tirto.id - Orang Samaria terdengar asing dari sengitnya setengah abad konflik Israel-Palestina.
Samaria adalah nama salah satu kelompok agama abrahamik tertua yang terpisah dari Yudaisme arus utama. Komunitas ini adalah salah satu dari sedikit yang tersisa yang masih bertutur, membaca dan menulis dengan bahasa Ibrani kuno dan bahasa Aram. Mereka juga fasih berbahasa Ibrani dan Arab.
Sampai pada abad ke-4,populasi orang Samaria mencapai 1,2 juta jiwa. Namun rentetan penaklukan dan diskriminasi oleh rezim setelahnya dari Yunani, Romawi, Bizantium, Arab, Tentara Salib, Mamluk, dan Utsmaniyah telah membikin populasi orang Samaria merosot drastis. Pernah pada 1917 jumlah orang Samaria tinggal 146 orang.
Pada 2017, menurut Samaritan Update, jumlah orang Samaria yang memeluk agama dan beserta tradisinya berjumlah 796 orang.
Dari jumlah tersebut, semuanya tinggal di Israel dan Palestina. Sebanyak 381 orang bermukim di bukit Gerizim dan sekitarnya di Tepi Barat yang dikontrol Otoritas Palestina. Sementara 415 lainnya tinggal di kota Holon, dekat Tel Aviv, Israel. Jumlah orang Samaria pada 2018 diklaim tinggal sekitar 800-an jiwa.
Bukit Gerizim adalah pusat ritual keagamaan Samaria. Jaraknya sekitar 30 mil dari utara Yerusalem. Karena berada di Tepi Barat, para peziarah Samaria dari Holon harus melintasi perbatasan jika hendak datang ke Gerizim atau menyambangi desa-desa Samaria di sekitarnya.
"Di Tepi Barat, mereka (orang Samaria) ditangkap oleh tentara Israel atau penduduk Palestina. Mereka harus tetap netral dalam menghadapi politik Palestina dan Israel. Mereka berbeda dari kedua belah pihak, dan juga dari tetangga mereka, pemukim Yahudi," kata Daphna Tsimcchoni, seorang peneliti di Truman Institute for Peace di Hebrew University, Yerusalem, kepada CNN.
Tetapi, netralitas tak semudah itu dijalankan di lapangan.
Nablus, sebuah kota di bawah bukit Gerizim, adalah pusat budaya dan ekonomi bagi orang-orang Samaria di Gerizim. Dalam laporan jurnalis Dana Rosenblatt untuk CNN tahun 2002 silam, di kota Nablus yang terletak di Tepi Barat inilah orang-orang Samaria bersekolah setinggi-tingginya, bahkan memegang jabatan dalam pemerintahan Palestina.
"Orang Samaria Nablus adalah warga negara Palestina, dengan hak dan kewajiban yang sama," kata Ghassan Shaka, walikota Nablus kala itu. "Mereka adalah bagian dari kita ... perasaan yang sama, harapan yang sama, dan takdir yang sama."
Presiden Otoritas Palestina kala itu, Yasser Arafat pernah memberi 88 kursi legislatif kepada orang Samaria pada 1996. Pada saat bersamaan, sebagai warga negara Israel, orang-orang Samaria yang tinggal di Holon diharuskan berdinas militer membela negara.
Laporan Davide Lerner dan Esra Whitehouse untuk Haartez pada Mei 2018 menunjukkan beberapa orang Samaria akhir-akhir ini condong memilih Israel.
"Generasi baru orang Samaria merasa semakin Israel," kata Baruch (bernama Mubarak ketika di Tepi Barat) kepada Haaretz. “Israel berkembang pesat. Ekonominya terus tumbuh, sementara Palestina tampaknya ingin semuanya tetap sama,” lanjutnya.
Masih dari Haaretz, Abdullah Aboud Cohen, cucu dari imam besar Samaria Aabed-El ben Asher ben Matzliac, mengatakan orang Samaria berhutang budi kepada mendiang Raja Hussein dari Yordania, yang mengizinkan mereka bolak-balik dari Holon ke Nablus sebelum 1967. Hussein juga yang memberi mereka kebebasan untuk beribadah di bukit Gerizim. Di sisi lain, Israel pun menjamin hak-hak beribadah dan keselamatan orang Samaria ketika Pasukan Pertahanan Israel (IDF) menduduki Tepi Barat setelah Perang Enam Hari pada 1967.
Sebagian besar orang Samaria di Kiryat Luza memiliki paspor Israel, Palestina dan Yordania. Berada di antara dua kubu yang saling berkonflik menimbulkan krisis identitas di kalangan Samaria. Beberapa orang Palestina menyebut orang Samaria di Tepi Barat sebagai orang "Israel dan Zionis" atau orang “Yahudi Palestina”. Sedangkan Cohen sendiri menyebut dirinya sebagai orang “Israel Palestina”.
Asal Usul Orang Samaria
Bagi kalangan Kristen, ingatan tentang orang Samaria selalu tertaut pada petuah Yesus tentang perumpamaan orang Samaria yang baik hati (The Good Samaritans) yang tertulis dalam Injil Lukas.
