praktik penyelenggaraan peradilan, di mana kekuasaan yang tanpa kontrol berpotensi untuk menjadi penyelewengan, tidak terkecuali pada ranah yudikatif," ujar Farid.

Komisi Yudisial menyerukan agar seluruh pihak mendengar tanggapan masyarakat. Reformasi tersebut pun harus menyentuh masalah integritas. Lembaga yang dipimpin Aidul F.A. ini juga meminta agar pengawasan yang harus terus berjalan.

"Selain integritas sendiri merupakan kewajiban, juga pada dasarnya pengawasan tidak tidur dan terus berjalan dalam berbagai bentuk," tutur Farid.

Oleh karena itu, KY mengajak seluruh pihak untuk melihat arah reformasi peradilan di Indonesia. Mereka meminta publik merefleksikan kesalahan-kesalahan yang perlu dikoreksi agar kejadian tidak terulang di masa depan. Terkait kemungkinan KY bisa mengawasi Hakim MK, Fariz mempersilahkan publik menilai apakah perlu KY ikut andil dalam pengawasan hakim konstitusi atau tidak.

"Wacana itu tentu perlu didialogkan kembali di ruang publik," tegas Farid.

Baca juga artikel terkait HARD NEWS atau tulisan lainnya

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher & Andrian Pratama Taher
Editor: Aqwam Fiazmi Hanifan