Dengan latar belakang sentimen kebencian Yahudi terhadap orang Samaria, dikisahkan ada seorang pria yang dibegal di tengah jalan saat melakukan perjalanan dari Yerusalem ke Yerikho.
Tidak hanya dirampok, pria tersebut dipukuli hingga sekarat tergeletak di jalan. Seorang imam lewat, tapi hanya memandangi pria sekarat itu dan berlalu. Begitu pula dengan seorang Lewi. Lalu datanglah seorang Samaria baik hati yang menolong dan merawatnya.
Pandangan Yahudi terhadap Samaria tampaknya memang diliputi sentimen kebencian. Wayne Brindle dalam "The Origin and History of the Samaritans" (1984, PDF) mencatat, Yesus bin Sirakh, rabi Yahudi terkemuka asal Yerusalem sekitar tahun 180 SM pernah menyebut orang Samaria sebagai "orang-orang bodoh yang tinggal di Sikhem".
Orang Samaria menolak dipanggil Yahudi. Orang Yahudi pun menolak disamakan dengan orang Samaria. Namun, Yahudi dan Samaria sebenarnya terhubung oleh masa lalu yang sama. Keduanya adalah orang-orang Israel kuno (Israelit) yang bermukim di tanah Kanaan. Dalam narasi kitab suci Yahudi, orang Israel terbagi menjadi 12 suku besar. Tiga di antaranya diyakini oleh orang Samaria sebagai asal leluhur mereka dari suku Manasye, Efraim dan Lewi.
"Secara umum, kita adalah orang yang sama," kata Benyamin Tsedaka, sejarawan Samaria di Institute of Samaritan Studies kepada Judith Fein dari BBC. "Kami dari utara (Kerajaan Israel kuno) dan orang-orang Yahudi dari selatan," ujar Tsedaka merujuk pada Kerajaan Yudea.
Sejalan dengan Tsedaka, Gary N. Knoppers dalam bukunya berjudul Jews and Samaritans The Origins and History of Their Early Relations (2013) mencatat baik Yahudi dan Samaria menganut kepercayaan monoteis, memiliki rasa keterikatan pada tanah Israel, memakai bahasa Ibrani sebagai bahasa leluhur, mendaku diri sebagai keturunan keluarga Abraham, hingga berbagi kitab suci.
Perpecahan orang-orang Israel kuno yang melahirkan percabangan antara Samaria sejauh ini selalu merujuk pada peristiwa penaklukan Kerajaan Asyur atas Kerajaan Israel pada 722 SM yang kemudian dibarengi dengan peristiwa Pembuangan Babel (Babilonia).
Sekembalinya dari pembuangan Babel, orang Samaria menilai orang-orang Yahudi telah melupakan tradisi keagamaan awal mereka. Lambat laun orang Samaria melihat dirinya sudah berbeda dari orang Yahudi. Sebaliknya, Yahudi memandang orang Samaria tidak lagi murni karena telah bercampur dengan orang Asyur lewat perkawinan dan mempengaruhi praktik keagamaan yang dilakukan orang Samaria.
Pertentangan makin meruncing tatkala orang Samaria menganggap Bait Suci didirikan di bukit Gerizim, bukan di Yerusalem seperti yang diyakini oleh orang Yahudi. Bukit Gerizim setinggi 500 meter itu memang dipandang sakral bagi orang Samaria.
Tempat ini diyakini oleh orang Samaria sebagai tempat Abraham membawa putranya Ishak yang hendak dikorbankan sebagai bentuk ketaatan kepada Tuhan, tempat Yosua menegakkan 12 batu bagi tiap-tiap suku Israel, dan tempat orang Israel mendirikan Kemah Suci setelah keluar dari Mesir.
"Itu (bukit Gerizim) adalah tempat maha kudus. Saya tahu orang-orang Yahudi memiliki versi lain tentang di mana peristiwa ini terjadi, tetapi sejarah kami mengatakan itu terjadi di sini," ujar Tsedaka.
Hidup sebagai anggota komunitas yang relatif kecil dan terancam punah menyebabkan tantangan menjaga eksistensi Samaria yang tersisa makin besar. Banyak anak-anak muda Samaria pindah agama baik menjadi Yahudi maupun Islam ketika mereka menikah. Perkawinan sedarah demi menjaga eksistensi orang Samaria acap kali justru melahirkan anak-anak yang mengalami kecacatan serius.
Demi menyelamatkan krisis demografi orang Samaria, dalam beberapa tahun terakhir, selain memperistri wanita Yahudi, para pria Samaria mulai mencari istri dari Ukraina dan Azerbaijan untuk diboyong ke Gunung Gerizim dan memeluk agama Samaria.
"Kami berharap jumlah kami akan mencapai 10.000 dalam waktu 10 tahun," canda imam besar Samaria kala itu, Aharon Ben-av Chisda pada Guardian, 2013 silam.
Editor: Nuran Wibisono